Ini klise. Dan
aku tahu aku tidak akan pernah mampu menemukan solusi untuk semua keklisean
ini.
Hal-hal paling
menyebalkan di dunia ini adalah ketika kamu sudah mengerti, sudah benar-benar
tahu dan sadar apa yang seharusnya kamu lakukan dan rasakan. Apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh, tapi tetap saja pada akhirnya kamu tidak mampu
mengendalikan perasaanmu. Rasanya menyebalkan, rasanya seakan ingin berteriak,
“Tuhan, aku sudah tahu aku harus ngapain… tapi… Ngomong memang gampang,
eksekusinya sungguh sulit. Sulit sekali!”
Ini adalah
kisah tentang aku dan Theo, dua orang yang saling mencintai namun tidak mampu
melawan rasa cinta kami sendiri. Iya benar, terkadang cinta saja memang tidak
cukup untuk kami.
Banyak hal yang harus kami pertahankan, banyak hal yang harus kami bunuh.
Dan bahkan…
Tuhan saja tidak menyetujui cinta kami.
***
Aku tidak
pernah sengaja mencintai Theo. Theo juga tidak pernah sengaja mencintai aku.
Aku tidak meminta untuk bertemu Theo, dan begitu juga Theo, ia tidak pernah
meminta untuk dipertemukan denganku.
Aku tidak
pernah sengaja untuk dekat dengan Theo. Begitupun Theo.
Jadi bolehkah
aku menyalahkan semesta? Semesta yang sepertinya sengaja melakukan ini semua
pada kami berdua. Semestalah yang membuat catatan-kuliah-maha-pentingku
tertinggal di perpustakaan kampus. Semestalah yang membuat aku bertemu Theo
yang TIDAK SENGAJA menemukan catatan itu.
Tidak, Theo
tidak dengan sengaja berniat mengembalikan catatanku, dan aku juga tidak
berusaha mencari kembali catatanku yang hilang.
Kami tidak sengaja
bertemu di tangga perpustakaan, seakan ada benang transparan yang menghubungkan
jiwa kami.
“Sebelum akhirnya kalian cocok, mending stop deh..”
“Kamu bakalan seneng untuk sesuatu yang gak ada kejelasannya, dan juga
sedih untuk sesuatu yang masih tetap nggak jelas. Useless kan?”
“Udah deh, waktu kan yang akan menjawab semuanya? Kamu pasti bisa!”
“Kalau jodoh nggak bakal kemana kok…”
For anything’s sake, aku sampai capek mendengar semua kata-kata itu. Aku
udah tahu! Aku udah tahu itu semua dari sejak aku belum bertemu dengan Theo!
Aku udah besar, aku sudah bukan anak remaja labil yang mau terombang-ambing
perasaan.
Dan aku
benar-benar nggak suka mendengar kata-kata, Kalau Jodoh Enggak Bakal Kemana.
Mengerti nggak sih? Aku dan Theo memang bukan jodoh, bahkan Tuhan sendiri yang
meng-klaim kalau kami bukan jodoh. Dan kami berdua sudah sama-sama menyadari
kalau kami memang tidak akan pernah bisa berjodoh.
Tapi… mengapa
perasaan ini tidak juga hilang? Mengapa kamu tidak juga pergi?
Kata orang,
cinta itu harus diperjuangkan. Harus dipupuk dan disiram agar tidak layu.
Aku dan Theo…
nggak pernah memperjuangkan cinta kami. Bahkan tanpa dipupuk dan disiram pun
cinta kami tetap tumbuh, tetap segar seperti Jake Gylenhall yang barusan keluar
dari kolam renang.
Begitu, terus
menerus, selama 10 tahun.
Intinya, Theo
sudah seperti diriku sendiri. Jadi bagaimana bisa kamu berpisah dengan dirimu
sendiri?
***
Love ain’t gonna let you down.
Sepuluh tahun,
sepuluh tahun aku mencintai Theo, nggak pernah sedikitpun aku merasa tertekan.
Mencintainya membuatku merasa bebas.
