Monday, December 31, 2012

What Do You Expect?

Ijinkan saya terlebih dahulu minta maaf kepada Tuan Muda kotakpermenkaret yang lebih dari setengah tahun enggak diupdate. Iya, saya durhaka.

Jadi—dengan memaksa tangan untuk mengetik blog—saya memutuskan untuk membuat sebuah tulisan penutup tahun. Seperti apa yang saya lakukan tahun 2010 lalu. Saya punya hutang untuk mencatat pelajaran apa yang sudah saya dapat tahun ini. *jreng*


Sebuah pembahasan menarik baru –baru ini saya jumpai di Twitter. Simpel. Tapi ngena. Tentang ekspektasi. Sebelumnya saya dan seorang sahabat saya juga sedang hot-hotnya ngomongin topik yang satu ini. Intinya, as we grow up… akhirnya kita sadar kalau yang akhirnya bisa membuat kita kecewa ya adalah ekspektasi yang kita buat sendiri. Not the failure, but the expectation who does.
Ekspektasi membuat kita sadar atau tidak sadar jadi memiliki semacam ‘standar’ atas suatu hal. Dan hidup adalah tentang kenyataan. Jika standar itu nggak tercapai, kecewa adalah pasti.
Jadi apa solusinya? Menurunkan ekspektasi? Atau lebih ekstrem lagi… tidak usah berekspektasi sama sekali? Awalnya saya berpikir, kalau begitu… bikin saja ekspektasi yang rendah. And then we will be the happiest human alive.

No. Ekspektasi setiap orang berbeda-beda. Terkadang kalau saya melihat orang tunawisma di pinggir jalan yang lagi ketawa-ketawa, saya suka heran sendiri, kok bisa ya mereka tetep ketawa-ketawa. Sementara saya yang punya rumah enak, makan terpenuhi, tidur hangat di kasur yang empuk saja terkadang masih suka ngomel-ngomel. Kalau saya jadi mereka mungkin saya sudah suicide kali ya.

Tentu saja, karena ekspektasi saya dan mereka akan hidup jelas-jelas berbeda. Mereka sudah bisa punya uang untuk makan hari ini saja sudah bahagia. Tentu saja beda dengan saya. Saya tidak mungkin punya ekspektasi seperti mereka. Satu, tidak sesuai porsinya. Dua, tidak mungkin. Tiga, tidak bisa.

Mengapa tidak bisa? Karena sayangnya, ekspektasi adalah sebuah konsep yang tidak sengaja dibuat. Terbentuk begitu saja. Tidak bisa diskenariokan. Kalau menurut saya, itulah yang membedakannya dengan hope/ wish/ want. Kita tidak bisa membohongi diri sendiri tentang ekspektasi yang kita miliki. Ekspektasi terbentuk karena berbagai macam hal. Masa lalu, lingkungan, dan tentu saja sejauh apa kita memberi harga pada diri sendiri. Dan somehow… it lets us down.

So when someone said, “Aku nggak mau berekspektasi macam-macam.” I think that’s a total bullshit. Because, deep down inside, kita sebenarnya sudah memiliki ekspektasi itu. Sadar ataupun tidak sadar, we’ve already had one. In some cases, kita bahkan tidak menyadari sebenarnya ekspektasi kita apa. Sadar begitu sudah kecewa, atau ketika masih tidak bahagia ketika yang-kita-pikir ekspektasi itu jadi kenyataan. Aduh belibet bener idup ini yak.
So, here it is. Expectation kills. Brace yourself.

Tapi, siapa yang bisa menyalahkan ekspektasi? Toh ekspektasi adalah konsep yang membentuk kita. Ekspektasi adalah ideal-self kita. Kadang menguatkan, kadang juga melemahkan. Seperti adegan long lasting-nya 500 Days of Summer. Expectation - Reality.



“So what's happiness? When reality meets expectations. Ekspektasi orang (dari segi jenis & kadar) beda-beda ya jadi makna bahagia beda-beda” – Ika Natassa.


Iya. Makna bahagia itu beda-beda. Dan ekspektasi adalah peta kemana kita akan bergerak menuju bahagia yang beda-beda itu. Kadang kita tersesat, kadang arah yang ditunjukkan si ekspektasi itu ternyata udah nggak ada. Atau udah diisi orang. Sedih deh. Tapi kita akan punya cara untuk beli peta baru. Ya tapi itu. Lewatin sedihnya dulu. Masak enggak mau sedih. Masak hidup mau seneng terus. Mamam tuh sedih… Mamaamm…

Oke serius lagi.

We cannot control or choose the expectations. Jadi kesimpulannya, memang satu. Berhati-hati saja dengan ekspektasi kita. Which means, berhati-hatilah dengan diri kita sendiri. Actually, we are our biggest enemy. 
Satu lagi, berhati-hati juga dengan kebiasaan. Semakin kesini saya semakin notice, habit somehow adalah bumerang. Terkadang seseorang melakukan sesuatu bukan karena segitunya diniatin, tapi karena kebiasaan aja. Sebuah respon reflek.
 Pun itu yang bikin saya sadar dan terkadang menepok jidat sendiri kalau suka marah-marah karena hal kecil. Atau karena ikut kesal pas orang bisa tiba-tiba meributkan sebuah hal di Twitter. Dia ngetwit sambil ngopi-ngopi cantik, sini ribut. Rugi banget yak? :))
*ya habis gimana, asik sih… —nggak konsisten :p
Anyway, tidakkah kita semua memiliki semacam love-hate relationship with twitter?  Kemudahan mendapatkan informasi yang dibarengi dengan kemudahan untuk memaki. Hmm… 

Jadi kalo ada orang yang nyebelin, itu bukan karena dia segitunya pengen nyakitin kali, Geer. Bisa aja karena itu emang kebiasaan dia. Dan semua tahu, kebiasaan bukan sesuatu yang bisa diubah dengan sekali makian. That’s why, habit is dangerous. Saya sendiri sering banget punya masalah dengan yang namanya kebiasaan.

