Sunday, July 5, 2015

The Headphone Splitter

Rasanya sudah lama sekali sejak saya terakhir menonton sebuah film lalu memutar potongan scene-nya berulang-ulang. Film terakhir yang saya perlakukan dengan barbar seperti itu adalah 27 Dresses-nya Katherine Heigl. Adegannya tentu saja adegan saat Jane (Katherine Heigl) menyatakan perasaannya ke Kevin (James Marsden) di sebuah boat saat pesta pernikahan sahabat Jane.

Adegan itu saya putar berulang-ulang, karena saya begitu terpana dengan ekspresi Kevin yang bikin meleleh dan juga tentu saja karena tak lain tak bukan soundtrack-nya adalah Like a Star-nya Corinne Bailey Rae yang merupakan salah satu lagu kesukaan saya.

Itu terjadi sudah lama sekali. Sekitar 5 tahun yang lalu, ketika saya baru lulus SMA. Semenjak itu saya belum bisa lagi menemukan sebuah film yang bikin saya benar-benar melting dan dengan banalnya memutar tombol rewind berulang kali hanya untuk satu scene yang sama.

Sampai tiga hari yang lalu. Saat saya menonton Begin Again. Sepulang kantor sebelum tidur.

Begin Again, film yang saya tonton dengan ekspektasi biasa-biasa saja ini, sukses bikin saya nggak bisa move on sampai sekarang.

Salah satu scene favorit saya adalah The Headphone Splitter scene, dimana Gretta (Keira Knightley) dan Dan (Mark Ruffalo) jalan-jalan berkeliling NYC dengan headphone di telinga masing-masing dimana kedua headphone itu terhubung ke satu gadget.

“You can tell a lot about a person by what’s on their playlist.” – Dan

And here you go, adegan dream date paling epic yang pernah saya saksikan. Rasanya saya pengen meloncat masuk ke dalam layar saat menonton adegan itu.

Ohya, jika ingin lihat scene luar biasa ini, silakan klik saja link YouTube ini ya. Saya sih saking gilanya sampai download scene ini dan saya masukkan handphone supaya saat tiba-tiba kangen saya bisa langsung nonton di handphone. Iya, panggil saya sinting. Saya nggak peduli.

[SPOILERS BELOW!]

Jadi, di tengah keriuhan New York yang gemerlap itu, mereka berdua seperti ada di dunia mereka sendiri. Kalau Dan bilang playlist seseorang adalah kepribadian orang tersebut maka dengan mendengarkan satu playlist yang sama sebenarnya mereka sedang bertukar kisah, mendengarkan dunia yang sama. Tanpa perlu banyak berkata-kata.

Alat ini, headphone/ earphone splitter, resmi sudah jadi benda paling romantis yang ada di dunia ini. Swear to God.

Ini juga sekaligus menampar saya yang hobi dengerin musik pakai earphone. Ketika di jalan, rasanya dunia memang cuma milik sendiri. Kebisingan jalanan Jakarta, klakson yang berisik nggak terdengar karena saya seperti sedang menari dengan lagu favorit saya. My earphone is a powerful weapon.

Cuma saya nggak pernah kepikiran aja ternyata benda ini bisa jadi romantis parah kalau dipakai ngedate. Sial!

Magisnya film ini nggak cuma tentang headphone splitter scenenya saja. This movie tells you a lot about how to… begin again.
Endingnya dalam banget, ketika Gretta menonton Kevin, (mantan) kekasihnya—yang diperankan si keturunan bidadara Adam Levine *lap iler* —di panggung menyanyikan lagu ciptaannya dan sadar bahwa Kevin yang sekarang sudah bukan yang dulu lagi. Kevin is a star, seorang bintang yang butuh bersinar dan menyukai lampu panggung, and she losts him.

Itu pandangan mata super gila ketika kamu memandang seseorang yang sudah terbang jauh. Dan sadar bahwa keadaan sudah berubah. Face it. No need to take it back.