Dan mungkin
Tuhan harus membuat istilah baru yang lebih besar daripada cinta. Karena cinta
saja enggak mampu mewakili perasaan ini. Kalau cinta menuntut setia, kami
tidak. Kalau cinta menuntut intensitas, kami tidak. Bahkan kami tidak menuntut
kualitas.
Ini adalah cinta
yang membebaskan, cinta yang tak menuntut apapun, karena bahkan tanpa perlu
menuntutpun, kita tahu kita sedang berjalan untuk alasan yang sama… Saling
Mencintai. Untuk satu sama lain.
Aku tidak
pernah melarang Theo untuk mencari perempuan lain. Theo juga sebaliknya, tidak
pernah ambil pusing jika aku ingin dekat dengan pria manapun di dunia atau
jatuh cinta pada siapapun. Itu, itu seharusnya yang terjadi. Yang kuinginkan
adalah jatuh cinta dengan pria lain, yang Theo inginkan juga jatuh cinta pada
perempuan lain. Tapi cupid cinta seakan tidak menghendaki semua itu. Pada
akhirnya cintaku selalu kembali pada Theo dan cinta Theo selalu kembali lagi
padaku.
Tanpa perlu
kerangkeng, cinta kami sudah terpenjara. Tanpa perlu dibebaskan, cinta kami
sudah membebaskan.
Sekali lagi,
lalu kami bisa apa?
Tuhan, kami
bisa berbuat apa?
Masih cinta
aku?
Pertanyaan
kamu retoris.
Apa yang harus
kita lakukan?
Lagi-lagi
itu retoris.
Theo..
Apa?
Saya sayang
sama kamu.
Retoris.
Itu bukan pertanyaan.
Saya akan dan selalu sayang sama
kamu.
Mau bagaimana kita mengelak, kita
saling sayang. Tapi… cinta saja nggak cukup. Cinta kita kastanya terlalu tinggi
untuk diaplikasikan di ranah praksis.
“Sempet-sempetnya kamu ngelucu.”
Aku nggak ngelucu. Cinta ini terlalu
berat untuk kita berdua. Terlalu berat untuk orang-orang yang menyayangi kita.
Kita hanya akan menambah beban. Beban yang aku takut akhirnya justru akan
membunuh cinta kita yang steril ini.
Steril? Duh, aneh-aneh aja istilahmu.
Menikahlah. Milikilah anak-anak yang
lucu, sehat, dan gemuk.
Kamu menginginkan itu kan? Aku juga.
Sangat. Tapi aku ingin anak-anak kita tidak membawa beban apapun. Dan itu nggak
akan terjadi jika dia lahir dari cinta seberat ini.
Saya sayang sama kamu.
Saya juga. Tak terbantahkan.
Sampai jumpa.
Dari kecil saya
selalu percaya bahwa Tuhan Maha Segalanya. Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha
Memberi, Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Romantis. Saya percaya Tuhan punya
rahasia dibalik cinta saya yang begitu besar kepada Theo. Tapi… Tuhan, apakah
Tuhan juga Maha Pengertian? Karena saya sudah tidak kehilangan alasan untuk
mengerti ada apa dibalik semua ini.
Sampai saya
akhirnya mulai perlahan mengerti. Tuhan Maha Segalanya. Jika Tuhan Maha
Romantis, maka Tuhan berarti juga Maha Tidak Romantis. Jika Tuhan Maha
Pengertian maka di saat yang sama, Tuhan juga Maha Tidak Pengertian. Siapa saya
berhak menilai Tuhan? Tuhan punya caranya sendiri untuk mengerti saya.
Saya akan selalu mencintai kamu, sampai kapanpun, kamu
akan selalu ada. Terima kasih, kamu. Terima kasih, Tuhan.
“Wah lucu banget anaknya mbak, gemuk, sehat, ipel-ipel. Namanya siapa?”
Aku tersenyum. “Theo… Namanya Theo.”
Untuk
Cinta, yang Maha Universal
No comments:
Post a Comment