“We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” — Aristotle

Jadi kalo ngegosip ya santai aja. Gosip ya gosip aja. Kebiasaan nih. *ketauaan hobi ngegosip*


Oke Sarah. Two things that you have to be careful at: Expectation and Habit!


Hmm.. Kalau begitu tahun 2013 mau ngapain, Sar?

*diem di depan laptop lama banget*

Yak. Saya mau ganti layout blog aja deh. Kesian. Udah jarang diupdate, templatenya ‘remaja’ (baca: ala… sudahlah) banget gini. Cupcake dan permen pink pink. Ya gimana. Gaptek. Ini aja dulu ngelayoutnya pake baca buku dulu. Padahal layout yang tinggal copy-paste doang :(

Hehehe. Semoga dengan mengubah layout blog menjadi less-teenage, hidup juga ikut-ikutan less-teenage.  Alias grow up. *ini doa lho. Bukan ekspektasi. Eh… ekspektasi deng. Tadi boong. LOL* -- ini btw istilah less-teenage emang ada ya? Bikin-bikin! ;p

Ayo ganti layout blog! :)


Jadi, guys… di tahun 2013 ini… what do you expect?


“In the end, it’s not the years in your life that count. It’s the life in your years.” — Anonymous


Selamat Tahun Baru! :)


December 31th, 2012

Thursday, May 31, 2012

Pamungkas


“Kamu itu lho, tiap jam sepuluh panik karena belum punya tulisan nggak tau mau nulis apa, tapi abis itu begitu udah nulis, lupa.”
Itu yang pacar saya katakan pada saya. Saya cuma meringis, karena mau tidak mau saya harus mengakui bahwa kata-kata dia itu bener banget.
Seperti apa yang sudah saya tulis di postingan pertama untuk 31 Hari Menulis ini, ya, menulis adalah berlibur. Kalau orang mau berlibur, pasti awalnya bingung dulu, mau liburan ke mana, mau naik apa, mau libur berapa hari. Tapi, begitu udah beneran berlibur, ya pasti lupa dengan kebingungan-kebingungan itu.
Jujur saja saya enggak pernah merencanakan akan menulis apa besok atau besoknya. Yah, sempat sih kayak gitu, sayangnya cuma bertahan di lima hari pertama. Selebihnya, saya berdoa kepada yang di Atas semoga diberi wangsit atau tiba-tiba jari saya bisa ngetik sendiri.
Sering juga pagi atau siangnya saya punya ide buat nulis A, tapi malamnya begitu udah di depan laptop, saya malah menulis hal yang benar-benar berbeda. Sering banget bahan buat nulis itu didapatkan tanpa diduga-diduga, misal dari obrolan 3 menit bersama teman saya dan saya sedang membuka laptop menyempatkan untuk posting di sela-sela mengerjakan tugas kuliah yang merajalela itu.
Intinya, saya sering banget merencanakan menulis A, tetapi pada akhirnya saya justru menulis Z, dan ide untuk menulis Z itu datang 10 detik sebelum saya menulis kalimat pertama. Itulah yang membuat saya tahu, akan sia-sia saja saya membuat planning untuk menulis, huehehe.
Kadang saya menulis dengan mata panda sebelum tidur, setelah mengerjakan tugas. Sumpah rasanya malas tiada tara. Inginnya sih tidur saja, tapi ya begitulah, ketika saya sebelumnya ngomel-ngomel karena belum punya tulisan, begitu sudah nulis, ya lupa.
Beberapa tulisan juga ada yang merupakan tulisan recycle. Recycle dari folder-folder lama yang sudah nggak pernah dibuka, berdebu, dan terlupakan. Ada yang murni recycle (seperti cerita bergambar anak yang merupakan tugas kuliah saya pas semester satu :p) ada juga yang recycle dengan sedikit gubahan.
Really deh, kalo nggak ada 31 Hari Menulis, nggak bakalan deh saya buka folder-folder bulukan itu :P
Kadang-kadang saya malah suka kaget sendiri setelah menyelesaikan satu tulisan. Kaget, kenapa kok bisa ngomyang gituan. Kalau tulisannya fiksi, juga kaget kenapa kok endingnya kayak gitu, lha wong saya aja pas nulis awalnya nggak tahu ceritanya mau kayak apa. Asal ketik aja -_-
Yes, I’m having a quick holiday everyday for a month. Satu jam setiap hari. And it’s fun anyway. Walaupun saya jadi sering ngomel-ngomel dan panik ke anak-anak, atau ke pacar :p Men, dua puluh ribu men.
Jadi, terima kasih untuk liburan selama sebulan ini. Tapi, liburan memang nggak boleh sering-sering. Harus jarang, supaya semakin terasa spesial. Dan, liburan saya ini cukup banget! :) I’m happy, terlebih setelah melihat blog bulukan berdebu ini jadi rame lagi :D
Mungkin, saya bakal kangen jam-jam krusial (jam 10-11 malam) dimana badan udah bawaannya pengen tidur aja tapi tulisan belum punya dan akhirnya saya kebingungan ngomel-ngomel muring-muring kepada makhluk hidup apapun yang ada di dekat saya :p
Jadi, sampai jumpa. Semoga kotakpermenkaret segera terisi lagi, dan kali ini tanpa pake ngomel-ngomel ya! :)