Atau adegan sewaktu Dan menatap Gretta di subway.
Ini screencapnya:



Bunuh aja adek bang. Bunuh!!

Di The Avengers, karakter kesukaan saya adalah Hulk, itu karena saya suka banget sama tokoh Bruce Banner yang diperankan luar biasa sama Mark Ruffalo. A cute shy guy who turns out genius. A wallflower. Minta dicubit-cubit emesh kan.

Yaudah deh ketika dia memerankan Dan di Begin Again ini saya langsung menyerah angkat tangan sambil mengibarkan bendera putih. The image of an old mature guy (with five o’clock shadow) never fails me. Duh.

Disitu juga perasaan saya dibuat kacau balau ketika melihat bahwa Gretta ternyata nggak berakhir dengan Dan. Malah Dan diceritakan balikan sama istrinya. Padahal saya sudah dibikin jatuh hati mati-matian gegara adegan headphone splitter ini. Saya yang semula nggak melihat mereka sebagai couple, hatinya dibikin pontang-panting, di satu titik pingin mereka get together, satu titik melihat mereka nggak cocok bersama (Dan is too old and he also has a teenage daughter), tapi satu titik sedih banget karena sebenarnya mereka cocok banget, punya hobi dan passion yang sama, yang satu produser musik, yang satu penulis lagu, cute banget. This is very confusing my brain hurts.

Sampai kemudian saya sadar, ya mungkin itu ya maksudnya. Punya passion dan energi yang sama, nggak berarti kalian harus bersama romantically.

Kadang-kadang kamu bertemu orang-orang dengan hobi, passion, kisah, keinginan, visi, dan mimpi yang benar-benar seiring. Rasanya seperti ketemu kembaran. Tapi toh, ternyata hal-hal itu ternyata nggak beririsan dengan cinta. Ah, cinta memang tidak pernah bisa ditebak ya.

Kenyataan memang nggak semudah plot sebuah romantic comedy. Mungkin cinta memang tidak sesederhana itu.

Ah sudahlah. Kenapa jadi kalbu begini ya.

Yang jelas, kesimpulannya:

Dream date:



Killer eyes (harus banget dipost lagi pokoknya):




Aku mau beli headphone splitter. Sekarang.

Friday, June 19, 2015

The Summary—Adios!

Apa lagi coba yang bisa saya tulis untuk menutup rangkaian 31 Hari Menulis ini?

Saya mencoba memikirkan sesuatu yang kalbu atau romantis atau punya pesan moral. Namun buntu. Toh semua pesan moral dan hal-ha romantis lainnya sudah pernah saya tulis di postingan-postingan sebelumnya.

Oleh karena itu, saya pikir alangkah lebih bermanfaatnya jika saya membuat rangkuman tulisan-tulisan saya selama 31 hari ini saja :)



Balloon Series
Adalah sebuah cerita bersambung tentang dua orang yang mencintai dalam diam. Awalnya ini saya buat spontan saja (anyway, di 31 Hari Menulis tahun ini, tidak ada satupun tulisan yang dibuat dengan rencana. Semuanya ditulis spontan satu-dua jam sebelum dipost, jadi maafkan jika ada salah-salah typo dan ejaan J)—nah, namun entah cerita ini malah jadi seru ketika saya iseng bikin lanjutannya.
Balloon Series ditulis bergantian dalam POV perempuan dan laki-laki. Insightnya sederhana: semua orang pasti pernah kan merasakan yang namanya cinta yang tak tersampaikan. Semoga Balloon Series ini bisa meng-capture keriweuhan dan perang batin perasaan tak tersampaikan itu. Di series ini juga, saya untuk pertama kalinya mencoba menulis dalam gaya sajak berima. Ternyata susah! :)
Mengapa Balloon Series? Sepele, ilustrasi awal yang saya pilih adalah balon. Dan ilustrasi balon itu mengalir saja di postingan-postingan selanjutnya. It turns out, balon bisa jadi analogi yang sempurna untuk beragam perasaan!
Untuk membaca Balloon Series, silakan klik hashtag #BalloonSeries, atau klik di sini.

