Friday, June 14, 2013

Writing is Like Having Sex

Saya ingat, di tulisan Pamungkas saya untuk 31 Hari Menulis tahun lalu, saya berjanji saya akan lebih rajin menulis blog lagi dan nggak hanya buat 31 Hari Menulis saja.
Tapi toh, kenyataannya, saya payah.  Alhasil selama setahun setelahnya, saya hanya menghasilkan dua tulisan saja. Keinginan untuk rajin menulis hilang ditelan bumi. Sungguh, konsistensi itu hal tersulit dalam hidup, guys.
Saya juga ingat, tahun lalu saya menyebut menulis adalah berlibur. Kegiatan untuk refreshing, kegiatan yang merupakan pelarian atas hidup yang kadang menjemukan.
Tahun ini, lagi-lagi, atas nama inkonsistensi, saya akan bilang bahwa menulis tidak lagi memiliki makna berlibur bagi saya. Menulis jadi rutinitas, menulis jadi sesuatu yang harus saya lakukan untuk bagian hidup apapun yang ada dalam diri saya. Blending. Kadang-kadang bisa bikin happy, kadang-kadang bikin saya stres dan mangkel.
Tapi apakah istilah yang tepat untuk menganalogikan sensasi itu? Happy-happy sebel. Mangkel-mangkel happy.
Jadi, sambil mandi sore tadi, saya menemukan analoginya.
Saya tidak tahu bagaimana dengan orang lain. Tapi makna menulis sendiri nyatanya mulai berkembang bagi saya pribadi. Writing is like having sex. Kadang-kadang saya memuaskan diri saya sendiri, kadang-kadang saya melakukannya untuk memuaskan orang lain. Dan puncak kebahagiannya adalah ketika saya bisa memuaskan diri saya sendiri dan orang lain. Undescribeable Writegasm!
Di 31 Hari Menulis, saya dipaksa untuk having sex selama 31 hari tanpa break. Karena jika tidak melakukannya,  maka saya akan dapat hukuman. Denda 20 ribu :p
Lucu kan, ketika sesuatu yang harusnya menyenangkan, jadi menjemukan karena dilakukan setiap hari, bahkan ketika lagi capek lelah nggak mood sekalipun. Rasanya… duh!
Saya suka tulisan saya dibaca. Itu tidak bisa dibohongi. Tapi memang, perasaan yang didapat ketika ada orang yang baca tulisan kita itu bener-bener sensasional. Dibaca aja udah seneng, apalagi ada yang suka. Dobel seneng! Habis itu ada yang sampe terinspirasi, sumpah senengnya lipet lipet sejuta. *narsis boleh kan yak hahaha*
Namun lagi lagi dan lagi. Since writing is like having sex,  saya belajar banyak. Belajar mengerti bagaimana biar saya nggak masturbasi melulu (alias nulis yang cuma saya yang seneng, yang lain nggak paham, ya nggak ada gunanya kan ya?) dan bagaimana biar nggak melacur melulu (alias nulis cuma supaya orang lain seneng). Belajar memahami selera pembaca, belajar menahan diri supaya nggak egois memaksakan keinginan menulis saya sendiri. Sulit banget, saya masih belajar keras menemukan ritmenya. Menemukan ritme ala saya sendiri. Sampai sekarang sih belum ketemu -_- hahaha.
Tapi kok saya tetep ikut seneng ya kalo orang lain seneng… Saya pelacur gampangan yang gampang orgasme kali ya .__.
Di 31 Hari Menulis ini, saya dengan segala puja puji Tuhan semesta alam, berhasil menuliskan 28 Fiksi dan 3 Non Fiksi. Fiksi-fiksi ini jenisnya macem-macem. Ada yang ringan ada yang berat. Ada yang dark, ada yang cerah ceria bahagia. Ada yang bahasa kalbu ada yang bahasa lugas dan easy to understand.
Kenapa saya nulisnya macem-macem? Nggak tahu. Iseng saja. Seperti anak perawan baru yang lagi coba-coba gaya di kamasutra kali ya. Huahaha.
Mana yang bagus? Saya tidak tahu, bagus menurut saya, atau menurut yang baca? Memang, seperti layaknya having sex juga, butuh banyak-banyak practice untuk tahu mana ‘gaya’ yang paling bisa ‘memuaskan’ kedua belah pihak.
Sungguh, saya harus banyak-banyak berlatih! :’)