Untuk semua hal yang menginsiprasi 31 tulisan di bulan Mei

Wednesday, May 30, 2012

Omelet Kornet



Aku suka memasak omelet kornet. Entah itu pagi, siang, sore, atau malam, setiap hari aku harus memasak omelet kornet. Omelet kornet yang tidak perlu kumakan sendiri, yang penting aku memasaknya hari itu. Untuk kamu.
Kamu pernah bilang omelet kornetku adalah omelet kornet terlezat di muka bumi ini. Garingnya pas, gurihnya juga. Tidak terlalu asin, dan juga tidak hambar. Takaran antara telur, bawang merah, daun bawang, cabai, dan kornetnya juga pas.
Kalau sedang kesal, kamu akan memakan omelet kornetku dengan saus cabai. Katamu, kamu sedang tidak enak hati, butuh yang pedas-pedas untuk menghilangkannya.
Kalau kamu sedang sedih, kamu akan memakan omelet kornetku dengan saus tomat. Rasa kecut tomat akan membuatmu lupa dengan sedih yang kamu rasakan.
Kalau kamu sedang senang, kamu akan memakan omelet kornetku dengan kecap manis. Katamu, manisnya kecap tidak akan bisa mengalahkan manis di hati yang kamu rasakan.
Begitu terus, selama 3, 5 tahun hubungan kita, kamu tidak pernah bosan memakan omelet kornetku. Kamu tidak pernah protes karena aku tidak bisa memasak makanan lain selain omelet kornet. Bukannya apa-apa sayang, bukannya aku tidak mau belajar, bukannya aku tidak mau berubah dan berinovasi, aku hanya takut.
Takut kenapa?
Aku takut masakanku yang lain tidak akan seenak omelet kornet ini. Wajahmu tampak sangat antusias setiap aku menyuguhkan piring berisi nasi hangat mengepul dengan omelet kornet di atasnya. Saat itulah kamu akan mengelus-elus rambutku dan berkata, “You are my best.” Dan efek satu kalimat itu akan membuatku terbang ke langit ke tujuh.
Sesederhana itu.
Omelet kornet adalah senjataku menghadapi semua fluktuasi hubungan kita. Apapun yang kamu alami hari itu, semua akan baik-baik saja ketika ada omelet kornet setelah itu. Aku kadang-kadang suka tidak mengerti, memang apa yang istimewa dari omelet kornet ini? Telurnya saja telur biasa yang kubeli di warung sebelah rumah. Kornetnya juga kubeli di minimarket seberang jalan. Tidak ada yang spesial dari omelet kornet ini, sungguh.
“Sayang, kalau besok aku nggak bisa masakin omelet kornet lagi buat kamu gimana?” tanyaku suatu ketika.
“Loh, kenapa memang?”
“Kamu masih sayang aku?”
“Emm, tergantung… kamu nggak bisa masakin omelet kornet lagi kenapa?” Kamu malah menggodaku.
“Kamu enggak pernah bosan, tiap hari makan omelet kornet melulu?”
“Kalau bosan, aku nggak bakalan ada di sini sekarang, sayang.”
Aku menatap kamu lekat-lekat.
Mendadak aku ingin mencoba sesuatu yang baru.

“Loh, kok bukan omelet kornet?” Keningmu berkerut menatap piring di depanmu.
“Nggak papa sayang, sekali-sekali. Cobain deh cobain deh.”
Kamu menyendok sesuap nasi goreng sosis di depanmu. “ENAK BANGET!”
Aku sumringah. “Beneran??”
“Iya! Enak banget! Kamu ternyata pinter masak, besok coba masakan lain deh!”

Itu adalah awalnya.
Lalu kamu mulai meminta masakan lain, nasi goreng seafood, spaghetti, sup ayam, sup daging, soto, steak, sandwich, roti bakar, donat, terus dan terus. Aku semakin semangat, skill memasakku semakin terasah, dan aku juga bahagia melihat kamu yang selalu puas terhadap semua hasil masakanku.

“Kalau aku besok nggak bisa masakin macem-macem lagi buat kamu gimana sayang?”
“Nggak mungkin, kamu pandai, kamu pasti bisa memasak segalanya. Aku yakin.”
Aku terdiam.
Entah mengapa, perasaanku menjadi sangat sedih.

Lalu hubungan kami berhenti di rendang daging. Rendang daging yang katamu lezat. Rendang daging yang rasanya luar biasa.
Aku berhenti memasak sesuatu yang luar biasa untuk kamu. Kamu bahagia memakan rendang daging, tapi aku tidak tahu apakah kamu sedang sedih, senang, atau marah ketika memakannya.
Yang aku tahu, kamu senang. Dan itu juga yang terjadi di makanan-makanan lainnya. Kamu selalu senang. Kamu selalu antusias. Aku selalu senang. Aku selalu antusias.
Tidak ada kecap, saus sambal, atau saus tomat yang membuat aku tahu apa yang kamu rasakan. Tidak ada omelet kornet yang membuat kamu menceritakan apa yang kamu rasakan saat itu.

Aku suka memasak omelet kornet. Dan sekarang aku mulai paham kenapa kamu tidak pernah bosan memakan omelet kornetku. Di omelet kornet, ada kornet yang asin, ada bawang merah yang gurih, daun bawang yang renyah, dan potongan cabai pedas. Semuanya disatukan oleh telur yang membuat omelet kornetku kaya rasa. Omelet kornetku fleksibel, terserah kamu ingin mencampurnya dengan saus sambal, saus tomat, atau kecap.
Itulah caramu menikmati omelet kornetku. Kamu berusaha, kamu bereksperimen, kamu meresapi setiap rasa yang ada disana. Kamu selalu mencoba supaya bisa menikmati omelet kornetku dengan berbagai cara setiap hari.
Sampai aku merusaknya dengan mencoba memasak nasi goreng sosis, kemudian nasi goreng seafood, sampai rendang daging. Kamu tidak lagi bereksperimen. Kamu tidak lagi meresapi setiap rasa yang ada di sana. Kamu tidak lagi mampu menunjukkan jiwamu.
Aku kehilangan kamu, aku kehilangan omelet kornetku.

