Thursday, May 17, 2012

Tuhan Maha Tidak Pengertian



Ini klise. Dan aku tahu aku tidak akan pernah mampu menemukan solusi untuk semua keklisean ini.
Hal-hal paling menyebalkan di dunia ini adalah ketika kamu sudah mengerti, sudah benar-benar tahu dan sadar apa yang seharusnya kamu lakukan dan rasakan. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, tapi tetap saja pada akhirnya kamu tidak mampu mengendalikan perasaanmu. Rasanya menyebalkan, rasanya seakan ingin berteriak, “Tuhan, aku sudah tahu aku harus ngapain… tapi… Ngomong memang gampang, eksekusinya sungguh sulit. Sulit sekali!”
Ini adalah kisah tentang aku dan Theo, dua orang yang saling mencintai namun tidak mampu melawan rasa cinta kami sendiri. Iya benar, terkadang cinta saja memang tidak cukup untuk kami. Banyak hal yang harus kami pertahankan, banyak hal yang harus kami bunuh.
Dan bahkan… Tuhan saja tidak menyetujui cinta kami.

***

Aku tidak pernah sengaja mencintai Theo. Theo juga tidak pernah sengaja mencintai aku. Aku tidak meminta untuk bertemu Theo, dan begitu juga Theo, ia tidak pernah meminta untuk dipertemukan denganku.
Aku tidak pernah sengaja untuk dekat dengan Theo. Begitupun Theo.
Jadi bolehkah aku menyalahkan semesta? Semesta yang sepertinya sengaja melakukan ini semua pada kami berdua. Semestalah yang membuat catatan-kuliah-maha-pentingku tertinggal di perpustakaan kampus. Semestalah yang membuat aku bertemu Theo yang TIDAK SENGAJA menemukan catatan itu.
Tidak, Theo tidak dengan sengaja berniat mengembalikan catatanku, dan aku juga tidak berusaha mencari kembali catatanku yang hilang.
Kami tidak sengaja bertemu di tangga perpustakaan, seakan ada benang transparan yang menghubungkan jiwa kami.
“Sebelum akhirnya kalian cocok, mending stop deh..”
“Kamu bakalan seneng untuk sesuatu yang gak ada kejelasannya, dan juga sedih untuk sesuatu yang masih tetap nggak jelas. Useless kan?”
“Udah deh, waktu kan yang akan menjawab semuanya? Kamu pasti bisa!”
“Kalau jodoh nggak bakal kemana kok…”
For anything’s sake, aku sampai capek mendengar semua kata-kata itu. Aku udah tahu! Aku udah tahu itu semua dari sejak aku belum bertemu dengan Theo! Aku udah besar, aku sudah bukan anak remaja labil yang mau terombang-ambing perasaan.
Dan aku benar-benar nggak suka mendengar kata-kata, Kalau Jodoh Enggak Bakal Kemana. Mengerti nggak sih? Aku dan Theo memang bukan jodoh, bahkan Tuhan sendiri yang meng-klaim kalau kami bukan jodoh. Dan kami berdua sudah sama-sama menyadari kalau kami memang tidak akan pernah bisa berjodoh.
Tapi… mengapa perasaan ini tidak juga hilang? Mengapa kamu tidak juga pergi?
Kata orang, cinta itu harus diperjuangkan. Harus dipupuk dan disiram agar tidak layu.
Aku dan Theo… nggak pernah memperjuangkan cinta kami. Bahkan tanpa dipupuk dan disiram pun cinta kami tetap tumbuh, tetap segar seperti Jake Gylenhall yang barusan keluar dari kolam renang.
Begitu, terus menerus, selama 10 tahun.
Intinya, Theo sudah seperti diriku sendiri. Jadi bagaimana bisa kamu berpisah dengan dirimu sendiri?