Saya pernah mengalami momen ketika writing is like holiday. It’s a joyful feeling. Siapa yang tidak suka berlibur tanpa harus keluar kocek?  Tapi dengan jujur, saya harus bilang, nampaknya, kali ini, writing is like having sex buat saya. Sama-sama senengnya. Tapi juga sama-sama ribetnya. Kalo seneng ya seneng banget. Kalo mangkel ya mangkel banget.
Terimakasih 31 Hari Menulis. Memberikan kesempatan untuk liburan sebulan sambil having sex :)) Doakan semoga saya tidak impoten ya.

Thursday, June 13, 2013

Memories


Senja yang indah. Senja yang senyap. Senja yang mengantarku ke tempat-tempat yang mengingatkanku akan kamu.
Aku melewati barber shop mungil di sebuah pojokan jalan tempat kita biasa kerap menghabiskan waktu bersama. Aku ingat bagaimana kamu kemarin mengeluh karena potongan rambutmu jadi aneh banget, dengan poni lempar ke samping yang membuatmu jadi tampak seperti artis korea…. Jadi-jadian.
Tak berapa lama, aku tersenyum sejenak, menatap sebuah kafe kopi, tidak jauh dari barber shop yang tadi. Kafe kopi yang juga mungil dan tidak banyak orang yang tahu. Biasanya kamu akan memesan segelas green tea ice—karena kamu tidak suka kopi.
“Kenapa kamu nggak suka kopi sih? Kopi enak banget begini.” Aku bertanya heran sambil menyesap kopi hitam pekatku. Sebagai seorang fangirl kopi, aku merasa terusik dengan pilihan hidup pacar kesayanganku ini.
“Pahit, Em.” kamu menjawab pendek. “Lagian, kenapa aku harus suka sama minuman yang bikin orang jadi susah tidur? Atau jadi semangat? Atau jadi susah kerja kalo nggak ada kopi? Menderita banget sih hidup ini kalo harus diatur sama segelas minuman.”
Bangsat. Aku mencubit lengannya keras. Dia terbahak.
Aku berjalan beberapa blok lagi dan sampai di sebuah petak taman, terduduk di sebuah bangku kayu tua yang catnya sudah mengelupas disana-sini. Senja di kota ini tidak begitu ramai, tidak banyak juga yang akan datang ke taman ini.
Ingatanku kembali terbang ke saat kita pertama bertemu dulu. Di bangku kayu reot ini. Kamu dengan kamera yang menggantung di lehermu. Aku dengan wajah lepek berkeringat dan handuk yang menggantung. Terengah-engah.
“Mbak, stop mbak, jangan gerak.” kamu tiba-tiba berteriak saat aku tengah nungging melakukan peregangan senam. Seperti yang aku bilang, taman ini sepi, kamu bebas mau beratraksi aneh, senam sendirian sekalipun. Dan keberadaanmu yang tiba-tiba dan nggak tahu malu menyuruhku diam pas lagi nungging ini sedikit di luar kebiasaan.
Tapi kamu ganteng. Dan itulah awal mula kita bertemu. Aku bertemu kamu pertama kali dalam keadaan nungging. Dasar sinting.
Nungging hanyalah awal. Sebelum akhirnya aku merasa luar biasa bersyukur karena dipertemukan denganmu. Laki-laki luar biasa indah yang membuat rutinitasku menjadi hidup. Ketika rutinitas tak lagi hanya sekedar rutinitas, karena selalu ada kamu di setiap selanya.
Untuk pertama kalinya, aku menemukan tujuan pulang.
Tidak banyak cinta yang bisa membuat seseorang merasa hidup. Mungkin, karena cintaku dan cintamu memang selayaknya organisme yang bersimbiosis mutualisme. Tidak bisa hidup jika tidak ada antara satu sama lain. Tidak akan berguna jika tidak ada untuk satu sama lain.
Aku tumbuh bersama cintamu. Dan kamupun begitu. Selalu ada kamu dalam setiap keputusan—baik yang besar maupun yang kecil—yang kuambil. Seperti kepingan puzzle yang selalu berusaha membentuk satu gambaran besar yang utuh. Kamu hanya harus berusaha agar gambar tersebut utuh. Meskipun itu butuh waktu.
Aku tiba-tiba merasa pipiku basah. Lalu basah sekali.
Jika aku telah memiliki cinta yang seperti ini, bagaimana bisa aku melupakannya? Bagaimana bisa aku mengikuti kata-kata orang lain, “Ikhlas, Emma. Hidupmu akan tetap berjalan dengan ataupun tanpa dia.”
Hidupku memang berjalan seperti biasa. Aku makan, mandi, bekerja, tidur. Tapi pernahkah kamu hidup tanpa sedikitpun merasa hidup?
Pernahkah kamu tertawa tapi tak tertawa? Menangis tapi tak menangis?
Kamu ingat kan, bagaimana kita adalah organisme dengan simbiosis mutualisme? Kamu butuh aku untuk hidup, dan akupun begitu.
Lalu mengapa kamu pergi?
Bisakah kamu sendiri tanpa aku?
Baik-baikkah kamu disana?
I miss your touch, Pantja. I miss how you make me alive. Bagaimana kamu bisa mati dan membuat satu organisme hidup lainnya merasa mati?
Aku menatap pusaramu lekat-lekat. Air mataku tak juga kuasa berhenti. Apakah aku menangis? Entah, aku sudah tidak bisa membedakannya lagi.
Ini sudah lima tahun, Pantja.
Dan kamu, ikut membawa jiwaku mati bersamamu.
Orang bilang kenangan tidak akan pernah mati. Aku mungkin yang selama ini bodoh karena tidak bisa hidup hanya dengan kenanganmu. Aku mungkin yang selama ini terlalu manja karena menginginkan jiwamu.