Jogja, 30 Mei 2012
*Untuk mas Putro yang hobinya minta dimasakin melulu

Tuesday, May 29, 2012

Ode untuk Soe


Kamu seperti cinta pertama yang tak akan pernah bisa aku lupakan.
Aku terlahir dari keluarga yang nomaden. Pekerjaan ayahku memaksa kami untuk selalu berpindah-pindah kota setiap tiga tahun sekali.
Ya, kamu, kamu adalah kota pertamaku.

Soe. Setiap aku menyebutkan kata itu, orang akan selalu berkata? Soe itu apa?
Soe itu nama kota, bodoh. Saking asingnya orang-orang terhadap kamu, aku sampai membuat sumpah kalau sampai ada laki-laki yang tahu dimana itu Soe tanpa harus googling dulu, aku akan menikahinya -___-

Bagiku kamu spesial. Kamu mengajarkan aku untuk merasakan tinggal di sudut lain Indonesia. Kamu membuatku merasakan hawa ala luar negeri, panas ketika siang, dan luar biasa dingin ketika malam hari. Haha, aku masih suka ketawa kalo ingat foto-foto masa kecilku yang memperlihatkan aku, dan kedua adikku mengenakan piyama training tebal kembar :)

Ya, walaupun hanya ada satu toko kelontong di sana. Bagiku, Soe tetap memorial.
Disana aku bertemu Amida. Sahabat dan tetanggaku satu-satunya, yang selalu bermain bersamaku setiap sore. Amida mengajarkanku kesederhanaan. Amida mengajarkanku pertemanan anak kecil paling tulus yang pernah kumiliki. Amida juga lah yang mengajarkan aku untuk bermain dengan alam, bukan bermain dengan mainan-mainan mahal seperti anak-anak modern lainnya. Walaupun Amida tinggal di tengah ladang, di rumah kayu sederhana, ia tetap percaya diri bermain denganku. Di situlah aku merasakan ketulusan Amida, persahabatan antar ras suku paling murni, satu-satunya yang pernah kurasakan. Seperti di film-film :’)

Amida… sekarang umurmu sama sepertiku, 21 tahun? Apa kabarmu? Apakah kamu masih tinggal di rumah kayu yang sama? Bersekolahkah kamu? Kuliahkah kamu? Atau kamu sudah menikah?

Soe jugalah yang mengajarkan aku untuk terbiasa duduk sore di teras rumah dan melihat babi-babi berjalan santai di jalan.
Soe, walaupun tidak ada yang pernah mendengar di mana kota itu, menurutku Soe adalah kota yang sama saja seperti yang lainnya. Disana aku belajar semua lagu anak, pancasila, membaca, menggambar, mewarnai, dan berhitung. Soe.. Soe itu unik. Dan membuatku merasa spesial karena aku merasa cuma akulah di dunia ini yang pernah merasakan kota itu. Ketika semua orang pamer pernah ke Lombok, Raja Ampat, sampai Karimunjawa, cuma aku satu-satunya yang pernah merasakan Soe :p

Sekarang aku ada di kota ke-8 ku. Dan yah, seperti yang aku bilang, kamu seperti cinta pertama yang tak pernah lekang oleh waktu. Sudah 15 tahun aku meninggalkan kamu.
Seperti apa kamu sekarang?


Untuk Soe, sebuah kota di ujung timur Indonesia, Nusa Tenggara Timur

Monday, May 28, 2012

Mensyukuri Sakit


Semua orang pernah sakit. Sakit itu tidak enak. Saya punya lima jenis penyakit yang sering banget hinggap di saya sampai-sampai saya hafal tabiat saya kalau lagi kedatengan lima makhluk Tuhan paling seksi ini:
1.   Diare
Diare adalah penyakit paling menyebalkan di dunia ini. Entahlah, tapi tiap diare menyerang, selalu timbul perasaan semacam i-don’t-wanna-live-in-this-world-anymore. Rasanya seperti hidup ini nggak berguna dan sia-sia. Putus asa, lemah, dan sedih menghampiri. Toilet menjadi saksi biru emosi yang mengharu biru ketika penyakit ini menyerang. Beneran, saya paling nggak suka kalau harus diare. Entah kenapa penyakit ini nggak hanya menyerang fisik saya tapi juga menyerang sisi emosional saya :( Ada yang bisa menjelaskan?
2.   Pilek
Pilek itu njijiki. Kalau saya pilek, apalagi pilek yang lumayan akut, saya bisa menghabiskan tissue berlembar-lembar. Bahkan saya bisa aja tidur bertaburkan tissue. Selain itu umbel yang sentrap sentrup bikin saya males dekat-dekat dengan orang lain. Doa jangan pilek adalah doa yang pertama kali saya panjatkan dulu ketika pertama kali jalan sama gebetan waktu jaman muda dulu. Selain itu, kata teman saya suara saya kalau lagi bersin ngilfilin banget, dia bilang dia nggak mau sama saya karena udah pernah liat saya bersin. Akhirnya, kemaren saya akhirnya bersin dengan lantangnya di depan pacar, alhamdulillah dia masih mau sama saya *tos*
3.   Batuk
Batuk bikin enggak bisa tidur! Benar-benar menyiksa. Ketika orang sakit itu hanya pingin tidur, penyakit ini bikin saya enggak bisa tidur karena gatalnya bikin saya batuk melulu dan akhirnya nggak ngantuk lagi. Namun begitu, ada satu hal yang saya suka dari sakit batuk: Obatnya Enak! Obatnya cair, bahkan ada yang rasa strawberry. Rasanya pun adem sengkring-sengkring di mulut dan tenggorokan. Saya paling semangat kalau disuruh minum obat batuk. Sampai saya mendengar kalau obat batuk emang ternyata beneran bisa bikin kecanduan.
Mampus.
4.   Pusing
Kalau yang diatas itu adalah penyakit sejuta umat, maka Pusing sampe mungkin nggak bisa dikategorikan lagi sebagai penyakit saking seringnya saya alami. Indikasi penyebab pusing juga sangat absurd bin random. Banyak tugas pusing, nggak ada kerjaan pusing, sakit hati pusing, nyebelin banget kan pusing itu? Sialnya, begitu udah pusing, saya bisa males ngapa-ngapain. Sayangnya, lebih sialnya lagi, obat andalan saya kalo lagi pusing dan harus mengerjakan banyak hal cuma satu: Paramex.
Dan begitu saya udah minum Paramex… jangan tanya efek sampingnya ke saya kayak gimana. Selain dalam lima menit pusing saya langsung hilang, saya reflek akan gembira riang ceria hiperaktif dan nyanyi-nyanyi sendiri, nggak tau kenapa.
Narkoba saya cetek sekali, Paramex. Nggak elit.
5.   Demam
Kalau lagi demam saya bakalan berubah jadi manja. Saya nggak doyan makan, minum, pokoknya nggak doyan ngapa-ngapain. Yang saya ingin lakukan cuma berdiam diri di kamar sambil selimutan. Demam bisa bikin saya lupa diri, bikin saya merasa hanya ada saya di dunia ini. Entah karena kuping saya yang suka ngang nging ngang nging kalau sedang demam atau selimut saya yang tebal dan nyaman, tapi, percayalah, istirahat sakit ternyaman akan kamu alami ketika kamu sedang demam.