Table For Two
Ada hari-hari dimana saya benar-benar capek atau habis lembur kantor. Di saat-saat seperti itu, mau nulis ngaco pun saya nggak kuasa. Hal itu lah yang membuat saya memutuskan mengambil satu-dua potong kutipan cerita dari salah satu soon-to-be naskah (yang maunya jadi) novel saya.
Judulnya Table for Two, ceritanya tentang… Ah nggak usah dijelasin sih. Malu banget. Secara naskahnya udah hampir tiga tahun nggak selesai-selesai! :p
Anyway, saya sangat membutuhkan feedback dan saran tentang Table for Two ini. So just read some writing with #TableForTwo hashtag, or simply click this link.
Kindly drop me an email should you want the full version of Table For Two. #halah

Sajak
Belakangan ini saya memang sedang tertarik dan ingin menulis kisah-kisah dengan sajak. Secara dari dulu terbiasa menulis prosa ringan dan sepele, jadi saya pikir nampaknya asik saja ketika mencoba hal-hal baru seperti menulis sajak ini.
Saya sadar sepenuhnya kalo sajak saya masih masuk kategori ringan dan belum bisa disebut puisi seutuhnya. But I think that’s the beauty of writing right? To feel a little orgasm every time you finished.
Jangan ngeres ah!
Anyway, untuk membaca sajak-sajak iseng saya, bisa klik di link ini ya.

Random
Sesungguhnya ini adalah tulisan-tulisan yang tidak bisa dimasukkan ke ketiga kategori di atas. Mostly, isinya adalah sampah pikiran dan hal-hal yang dipikirin sambil ngelamun dan ngunyah keripik pedes.
Yang aneh dari tulisan-tulisan random ini, adalah entah kenapa tetep aja ada orang-orang yang baca dan justru suka.
Tulisan yang saya bikinnya sambil mikir pakai sajak-sajak begitu malah dicuekin. Huh. Aku rapopo.
Mungkin memang saya nggak ditakdirkan sok nyastra. Sedih.
Still think this crap worth reading? Click this link.

Sekian rangkuman dari 31 Hari Menulis tahun ini.
Saatnya saya kembali ke malam-malam dimana saya bisa tidur cepat! :’)

But sure, I’m so gonna miss all of these.

Adios!

Thursday, June 18, 2015

Memecah Keheningan



Mengapa kau masih saja diam?
Jawab pertanyaanku. Jangan hanya termangu.


Haruskah semua pertanyaan terjawab?
Mengapa kau pinta aku untuk menjawab sesuatu yang bahkan pertanyaannya pun aku tak paham.


Aku mencintaimu.

Masihkah kau cinta aku jika aku enggan bicara?

Masihkah kau cinta aku jika aku tak bicara padamu?

Aku juga cinta kamu. Tapi, apa gunanya cinta jika kita masih mempertanyakan satu sama lain?
Mengapa kita selalu bertanya?
Dan kenapa tidak ada yang menjawab?

Aku riuh dan kau hening.
Kita berdua menyatu dalam saling.
Menyimpan kalbu dalam pikir.
Saling menunggu siapa yang mati terakhir.

Lalu jika ini cinta, mengapa jadinya menyiksa?
Mengapa tak ada jalan yang terbaca?
Sampai kapan kita berdua terus meraba-raba?
Ah, mungkin aku saja yang terlalu tak peka.

Apa lah lagi yang kita butuhkan selain cinta.
Haruskah aku berubah jadi liliput lalu masuk ke hatimu?

Kamu tahu, mungkin yang kita butuhkan adalah jauh.
Menjauh dari cinta yang sumpah mati tak berdosa.
Menjauh dari rutinitas yang penuh.
Memberi jarak pada kanvas putih, kue pandan hangat, dan surat setiap hari Selasa.