Tunggu aku, aku akan menyusul, entah kapan. Tapi aku akan berjanji, kelak akan menemanimu lagi. Kelak aku akan mati, untuk hidup.

I'd never lived
Before your love
I'd never felt
Before your touch
I'd never needed anyone
To make me feel alive
But then again,
I wasn't really livin'
I'd never lived... before your love
(Kelly Clarkson – Before Your Love)

Wednesday, June 12, 2013

Papah


“Nak, itu anakmu mau dikasih nama siapa?”
Aku menatap bayi mungil di gendonganku sejenak. “Belum tahu, bu. Nunggu ayah aja. Aku maunya ayah yang kasih nama anak ini, lagian ini kan cucu pertamanya Papah...”
“Walah.. Keburu anakmu SD kalo nunggu ayahmu, Nak…” Ibuku mengikik. “Kamu kayak nggak tahu ayahmu sibuknya kayak apa aja…” kemudian ia beranjak pergi.
Aku mendesah. Sebenarnya aku setuju juga dengan kata-kata Ibu. Boro-boro nyariin nama buat cucunya… ketemu aja belum…

***

So… let me tell you a story about my life, ya.
Namaku Arina. Aku adalah anak perempuan dari seorang ayah super hebat bernama Seno Zakaria Sastroadmodjo. Iya, Bapak Seno, which is adalah presiden kita saat ini. Papah, begitu aku selalu memanggilnya.
Iya, aku adalah anak presiden. Kalau di film-film Hollywood maka aku akan digambarkan dikelilingi bodyguard setiap akan pergi kemanapun. Hidupku akan terkekang, aku susah cari pacar… Kemudian aku akan jatuh cinta pada bodyguard-ku.
Jreng. Kebanyakan nonton Drama Korea emang jadinya ya begini ini. Hahaha.
Jangan kecewa ya, tapi hidupku nggak sesuram itu kok. Memang, aku selalu ditemani bodyguard tiap akan kemanapun. Ohya, fyi, bodyguard-ku namanya Bang Rosyid. Tampangnya memang sangar kayak Raul Lemos, tapi hatinya baik banget, rajin mengaji serta sayang keluarga.
Yah, malah ngomongin Bang Rosyid. Ya gitu deh, punya bodyguard nggak seserem yang di tivi-tivi kok. Hal itu nggak membuat aku terus jadi susah dapat pacar. Justru saat ini aku telah menikah dengan pacarku semenjak kuliah dan baru saja dikaruniai anak laki-laki yang ganteng.
But… you know what, masalah dari anak yang pekerjaan ayahnya adalah seorang presiden adalah… You will never had a time to meet him. Like… never.
Bukan soal bagaimana hidupmu akan selalu diawasi oleh media, bukan soal pernikahanmu yang diberi label Royal Wedding, bukan soal nama ayahmu yang akan selalu muncul di koran setiap hari… Tapi…
Kamu nggak akan pernah punya kesempatan untuk bertemu ayahmu lagi. Sesederhana itu.
Simpelnya, pernah nggak kamu punya teman yang super sibuk yang susah banget ditemui kemudian kamu berkata, “Ah, susah banget sih ketemu elu. Sok sibuk banget. Sibuknya kayak presiden aje.”
Bedanya, kali ini, my father is really a president.
And it’s never been easy.