Kalau kata orang bijak, penyakit itu jangan dibenci, jangan juga disumpah-sumpahin. Disambut saja dengan penuh suka cita, nanti efeknya bisa beda banget.
Kalau sedang sakit, rasanya memang menyebalkan sekali. Terus bawaannya mengeluh, mengeluh sama Tuhan terutama, apalagi kalau masih banyak hal yang harus kita kerjakan.
Egois adalah hal pertama yang akan kita rasakan ketika sakit. Inginnya semua mengerti kita, inginnya semua paham dengan kondisi kita. Tapi, egois ternyata ada batasnya. Batasnya ada dua, minimum dan maksimum. Artinya kita tidak boleh jadi orang yang sama sekali nggak egois. Egois itu perlu, toh kita ini manusia yang mau enggak mau pasti mendahulukan kepentingan pribadi dong. Saya juga enggak mau munafik, saya ingin membahagiakan diri sendiri dulu, baru kemudian bisa membahagiakan orang lain. Hemat saya sih, bagaimana mungkin saya bisa bikin orang lain bahagia kalau diri saya sendiri aja belum bahagia? Logis.
Tapi egois juga ada batas maksimumnya. Iya deh, saya paham, setiap orang memang memiliki kepentingan dan prioritas yang berbeda-beda dalam hidup. Kita juga diciptakan dengan udel-udel masing-masing satu tiap orang, yang artinya, terserah kita juga mau ngapain, orang ini hidup juga hidup kita, resikonya yang nanggung juga kita kan.
Saya sering merasakan hal ini. Cuma, kalau ingat betapa saya juga sering egois, saya menahan diri. Sekuat mungkin menahan untuk enggak egois. Sekuat mungkin menahan untuk tidak melulu memikirkan kepentingan saya sendiri. Berusaha mengingat orang-orang yang dengan baik hatinya mau menomorduakan kepentingannya demi saya. Saya mencoba berpikir terbalik, mencoba berpikir sekali saja bukan dari perspektif saya.
 Ohya fyi, metode berpikir terbalik ini sangat efektif ketika lagi mangkel dan marah sama orang lho. Seperti misalnya kalau ada orang ngebut dan berkendara dengan ngawur yang bikin mulut otomatis misuh gitu, saya langsung mikir, “Sarah, maklum Sarah.. itu anaknya nunggu di rumah lagi sakit… Sarah, maklum sarah, masnya itu lagi buru-buru mau ketemu pacarnya, udah 3 tahun gak ketemu.. sarah.. maklum Sarah… mbaknya itu utangnya banyak banget nggak tahu mau bayar pake apa…”
Cling sim salabim emosi hilang.
Semudah itu :D
Sulit dan terdengar sangat Mario Teguh ya? Apa banget ya kesannya ya? :p
Tapi beneran deh, rasanya habis itu lega :)
Serius.

Saya membuat list lima penyakit terdahsyat ala Sarah ini *macak On the Spot* sebagai usaha supaya selalu bisa menyambut sakit dengan lapang dada. Dengan begitu saya (semoga) bisa mengurangi merepotkan orang lain.
Kalau sedang sakit, apa yang kamu lakukan? :)

Friday, May 25, 2012

Life is All About Choosing



Choosing, however simple the choices are, is never really that simple, karena suka atau tidak, choosing is like balancing the idiosyncrasy of ourselves with the mere existence of others. 
Divortiaire, p. 310

