Choosing,
however simple the choices are, is never really that simple, karena suka atau
tidak, choosing is like balancing the idiosyncrasy of ourselves with the mere
existence of others.
Divortiaire, p. 310
Memilih tidak pernah mudah, setidaknya bagi saya.
Sejak saya kecil, saya sering plin-plan, tidak tahu bagaimana cara memutuskan.
Inginnya semuanya senang, inginnya semua happy,
inginnya saya bisa mengakomodasi semua kebahagiaan di hidup ini. Kalau bisa
kesusahan diminimalisir sekecil mungkin. Kalau bisa, tidak usah memilih hal
yang menyusahkan.
Papah adalah sosok yang paling sering mengingatkan
saya tentang habit jelek saya yang satu ini. “Hidup itu memilih,nak.”
Berkali-kali papah mengatakan itu kepada saya, dari kecil. “Semua ada
resikonya, pilihlah resiko yang paling bisa kamu terima.”
Kalau mamah mengatakan hal lain lagi, “Ragu-ragu itu
temennya setan.” Singkat. Padat. Lugas. “Semakin lama kamu ragu, semakin
gampang setan buat menggoda kamu.”
Saya sering ragu-ragu. Maka dari itulah kedua orang
tua saya sering mengulang hal itu dari saya kecil. Semakin besar, saya semakin
memahami dua statement dewa itu. We’re
living in the world full of options. Dari bangun tidur saja kita sudah
harus memilih, Keramas atau enggak ya pagi ini, kalo keramas, udah buru-buru, nggak
sempet ngeringin rambut pula, tapi kalau enggak keramas, rambut udah gatel dan
lepek, mana tahan nih!
Sampe kampus, masuk ke kantin, pilihan kembali datang,
Mau makan siang dimana? Di luar atau di kantin? Kalau di kantin murah, tapi
bosan. Kalau di luar lebih mahal, males lagi keluar-keluar, panas. Tidak
berhenti sampai di situ, jika sudah memutuskan makan di kantin masih juga
bingung, mau makan apa? Ketoprak, mie ayam, tom yam, pecel, duuuh… pusing!
Itu adalah contoh dari pilihan-pilihan kecil yang
setiap hari menghampiri hidup kita. Sialnya oh sialnya, nggak semua pilihan
segampang mau memutuskan makan apa di kantin hari ini? Terkadang banyak
keputusan penting yang harus diambil seumur hidup kita, yang kita tahu akan
berpengaruh secara massive ke kehidupan kita selanjutnya. Memilih mau kuliah
jurusan apa, memilih judul skripsi, memilih pekerjaan, memilih pasangan hidup, memilih...
memilih…
Takut salah pilih terkadang menjadi dalih bagi kita
untuk menunda proses eksekusi pilihan itu. Masih ragu, masih belum mantep,
masih ngitung-ngitung nih, masih belum tahu, dan sejuta alasan kita buat untuk
meyakinkan diri sendiri.
Entah karena saya benar-benar tidak suka galau
lama-lama, tidak betah menimbang-nimbang (karena selama saya menimbang-nimbang itu
di saat yang sama saya merasa saya tidak akan pernah puas), tidak menyukai proses
memilih yang terlalu lama, maka saya sering menghindari berlama-lama dalam
memilih. Kalau tidak suka, saya menghindar, mundur, kalau baik ya ayo. Habit
buruk saya, saya sering menghindar simply
karena saya males dan nggak nyaman dengan proses menimbang-nimbang itu
sendiri. Nah ini nih -_-
Salah satu contoh, kalo lagi mbribik (bisa nggak sih, Sar kasih contoh yang agak elegan gitu,
nggak perkara mbribik melulu -_-) Menurut
saya, orang yang bribikannya banyak adalah orang yang menyukai proses
menimbang-nimbang ini. Entahlah, tapi saya bener-bener enggak ada bakat dalam
menimbang-nimbang. Biasanya saya malah pusing sendiri LOL
Tapi setiap orang punya kapasitas mental masing-masing
dalam proses pemilihan. Saya tahu, semakin lama saya memilih, semakin besar
juga godaan yang akan datang. Dan saya mulai sadar, saya enggak boleh egois,
apa yang saya lakukan, memiliki efek juga untuk orang lain dan orang yang
lain-lain. Efek Domino. Jadi saya nggak boleh kelamaan plin-plan. Orang
plin-plan akan terus berdalih, orang plin-plan akan merugikan orang-orang di
sekitarnya.
“Ragu-ragu temennya setan.”
Saya pikir disini letak logisnya istilah ini.
Sayangnya, sebenarnya tidak ada sesuatu yang benar-benar
meyakinkan di dunia ini. Siapa saya bisa meramal masa depan? Yah, untungnya
saya masih yakin sama Tuhan saya -_- Kalau bisa tidak memilih sih, memang tidak
usah memilih. Saya tidak suka memilih, terlebih lagi proses pemilihan itu
sendiri yang amit-amit nggak enak banget.
And then
here comes the biggest question ever… Apa yang harus kita lakukan jika kita (pikir) kita
memutuskan sesuatu yang salah?
Menurut saya, pilihan yang salah itu enggak ada.
Karena pada akhirnya, kembali lagi ke statement
papah saya, semua pilihan ada resikonya. Pilihan yang lain akan menimbulkan
resiko lain, dan juga resiko-resiko lain kedepannya yang tentu saja kita enggak
tahu itu apa. Manusia diciptakan defensif, kita akan mengeluarkan cara untuk
mengatasi itu dengan sendirinya. Dan hal itulah yang pada akhirnya
mendewasakan kita. Bersyukurlah dengan semua pilihan yang mendewasakan itu, pilihan apapun itu. *eciee lagi bijak bok*
Selamat malam :)
Not everything
comes along just when we want it. There are times when decisions just have to be
made, or you certainly will miss out.
Guinevere Pettigrew - Miss Pettigrew Lives For A
Day
Untuk bilionan pilihan yang besok akan terus
menghampiri, selamat datang :)
No comments:
Post a Comment