***

“Sayang, kamu sampe kapan mau nungguin Bapak kasih nama buat anak kita?” Suamiku nyeletuk di sela lamunanku. “Kamu harus ngerti sayang, Bapak sibuk banget…”
“Aku tahu, kamu sedih belum bisa ketemu Bapak. Tapi kamu harus ngerti… Sekarang beliau bukan cuma Bapak kamu, dia Bapak kita semua… rakyat Indonesia.” Lanjut suamku lagi.
Aku terdiam lama sekali, menatap suamiku seraya mengelus kepala mungil anakku. Apakah salah mengharapkan seorang kakek memberi nama untuk cucu pertamanya? Apakah salah seorang anak perempuan merasa sedih karena ayahnya tidak memiliki waktu untuk menengok cucunya?
Salahkah aku, Sayang? Salahkah aku? Egoiskah aku?
All I wanna get is just a name… Is it really that hard?” Aku merasakan mataku mulai pedas, sebelum perlahan basah lalu akhirnya basah sekali. “Apa Papah nggak bisa, satu jam saja jadi ayah normal yang menjenguk cucu pertamanya?”
“Satu jam saja. Aku cuma minta satu jam, dari beribu jam dari  waktu yang sudah ia curahkan untuk negeri ini. Untuk negeri yang seakan tidak pernah puas atas segala pengorbanannya. Untuk negeri yang mau bagaimana kerasanya Papah bekerja tetap tidak akan berhenti memakinya.”
Suamiku memelukku yang sudah sesenggukan. Ia hanya sanggup memandangku tak berdaya. Mungkin antara menyadari bahwa perasaan yang saat ini kurasakan adalah manusiawi, namun di saat yang sama, aku juga harus mengerti bahwa mau tidak mau, aku harus memiliki kesabaran yang lebih besar daripada anak-anak perempuan lain.
“Bukannya Bapak nggak mau atau nggak peduli sama kamu, Arina. This is not something he wants to do, but he has to do it.” Kata suamiku perlahan.

***

Malamnya, aku menerima satu pesan singkat dari Ayahku yang saat ini sedang mengunjungi daerah perbatasan di Kalimantan.

From: Papah
Arina, Papah sedang di Kalimantan. Kata ibu, cucu Papah sudah lahir ya? Semoga jadi cucu yang selalu jujur, berbakti sama nusa dan bangsa ya, Arina. Kamu harus jadi ibu yang baik buat cucu2mu. Maaf Papah belum bisa jenguk.

Sudah. Hanya itu. Singkat. Padat. Lugas. Jelas.
Aku mendesah.
Mungkin aku yang salah karena berharap banyak.
Mungkin memang aku yang keterlaluan karena memiliki perasaan selayaknya anak perempuan normal… which in this case, my father is not an ordinary father. He is extraordinary.
And you are an extraordinary grandson, Nak. Aku membatin, memandang anak laki-lakiku yang sedang tertidur di sampingku dengan pulasnya. You should be, and you have to.
Aku meredupkanlampu kamarku. Merebahkan badanku di kasur dan memandangi layar ponselku lalu mengetik:

I wish you are fine, Dad. Wherever you are now.
I miss you, Dad. I need you, actually. I want you to come home now.