Memilih tidak pernah mudah, setidaknya bagi saya. Sejak saya kecil, saya sering plin-plan, tidak tahu bagaimana cara memutuskan. Inginnya semuanya senang, inginnya semua happy, inginnya saya bisa mengakomodasi semua kebahagiaan di hidup ini. Kalau bisa kesusahan diminimalisir sekecil mungkin. Kalau bisa, tidak usah memilih hal yang menyusahkan.
Papah adalah sosok yang paling sering mengingatkan saya tentang habit jelek saya yang satu ini. “Hidup itu memilih,nak.” Berkali-kali papah mengatakan itu kepada saya, dari kecil. “Semua ada resikonya, pilihlah resiko yang paling bisa kamu terima.”
Kalau mamah mengatakan hal lain lagi, “Ragu-ragu itu temennya setan.” Singkat. Padat. Lugas. “Semakin lama kamu ragu, semakin gampang setan buat menggoda kamu.”
Saya sering ragu-ragu. Maka dari itulah kedua orang tua saya sering mengulang hal itu dari saya kecil. Semakin besar, saya semakin memahami dua statement dewa itu. We’re living in the world full of options. Dari bangun tidur saja kita sudah harus memilih, Keramas atau enggak ya pagi ini, kalo keramas, udah buru-buru, nggak sempet ngeringin rambut pula, tapi kalau enggak keramas, rambut udah gatel dan lepek, mana tahan nih!
Sampe kampus, masuk ke kantin, pilihan kembali datang, Mau makan siang dimana? Di luar atau di kantin? Kalau di kantin murah, tapi bosan. Kalau di luar lebih mahal, males lagi keluar-keluar, panas. Tidak berhenti sampai di situ, jika sudah memutuskan makan di kantin masih juga bingung, mau makan apa? Ketoprak, mie ayam, tom yam, pecel, duuuh… pusing!
Itu adalah contoh dari pilihan-pilihan kecil yang setiap hari menghampiri hidup kita. Sialnya oh sialnya, nggak semua pilihan segampang mau memutuskan makan apa di kantin hari ini? Terkadang banyak keputusan penting yang harus diambil seumur hidup kita, yang kita tahu akan berpengaruh secara massive ke kehidupan kita selanjutnya. Memilih mau kuliah jurusan apa, memilih judul skripsi, memilih pekerjaan, memilih pasangan hidup, memilih... memilih…
Takut salah pilih terkadang menjadi dalih bagi kita untuk menunda proses eksekusi pilihan itu. Masih ragu, masih belum mantep, masih ngitung-ngitung nih, masih belum tahu, dan sejuta alasan kita buat untuk meyakinkan diri sendiri.
Entah karena saya benar-benar tidak suka galau lama-lama, tidak betah menimbang-nimbang (karena selama saya menimbang-nimbang itu di saat yang sama saya merasa saya tidak akan pernah puas), tidak menyukai proses memilih yang terlalu lama, maka saya sering menghindari berlama-lama dalam memilih. Kalau tidak suka, saya menghindar, mundur, kalau baik ya ayo. Habit buruk saya, saya sering menghindar simply karena saya males dan nggak nyaman dengan proses menimbang-nimbang itu sendiri. Nah ini nih -_-
Salah satu contoh, kalo lagi mbribik (bisa nggak sih, Sar kasih contoh yang agak elegan gitu, nggak perkara mbribik melulu -_-) Menurut saya, orang yang bribikannya banyak adalah orang yang menyukai proses menimbang-nimbang ini. Entahlah, tapi saya bener-bener enggak ada bakat dalam menimbang-nimbang. Biasanya saya malah pusing sendiri LOL
Tapi setiap orang punya kapasitas mental masing-masing dalam proses pemilihan. Saya tahu, semakin lama saya memilih, semakin besar juga godaan yang akan datang. Dan saya mulai sadar, saya enggak boleh egois, apa yang saya lakukan, memiliki efek juga untuk orang lain dan orang yang lain-lain. Efek Domino. Jadi saya nggak boleh kelamaan plin-plan. Orang plin-plan akan terus berdalih, orang plin-plan akan merugikan orang-orang di sekitarnya.
“Ragu-ragu temennya setan.”
Saya pikir disini letak logisnya istilah ini.
Sayangnya, sebenarnya tidak ada sesuatu yang benar-benar meyakinkan di dunia ini. Siapa saya bisa meramal masa depan? Yah, untungnya saya masih yakin sama Tuhan saya -_- Kalau bisa tidak memilih sih, memang tidak usah memilih. Saya tidak suka memilih, terlebih lagi proses pemilihan itu sendiri yang amit-amit nggak enak banget.
And then here comes the biggest question ever… Apa yang harus kita lakukan jika kita (pikir) kita memutuskan sesuatu yang salah?
Menurut saya, pilihan yang salah itu enggak ada. Karena pada akhirnya, kembali lagi ke statement papah saya, semua pilihan ada resikonya. Pilihan yang lain akan menimbulkan resiko lain, dan juga resiko-resiko lain kedepannya yang tentu saja kita enggak tahu itu apa. Manusia diciptakan defensif, kita akan mengeluarkan cara untuk mengatasi itu dengan sendirinya. Dan hal itulah yang pada akhirnya mendewasakan kita. Bersyukurlah dengan semua pilihan yang mendewasakan itu, pilihan apapun itu. *eciee lagi bijak bok*
Selamat malam :)

Not everything comes along just when we want it. There are times when decisions just have to be made, or you certainly will miss out.
Guinevere Pettigrew - Miss Pettigrew Lives For A Day 

Untuk bilionan pilihan yang besok akan terus menghampiri, selamat datang :)