***
Love ain’t gonna let you down.
Sepuluh tahun, sepuluh tahun aku mencintai Theo, nggak pernah sedikitpun aku merasa tertekan. Mencintainya membuatku merasa bebas.
Dan mungkin Tuhan harus membuat istilah baru yang lebih besar daripada cinta. Karena cinta saja enggak mampu mewakili perasaan ini. Kalau cinta menuntut setia, kami tidak. Kalau cinta menuntut intensitas, kami tidak. Bahkan kami tidak menuntut kualitas.
Ini adalah cinta yang membebaskan, cinta yang tak menuntut apapun, karena bahkan tanpa perlu menuntutpun, kita tahu kita sedang berjalan untuk alasan yang sama… Saling Mencintai. Untuk satu sama lain.
Aku tidak pernah melarang Theo untuk mencari perempuan lain. Theo juga sebaliknya, tidak pernah ambil pusing jika aku ingin dekat dengan pria manapun di dunia atau jatuh cinta pada siapapun. Itu, itu seharusnya yang terjadi. Yang kuinginkan adalah jatuh cinta dengan pria lain, yang Theo inginkan juga jatuh cinta pada perempuan lain. Tapi cupid cinta seakan tidak menghendaki semua itu. Pada akhirnya cintaku selalu kembali pada Theo dan cinta Theo selalu kembali lagi padaku.
Tanpa perlu kerangkeng, cinta kami sudah terpenjara. Tanpa perlu dibebaskan, cinta kami sudah membebaskan.
Sekali lagi, lalu kami bisa apa?
Tuhan, kami bisa berbuat apa?

Masih cinta aku?
Pertanyaan kamu retoris.
Apa yang harus kita lakukan?
Lagi-lagi itu retoris.
Theo..
Apa?
Saya sayang sama kamu.
Retoris.
Itu bukan pertanyaan.
Saya akan dan selalu sayang sama kamu.
Mau bagaimana kita mengelak, kita saling sayang. Tapi… cinta saja nggak cukup. Cinta kita kastanya terlalu tinggi untuk diaplikasikan di ranah praksis.
“Sempet-sempetnya kamu ngelucu.”
Aku nggak ngelucu. Cinta ini terlalu berat untuk kita berdua. Terlalu berat untuk orang-orang yang menyayangi kita. Kita hanya akan menambah beban. Beban yang aku takut akhirnya justru akan membunuh cinta kita yang steril ini.
Steril? Duh, aneh-aneh aja istilahmu.
Menikahlah. Milikilah anak-anak yang lucu, sehat, dan gemuk.
Kamu menginginkan itu kan? Aku juga. Sangat. Tapi aku ingin anak-anak kita tidak membawa beban apapun. Dan itu nggak akan terjadi jika dia lahir dari cinta seberat ini.
Saya sayang sama kamu.
Saya juga. Tak terbantahkan.
Sampai jumpa.

Dari kecil saya selalu percaya bahwa Tuhan Maha Segalanya. Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Memberi, Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Romantis. Saya percaya Tuhan punya rahasia dibalik cinta saya yang begitu besar kepada Theo. Tapi… Tuhan, apakah Tuhan juga Maha Pengertian? Karena saya sudah tidak kehilangan alasan untuk mengerti ada apa dibalik semua ini.
Sampai saya akhirnya mulai perlahan mengerti. Tuhan Maha Segalanya. Jika Tuhan Maha Romantis, maka Tuhan berarti juga Maha Tidak Romantis. Jika Tuhan Maha Pengertian maka di saat yang sama, Tuhan juga Maha Tidak Pengertian. Siapa saya berhak menilai Tuhan? Tuhan punya caranya sendiri untuk mengerti saya.
Saya akan selalu mencintai kamu, sampai kapanpun, kamu akan selalu ada. Terima kasih, kamu. Terima kasih, Tuhan.

“Wah lucu banget anaknya mbak, gemuk, sehat, ipel-ipel. Namanya siapa?”
Aku tersenyum. “Theo… Namanya Theo.”

Untuk Cinta, yang Maha Universal

No comments:

Post a Comment