Aku sudah hampir mengetik tombol send di ponselku sebelum akhirnya aku memandang anak laki-lakiku dan mengubah pikiranku.
Dan aku hanya mengetik:

Makasih, pah. Alhamdullah cucu papah sehat. Semoga papah selalu diberkati disana. Amin.

Message sent.

Aku tahu, di luar sana, banyak yang jauh-jauh lebih membutuhkan Papah daripada aku. Aku bisa jaga diriku, pah. Aku harus bisa.
Eventhough it’s damn hard. Aku memutuskan untuk mengalah.

***

Jakarta (23/02) – Presiden Seno Zakaria meresmikan program Pendidikan Gratis Terpadu 2014 – 2019. Dalam pidatonya, Seno Zakaria mengatakan bahwa kualitas pendidikan bangsa merupakan solusi utama atas segala permasalahan di negeri ini. “Negeri ini sudah menumpuk terlalu banyak permasalahan. Ekonomi, kesehatan, kriminalitas, korupsi, dan masih banyak lagi. Sudah jelas, bahwa mutu sumber daya manusia harus ditingkatkan. Bagaimana caranya? Pendidikan. Yang tinggi, setara, dan mudah diakses oleh rakyat. Kesadaran akan pendidikan yang tinggi adalah solusi untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini.”
Presiden Seno Zakaria menyampaikan pidatonya di Malinau yang merupakan daerah terpencil yang menjadi perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan Timur. Presiden bertandang ke Nunukan dalam rangka mensosialisasikan program Pendidikan Gratis Terpadu 2014 – 2019…..

Aku menghempaskan surat kabar di tanganku. Menghela nafas dalam. Mengingat begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan demi negeri ini, sungguh aku merasa tak pantas kalau harus mengeluh gara-gara anakku tidak dijenguk olehnya.
Aku ikhlas, Pah. Ikhlas.

“Gimana, Arina? Sudah tahu akhirnya anakmu mau dikasih nama apa?” Ibuku datang sambil menggendong anakku, menghampiriku yang  terduduk diam di sofa.
“Sudah bu.” Aku meraih anakku dari gendongan ibuku. “Namanya Seno Zakaria. Kayak nama Papah.”
Anak di gendonganku terbangun. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian menatapku dan mendadak tertawa. Seakan berkata setuju akan nama yang baru saja kutasbihkan padanya. Mungkin harapanku agar Papah-lah orang yang harusnya memberi nama pada anakku harus pupus. Tapi mungkin juga ini saatnya menanamkan doa dan harapan baru kepada anakku, alih-alih mewujudkan harapanku sebelumnya.

Be like your grandfather, dearest Son. Be brave, be honest. Jadi apapun kamu kelak, berdedikasilah pada pekerjaanmu. Bergunalah untuk sesama. Jangan egois. Jangan rakus. Berikan selalu yang terbaik untuk orang-orang di sekelilingmu… Just like him, kakekmu, Seno Zakaria.

Dan Seno Zakaria Kecil-pun tertawa lagi.
So, are you agree with this, son? Good boy. Bener lho, janji ya sama Bunda…

Jogja, 24 Februari 2013

*ditulis untuk buku kumpulan cerita tentang Presiden

Tuesday, June 11, 2013

The One Who Stalks #3


Read the previous story "The One Who Stalks #1" here and "The One Who Stalks #2" here"