Thursday, May 24, 2012

Toko Buku = Best Escapism


Saya sangat suka pergi ke toko buku. Jika sedang bete, saya biasanya menjadikan toko buku sebagai eskapisme dari kebetean saya. Saya akan betah nongkrong disana berjam-jam sampai bete saya mereda, sampai pikiran saya teralih oleh tumpukan buku di rak-rak toko buku itu.
Yup, bookstore is a little piece of heaven.
Entahlah, tapi banyak sekali hal menyenangkan yang bisa saya temukan di toko buka. Bagi saya, seluruh sudut toko buku itu sangat menyenangkan untuk ditongkrongin. Sangat menyenangkan untuk berimajinasi tentang banyak hal.
Ke rak Novel, dijamin saya betah ngebacain sinopsisnya satu-satu. Ke rak Buku Anak, kebayang besok punya anak terus beliin dia salah satu dari buku-buku ini. Ke Resep Masakan, jangan tanya, bagian toko buku yang paling betah saya tongkrongin ya bagian buku resep-resep masakan. Antara pengen bikin sama pengen makan sih. Saya pernah dimarahin satpam Gramedia gara-gara ndelosor dengan pewenya di lantai Gramedia, mantengin buku-buku resep -_
Terus ke rak Komik, liat komik Smurf, rasanya pengen beli semua serinya, sayang komik Smurf itu mahal T_T, ke rak Interior, langsung berimajinasi yang iya-iya tentang future house (bukan tidak-tidak, diaminin aja, makanya iya-iya aja, bukan tidak-tidak .__.), ke rak Komputer dan Teknologi, mumet, rasanya kayak masuk ke dunia transformers *saya paling nggak betah si di section ini, dalam sekejap langsung ngacir ke rak lain*, ke rak Kebudayaan, pandangan mata langsung tertuju ke buku Primbon (ini beneran, sumpah buku Primbon itu lucu! Kalian harus baca!), ke rak buku Komunikasi, langsung inget tugas-tugas yang numpuk, berakhir ke rak Al Quran… langsung kebayang dosa-dosa duniawi, terus khilaf karena hedon buku.
*nunduk sambil mainan tanah*
Saya suka sekali ke toko buku. Dan sialnya, toko buku sangat bisa bikin saya jadi impulsif. Tahan beli baju, gampang. Tahan beli tas, gampang. Tahan beli sepatu, lumayan. Tahan beli buku… NYERAH! SUSAH BANGET! Dan tadi sore, atas nama perasaan yang lagi bete berat dan uring-uringan, saya berakhir dengan beli dua buku. Yang satu novel fiksi, yang satu Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3! Meeen, yang volume 3 udah keluar, mana bisa saya enggak beli!
Lupa kalo sekarang tanggal tua -___-
Kalau saya sedang ada di toko buku, saya bisa lupa diri. Karena itulah saya paling suka sendirian kalau pergi ke toko buku. Rasanya seperti bisa berpindah-pindah dunia, dari satu dunia ke dunia lain, dari satu rak ke rak lain. Masalah rasanya keslamur ilang, yah walaupun abis keluar dari toko buku masalahnya mbalik lagi -_-
Dan saya bisa benar-benar sampai lupa diri, saya pernah nangis sampe mbrambangi gara-gara baca buku anak-anak di Gramedia. Masih inget banget, bukunya warna pink, gede, judulnya I Love You, Mom. Saya mbrambangi, nangis. Sumpah nggak bohong. Tapi beneran bukunya itu unyu banget :’’(
Sore ini, dengan perasaan bete carut marut--entah karena PMS atau apa ini--akhirnya saya (lagi-lagi) melarikan diri ke toko buku. Walaupun pulang dengan membawa dua buku hasil kekhilafan, tapi… I never regret it. Buku itu narkoba buat saya. Nagih. Kalau buat buku, saya enggak masalah jadi hedon :P

Setiap orang punya eskapisme sendiri ketika sedang suntuk. Ya, buat saya tempat itu adalah toko buku.
Sesederhana itu.

Wednesday, May 23, 2012

Karena Lagu Anak adalah Representasi Kehidupan Mbribik


lagu anak milik semua kalangan!
Waktu dulu saya kecil saya sangat suka menyanyi. Kata mamah saya, enggak di mobil, enggak di jalan, saya pasti bersenandung. Saya hafal semua lagu anak-anak. Bahkan waktu kecil saya paling pede kalo disuruh nyanyi di depan banyak orang.
Tapi sudahlah, itu masa lalu. Tidak usah diingat-ingat. Saya percaya saya harus move on dari kebahagiaan dan keceriaan masa lalu itu *menyadari kualitas vokal sendiri seiring berjalannya waktu* Tenang, saya masih suka nyanyi kok… di kamar mandi tapi.
Lagu anak-anak itu menyenangkan. Lirik-liriknya sederhana, nadanya pun mudah dinyanyaikan. Selain itu penuh dengan pesan moral yang lucu.
Namun beranjak dewasa, saya menyadari bahwa makna dari lagu-lagu anak tidak lagi sesederhana dulu. Lagi-lagi, selo bisa terjadi dimanapun, maka saya bersama seorang sahabat saya, pernah dengan selonya me-list lagu-lagu anak dan menyadari bahwa terdapat makna tersembunyi di dalamnya.
A.T Mahmud, Ibu Sud, Papa T Bob, sesungguhnya kalian adalah pelopor kehidupan mbribik Indonesia. Pantas generasi saya jadinya kayak gini :))

Kupu-Kupu yang Lucu

Kupu-kupu yang lucu
Kemana engkau terbang
Hilir-mudik mencari
Bunga-bunga yang kembang
Berayun-ayun
Pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu
Merasa lelah
Kupu-kupu yang elok
Bolehkah saya serta
Mencium bunga-bunga
Yang semerbak baunya
Sambil bersenda-senda

Semua kuhampiri
Bolehkah kuturut

Kupu-kupu adalah analogi untuk pria yang hobi mbribik sana-sini. Tangkai dan Bunga adalah analogi untuk wanita yang dibribik. Lagu ini menganalogikan laki-laki yang suka mbribik wanita, biasanya yang lemah, tanpa mengenal lelah. Kupu-kupu ini sangat genit, senang mencium bunga-bunga, dan semua dihampiri. Oke. Lagu ini nge-troll.

