Aku dan dia bertatapan lama sekali di restoran ini, menunggu bebek goreng yang tidak kunjung datang. Tatapan penuh suka. Tatapan kerinduan. Tatapan sembunyi-sembunyi. Takut kamu tiba-tiba datang dan melihat kami. Takut pelayan datang dan berubah menjadi kamu.
Kami takut kamu.
Dia berkata kalau dia menyayangimu dan begitupun aku. Tapi dia juga menyayangiku, dan begitupun aku yang menyayanginya. Tentu saja, karena kami saling menyayangi. Dan sekali lagi mataku dan matanya mendadak awas, menatap penyanyi restoran, takut ternyata itu kamu yang sedang menyanyi sambil menangis tersedu-sedu.
Kamu menelepon dia, menanyakan kabarnya, dan berkata merindukannya.
Dia menjawab kalau dia juga merindukanmu, tak lama, dia menutup telepon dan memandangku kemudian berkata, ”Bima, tentu saja aku lebih merindukanmu daripada adikmu itu. Tenang saja.”
Hatiku perih. Menusuk-nusuk. Sungguh, aku ingin sekali tidak mencintainya.
Mataku dan matanya kembali mengawasi sekeliling restoran. Kami takut kamu. Takut bebek goreng di depan kami tiba-tiba menjadi kamu. Takut tembok restoran berubah menjadi kamu. Karena kami tahu, menjadi kamu rasanya sangat menyakitkan.
***
Kamu tiba-tiba datang tergopoh-gopoh mendadak muncul di hadapan aku dan dia. Di hadapan bebek goreng yang tinggal tulangnya saja. Di hadapan gelas fruit punch yang isinya tinggal setengah. Di hadapan tangan yang sedang berpegangan.
Dia terperangah. Lidahku berubah kelu. Sedangkan kamu kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kekagetanmu.
”Mas Bima ngapain di sini berdua sama Ricky?”
Aku terdiam ditanya begitu. Kamupun menangis dan terpaku beku.
Lalu dia melepaskan pegangan tangannya dari tanganku, kerut jidatmu berlipat-lipat, berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjelaskan semua ini.
Yang aku tahu, seperti biasa, aku hanya sanggup melihat rambutmu. Rambutmu yang panjang berkilau yang membuatku silau. Silau oleh kecantikanmu, terpukau oleh kemolekan tubuh wanitamu. Tersisih karena kehebatanmu yang menarik hati semua orang. Iri dengan gaunmu. Kosmetikmu. High heels-mu. Sakit dengan semua yang ada padamu yang tak bisa kumiliki.
Selanjutnya, aku dapat melihat dia menatap, lalu memelukmu erat, meminta maaf karena telah berbohong.
Aku tercekat, sadar bahwa aku pasti akan kehilangannya kalau tak mau kehilanganmu.
Dan akupun berbohong. Lagi. Karena aku tahu aku tak mau kehilanganmu. Karena aku masih ingin memakai semua yang kau miliki. Masih ingin mencoba eye shadow-mu ketika kamu sedang sekolah, masih ingin mengintip Ricky-mu dari balik pintu kamarku dan terpukau oleh ketampanannya, serta tidak ingin melukaimu, orang tuaku, pacarku.
”Mbak Denise besok ulang tahun. Dan mas Bima tahu, Ricky adalah orang yang paling tepat untuk ditanyai soal surprise buat cewek. Dan restoran ini sempurna, bukan begitu?” akhirnya aku berkata, berpura-pura santai dengan kemampuan aktingku yang luar biasa, sedikit merasa bersalah pada Denise, pacarku yang tidak pernah kucintai sama sekali.
Dia langsung menatapku kelu. Pucat pasi. Seakan mengucapkan selamat tinggal. Selalu begitu. Berkali-kali. Aku balas menatapnya dengan pandangan yang aku sendiri tidak tahu bagaimana mengartikannya.
”Kenapa nggak minta tolong aku aja, mas?” kamu sepertinya sudah melupakan insiden pegangan tangan itu.
”Boys’s stuff.” aku tersenyum mengelus rambut adikku itu penuh kasih sayang. ”Pulang yuk.”
Dia mengantar kamu pulang. Aku berpisah denganmu dan dia, sambil menatap mobil kalian yang perlahan menjauh. Mungkin aku memang masih harus menikmati semua yang kamu miliki, diam-diam, tanpa ada yang tahu.
Aku akhirnya sendiri lagi di restoran ini, frustasi sekali lagi, dan akhirnya menyerah, lalu memesan segelas wine pada pelayan.
Ponsel-ku bergetar. SMS.
From : Ricky [08564236791]
Subject: Sayang, maaf ya soal yang tadi. besok kita ketemuan ya? I love you…
Aku tersenyum sendiri menatap ponselku. Damn, inilah kenapa aku nggak bisa berhenti menyayanginya…
No comments:
Post a Comment