Aku bengong menatap Wisnu. Jadi selama ini dia selalu kepoin aku? How come? Bukankah dia yang dulu merasa bahwa hubungan kita sudah nggak bisa diteruskan lagi?
“Wisnu…” aku menghela nafasku dalam, bingung. “Maksud kamu apa?”
“Aku nggak tahu apakah aku harus menganggap ini semua pertanda, tapi aku, kamu, kita ketemu disini, nggak sengaja…” Wisnu malah meracau.
“Intinya. I still can’t get you over my mind, Na.” lanjut Wisnu, ia mengurut keningnya sambil mengernyitkan dahi. Mukanya terlihat penat. “Selama ini, aku bertahan untuk nggak menghubungi kamu, Na. Karena aku tahu, we can’t be together. We’re better this way.”
Aku menahan nafasku, tidak percaya dengan kalimat yang barusan kudengar. Damn, ini begitu mendadak, aku kan tadi pergi ke kafe ini cuma mau menyelesaikan pekerjaanku. Bukan untuk terlibat dalam pembicaraan complicated semacam ini, pembicaraan yang memaksaku untuk kembali membuka luka masa lalu yang selama ini kukubur setengah mati.
“Wisnu… Kamu kenapa?”
“Aku kedengeran kayak orang gila ya? Tiba-tiba nggak pake basa basi dulu ngomong kayak gini ke kamu?”
Aku tersenyum. “Then… We both are crazy.” Tukasku. “Aku tidak pernah melewatkan satu haripun tanpa membuka profil Facebookmu, Nu. Sebelum berangkat ke kantor, ketika di taxi dalam perjalanan menuju kantor, sepulang kantor, sebelum tidur. Aku tidak tahu kenapa.”
“What happened to us?”
“Aku selalu berpikir, bahwa deep down inside, sejujurnya aku masih sayang sama kamu. Bahwa aku belum bisa move on.”
Wisnu terhenyak.
“Do I?” aku malah balik bertanya pada Wisnu. Menatap manik matanya dalam-dalam. Mencoba mencari jawaban disana.
“Aargh.” Wisnu menyenderkan tubuhnya ke sofa. “I’m such a mess.” Ia berkata lirih. “Maaf ya, Na. Ganggu kamu kerja. Hanya saja… Melihat kamu dalam bentuk nyata saat ini membuatku… Ah entahlah.”
Aku terdiam.
“Mungkin aku harus pergi…” ia sudah bersiap akan berdiri sebelum aku menariknya.
“Nggak Nu. Kamu nggak bisa begitu aja pergi setelah kamu membuka lagi pintu yang selama ini nggak pernah kubuka lagi. At least jawab pertanyaan aku.”
“Apa yang harus dijawab Na? Tentang mengapa kita masih saja selalu penasaran tentang kehidupan satu sama lain? Tentang apakah kamu masih sayang aku? Tentang apakah aku masih sayang kamu? Tentang apakah kita seharusnya kembali bersama?”
Aku terdiam lagi. Sejujurnya aku juga tidak begitu paham dengan apa yang aku rasakan saat ini. Dengan jawaban yang dari dulu selalu aku cari. Bagaimana aku bisa menemukan jawaban jika aku sendiri tidak tahu hal apa yang kutanyakan?
“Maaf ya, Na. Tiba-tiba datang dan membuka hal-hal nggak mutu seperti ini.” Wisnu memegang kedua tanganku erat. “Tapi aku, kamu, sadar, bahwa kita menjadi lebih baik ketika kita tidak bersama.” ujarnya.
“Yang barusan terjadi saat ini, adalah ego kita, Na. Mungkin, kita sama-sama belum bisa mengikhlaskan satu sama lain untuk bahagia dengan cara kita sendiri-sendiri.”
Aku sudah hendak menangis ketika Wisnu mendadak mengambil laptop di mejaku dan membuka tab Facebook.
Dan ia mem-block profile-nya dari profile-ku. “Done.” Ujarnya pendek.
Ia lalu mengambil ponselnya dan mem-block profile twitterku dari twitternya, ia lalu menunjukkan layarnya padaku. “Aku sudah block kamu, aku nggak bisa lihat profilmu. Kamu juga nggak bisa lihat profilku.” Lanjutnya. “Lakukan hal yang sama ya, Na.”
Aku terhenyak beberapa saat. Kebingungan dengan respon aneh Wisnu.
Sebelum akhirnya dalam beberapa menit, aku mulai menyadari bahwa, benar kata Biyan, sahabatku, hal terbaik yang bisa kami berdua lakukan adalah dengan menjauh satu sama lain, baik nyata maupun maya.
Detoksifikasi itu harus tuntas.
Dan selama ini aku tidak melakukan itu dengan tuntas. No wonder hidupku selalu kacau balau dibuatnya.
“Makasih ya, Nu. Melakukan ini buat aku. Ternyata kita nggak cuma butuh waktu buat melupakan satu sama lain, kita juga butuh menjauh dari sosial media.” Aku berkata, sambil mulai merasakan mataku berair. This is too painful.
Wisnu tersenyum. Ia kemudian pamit pergi. “Take care, Na. Kalaupun kita suatu saat nggak sengaja ketemu lagi. Setidaknya kita benar-benar akan bertemu sebagai seorang kawan yang sudah lama nggak ketemu.” Lanjutnya. “Social media membuat kita membuat bayangan-bayangan dan asumsi sendiri akan satu sama lain. And that’s not good.”
Aku mengangguk.
Wisnu pergi. Bersama dengan semua akun-akun maya yang membuatku tak bisa lepas darinya.
Iya, kami berdua sama-sama denial. Ketika biasanya kami diam-diam seakan bertemu lewat dunia maya, maka pertemuan di dunia nyata terasa sangat menyesakkan. Seperti yang barusan terjadi.
Kadang, lebih baik jika kita tidak usah tahu apa-apa.
Bukankah itu membuat hidup menjadi lebih tenang?
Aku menyesap mocca-latte-ku perlahan.