Apa maksudmu?

Aku tahu, kamu tahu maksudku.

Aku sungguh tak paham hatimu.

Kamu terlalu lama menerima cintaku yang menahun.
Aku terlalu lama merasa aku sungguh cinta kamu.
Tak mungkin lagi kita mampu membedakan
Cinta kah ini, atau kita berdua hanya sudah terlanjur terbiasa?

Maksudmu
Kita butuh jarak untuk menjadi dekat?

Iya.
Rasakanlah, bahkan dengan jarak sedekat ini pun aku masih merasa engkau begitu jauh.

Dan aku merasa kamu tak jua mendekat padaku.

Bagaimana?

Ya, kamu benar.

Aku ingin merasakan diriku sendiri tanpamu.
Siapa tahu, ternyata aku sebenarnya adalah riuh

Dan aku adalah diam.

Selamat tinggal.

Aku akan rindu diammu.


Sampai bertemu di kehidupan yang selanjutnya.

Wednesday, June 17, 2015

Stalking Diri Sendiri

Pernahkah kamu merasa sangat songong, sehingga kamu tidak sadar kamu sudah menghabiskan satu jam hanya untuk scrolling timeline profil social media-mu sendiri?

Saya pernah. Barusan saja.

Diawali dengan bingung hendak menulis apa untuk hari ke-29 ini, dan saya malah berakhir dengan journey to the past: ngepoin diri sendiri.
Surem.

Itulah anehnya Facebook, rasanya seperti melihat album foto sendiri selama kurang lebih 6 tahun. Dan di sinilah seramnya Twitter, rasanya seperti membaca diary sendiri 4 tahun ke belakang.

As I grew up, makin kesini, saya makin nggak pernah update apapun di kedua social media itu. Satu, saya mulai nggak nyaman kegiatan dan perasaan saya dibuka untuk umum. Kedua, simply saya sudah merasa bosan saja. Gitu aja.

Tapi malam mini, saya melihat ke belakang, dan melihat sendiri betapa banyak momen yang telah saya lalui. Ulang tahun teman, kelulusan, kegiatan di kampus, kumpul UKM, seragam SMA, foto bersama keluarga, dan foto-foto sendiri dari berat 43 sampai 53. Dari bahagia tanpa dosa dan beban saat SMA (43 kilogram) sampai saat patah hati (53 kilogram), hahaha!

Berpindah ke Twitter, saya selalu merasa malu dengan kicauan saya dulu. Itu juga yang membuat saya sekarang hampir enggak pernah update sesuatu di sana. Sederhana, karena beberapa tahun kemudian saya selalu malu dengan apa yang pernah saya tulis.

Hal ini biasa dan manusiawi sih sebenarnya, bedanya, dulu ini semua hanya ada di buku diary saya. Sekarang, jejak digital saya sudah terlanjur terekam di atas sana. Hampir mustahil untuk menghapusnya. So this is actually scary. Bagaimana jika anak saya kelak membaca kelabilan emaknya dulu? (Actually I’m lil bit worried if she/he is gonna read this blog too J)

Tapi anehnya, detik ini, saya menikmati petualangan saya ngepoin diri saya sendiri ini. Mengingat kembali apa yang terjadi saat foto itu diambil, dan tertawa ketika ingat drama-drama di baliknya.



And the most important thing is how I miss them—my best friends. Ada foto-foto ketika liburan di Semarang (saat saya sedang mencoba mengobati patah hati :p), saat menonton festival layang-layang di pantai Parangkusumo, menonton Ramayana Ballet Prambanan dan berfoto dengan turis Jepang dan anak balitanya yang lucu, mengunjungi Bienalle Jogja dan foto-foto sampai sinting, main ke ArtJog, wisata ke Tamansari, sampai liburan dadakan ke pantai-pantai selatan di Jogja saat liburan kuliah.