Balonku

Balonku ada lima
Rupa-rupa
warnanya
Hijau, kuning, kelabu
Merah muda dan biru
Meletus balon hijau DOR!
Hatiku sangat kacau
Balonku tinggal empat
Kupegang erat-erat

Balon merupakan representasi dari kekasih. Saya mau bilang itu cewek, nanti saya dibilang anti femisme. Tapi intinya lagu ini menggambarkan orang yang punya pacar banyak, istri banyak, atau suami banyak. Ketika salah satu pacarnya hilang, hatinya sangat kacau. Tapi untung dia masih punya empat kekasih lainnya, tentu saja kali ini akan dia jaga baik-baik. Pertanyaannya? Kenapa harus hijau sih yang meletus? Apakah jika menjadi orang yang go green dan cinta lingkungan kita jadi yang pertama dieliminasi? 
Oke. Ini jayus.

Cicak di Dinding

Cicak-cicak di dinding
Diam diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap ... lalu ditangkap

Cicak merupakan representasi dari seseorang yang sukanya diam-diam dalam mbribik. Dari luar terlihat tenang, tapi sebenarnya dia sedang menyusun rencana untuk mbribik. Begitu target sudah terkunci, HAP! Lalu ditangkap! Iya, orang seperti cicak ini tidak akan tinggal diam melihat kesempatan yang ada di depan mata!

Kebunku

Lihat kebunku
Penuh dengan bunga
Ada yang putih,
Dan ada yang merah
Setiap hari
Kusiram semua
Mawar melati,
Semuanya indah!

Si gardener ini adalah seorang pembribik yang handal. Dia punya banyak bribikan disana-sini. Prinsipnya, rawatlah semuanya, karena dia bingung memilih, semuanya indah sih. Maka, setiap hari kusiram semua! Bravo!

Layang-layang

Kuambil buluh sebatang
Kupotong sama panjang
Kuraut dan kutimbang dengan benang
Kujadikan layang-layang
Bermain berlari
Bermain layang-layang
Berlari kubawa ke tanah lapang
Hatiku riang dan senang

Strategi tarik ulur dalam membribik digambarkan dengan ciamik di lagu ini. Orang yang suka menarik ulur hubungan tentu memiliki pertimbangan macam-macam. Kupotong sama panjang, kutimbang dengan benang. Tentu saja dia bahagia, dibawa ke tanah lapang, bermain, bersenang-senang. Weits, tunggu saja sebentar lagi dia akan bikin kamu mabuk kepayang!

Naik-Naik Gunung

Naik - naik, ke puncak gunung
tinggi - tinggi sekali
Naik - naik, ke puncak gunung
tinggi - tinggi sekali
Kiri - kanan kulihat saja
banyak pohon cemara
Kiri - kanan kulihat saja
banyak pohon cemara

Punya teman yang pemilih? Tentu saja, standarnya tinggi sih, bayangin seleranya aja tinggi sampai ke puncak gunung. Tapi sayangnya, tiap ada pilihan di depan mata dia cuma ngeliatin, nggak berani ngedeketin. Agak menyebalkan juga buat yang diliatin, dikira mau mbribik, eh ternyata cuma dilirik doang. Tapi susah juga, kalo gini caranya, kapan dapetnya ya dia?

Menanam Jagung

Ayo kawan kita bersama
Menanam jagung di kebun kita
Ambil cangkulmu ambil pangkurmu
Kita bekerja tak jemu-jemu

Cangkul cangkul cangkul yang dalam
Tanah yang longgar jagung kutanam
Beri pupuk supaya subur
Tanamkan benih dengan teratur
Jagungnya besar lebat buahnya
Tentu berguna bagi semua
Cangkul cangkul aku gembira

Menanam jagung di kebun kita

Kata orang, relationship itu harus dirawat. Lagu ini mendeskripsikan istilah itu! Satu, harus bersama-sama, jangan sendirian. Terus cangkul sekuat tenaga, jangan menyerah. Namun, beri pasanganmu ruang dan privasi, kelonggaran, supaya hubungan tidak menjadi jenuh. Jangan lupa diberi pupuk supaya hubungan itu berkembang. Dan tentu saja yang penting teratur, alias konsistensi supaya hubungan tersebut senantiasa awet. Jika semua sudah dilakukan, semua akan gembira, asyik!

Aku Seorang Kapiten

Aku seorang Kapiten
Mempunyai pedang panjang
Kalau berjalan prok-prok-prok
Aku seorang Kapiten

Pedang, adalah simbol bagi seseorang yang rela berjuang dan berkorban. Seorang Kapiten akan penuh percaya diri memperjuangkan cintanya. Jika ingin menikah, nikahilah seorang Kapiten! Karena… pedangnya panjang.
Oke, kalau kalian ngeres, yang satu ini bisa agak failed.

Naik Kereta Api

Naik kereta api ... tut ... tut ... tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung ... Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma
Ayo temanku lekas naik
Keretaku tak berhenti lama
Cepat kretaku jalan ...tut...tut...tut
Banyak penumpang turut
K'retaku sudah penat
Karena beban terlalu berat
Di sinilah ada stasiun
Penumpang semua turun

Hidup memang berat apalagi untuk orang-orang yang pacarnya banyak, tapi sayangnya nggak ada yang awet. Kereta api ini adalah analogi sosok tersebut. Kemana dia singgah, pasti ada yang dipacarin. Cepat cepat jadian, sayangnya keretaku tak berhenti lama, soalnya dia orangnya cepat bosan. Keretaku terus berjalan, tapi lama-lama dia penat terus menerus berganti penumpang. Dia menunggu cepat sampai di stasiun, karena stasiun adalah tempat hatinya akan berhenti. *asyik unyu*

Jadi, termasuk lagu anak yang manakah kamu? :D

Gusti.... bisa buat judul skripsi nggak ini? Representasi Kehidupan Cinta Remaja dalam Lagu Anak Indonesia. Menurut ngana? -__-