Ada juga foto di Bandung saat menemani rombongan PSM ikut kejuaraan Paduan Suara di ITB, foto rapat kepanitiaan acara paling nggak efektif di Mister Burger (but I remembered it as the most fun and insane meeting ever), foto saat tutup tahun menjelang lulus SMA, foto-foto buku tahunan….

How time just goes by…

I miss them.
I just miss them.
:’)
  

Tuesday, June 16, 2015

Davino & Natasha


Kenapa orang-orang merasa enggan sendiri?

Lihat saja semua meja-meja yang tersusun rapi di restoran, kafe, atau bar. Semuanya untuk minimal dua orang. Mengapa tidak ada restoran yang menyediakan meja untuk sendirian? Ada yang salah dengan sendiri?

Table for Two. We always ordered a Table for Two. Mana ada orang yang memesan sebuah meja untuk sendiri.

Bisakah kita duduk sendiri?

Aku saat ini sedang duduk sendiri, di sebuah restoran dimsum yang jadi favoritku  sejak dulu, menunggu Davin tiba. Davin menawari untuk menjemputku, namun aku menolaknya dan memilih untuk berangkat sendiri, sekedar hanya untuk memperjelas bahwa makan malam ini bukanlah kencan.

Pun jika mematuhi hukum rimba perkencanan yang berlaku di bumi ini, maka seharusnya aku akan sengaja datang agak terlambat dan membiarkan Davin yang menungguku.

Itu pun tidak kulakukan, aku datang tepat waktu, sedikit lebih awal malahan, lagi-lagi, demi menggarisbawahi bahwa ini bukanlah kencan, just two coworkers, having dinner. That’s it.

Tapi rupanya aku tidak bisa seratus persen profesional pada makan malam kali ini. Aku mengenakan gaun terbaikku, halter neck dress warna salmon bertabur sequins. Tak lupa aku mengusapkan lipstick peach di bibirku, menyelaraskannya dengan gaun.

“Someone looks stunning tonight…” seseorang mendadak berbisik di belakang telingaku.

Aku menoleh. “Davin! Lo ngagetin aja.” aku berdiri lalu melakukan cipika-cipiki singkat pada Davin. Aku bisa melihat Davin lumayan salting, entah karena pipiku yang menempel di pipinya, atau simply karena terpesona dengan penampilanku malam ini.

Tapi malam ini rupanya Davin tidak kalah mempesonanya. Ia mengenakan kemeja biru tua dipadu dengan blazer kasual dan jeans. Santai, tapi tetap elegan. Entahlah, mungkin efek itu muncul karena Davin memang aslinya sudah super ganteng.

“Sori ya gue telat… Macet gila tadi…” ujar Davin sambil duduk di kursinya.

“Lo terlambat 5 menit lagi… Cabut gue. Sebagai perempuan, gue punya batas sih Dav…” aku terkekeh. Davin langsung menunjukkan muka bersalah. “Bercanda… gue juga baru dateng kok…” aku buru-buru menambahkan.

“Syukur deh… Gue akan sangat merasa bersalah membiarkan wanita cantik menunggu…”

Hear… hear… Just another flirting line oleh Tuan Muda Davino Prasetya.

Aku terkekeh lagi. “Gombalan lo... Bener-bener deh.”

Davin hanya tersenyum, memandangku sejenak, lalu kembali memandang buku menunya.

“So… Pacar lo nggak marah nih, Tash?” tanya Davin sembari menunggu pesanan kami datang.

“Hahaha… Ngapain marah? Emang kita ngapain?” aku balik bertanya dengan nada sedikit menggoda. Uh, okay. Aku mulai tergoda untuk mengikuti alur permainan Davin.

“Menurut lo? Kan lo juga yang mengajak gue…” Davin kembali balik bertanya. Okay… Strike one, Dav.



*an excerpt of my writing, currently titled Table for Two*