Jadi… masihkah kamu stalking si dia?

*Untuk semua yang hobi kepo :p

Monday, June 10, 2013

"What Is The Meaning of Love?"


Saya masih ingat betapa waktu kecil saya selalu ingin tulisan saya dimuat di media massa. Dulu waktu SD, saya selalu ingin surat pembaca saya dimuat di majalah Bobo. Alhamdulillah... nggak pernah dimuat :p
Baru ketika kelas 3 SMP tulisan yg iseng2 saya kirim ternyata bisa dimuat. Ini adalah tulisan pertama saya yang dimuat di media massa. Jaman saya SMP dulu, ada satu majalah kumpulan cerpen namanya Cerita Kita (CerKit). Sekarang majalahnya udah nggak ada. Cedih. :( 
Selain tulisan yang dimuat pertama, juga sekaligus jadi honor pertama saya, wakaka. *anyway honornya nggak tau kemana, soalnya dikirimnya ke rekening Papah dan saya nggak pernah menagihnya -_- dasar anak kecil*
Tulisan ini dibuat dan dimuat waktu saya kelas 3 SMP. So, bagi saya, tulisan ini memorable dan bersejarah banget. Sampai saat ini. Mengingatkan saya, betapa menulis selalu bisa memberikan sensasi orgasme yang aneh untuk saya :p
Happy reading ;)

***

“Oke, jadi tema mading kita kali ini adalah… CINTA!” Nio, ketua klub mading sekolahku berkata mantap. “Dewi, lo harus cari info profil 10 pasangan paling top di sekolah… Rev, lo cari pepatah cinta… Tiar… buat puisi cinta…”
Aku menunggu tugasku selanjutnya. Cinta? Bagiku tema kali ini sangatlah berat. Masih mending temanya olahraga atau apa kek, nyari kebiasaan presiden abis bangun tidur juga lebih mending daripada… cinta!
“Nah… lo Vit… lo cari arti cinta!”
Kata-kata terakhir Nio bagai petir di siang bolong… bagai kejatuhan durian runtuh… bagai memasukkan benang basah… bagai air di dalam daun talas… (loh..loh??).

***

“WHAT IS THE MEANING OF CINTA… LOVE… AMORE…??” aku teriak-teriak kayak orang gila sepanjang perjalanan pulang, sohibku Ochi sampe geleng-geleng kepala. “Oh no Chi… Cinta! Lo tau khan… dari dulu, gue paling nggak suka sama kata itu.. Cinta?? Hueekk, yaikss!! Cinta bikin dunia jadi kebalik, cinta bikin gue sama lo sampe nyaris musuhan, cinta… tidaaakkk!!!”
“Vit… calm down, please… diliatin orang tau nggak sih… teriak-teriaknya di rumah elo aja, jangan di jalan gini…” Ochi berkata dengan wajah memelas.
Di kamarku, majalah-majalah langsung bertebaran di lantai, semuanya tentang cinta! Tapi nggak ada satupun yang sreg di hati.
Oke… kayaknya dari tadi aku marah-marah terus yah… gini, biar aku ceritain dari awal…
Semenjak papa mama cerai, aku jadi sedikit ilfil dengan yang namanya cinta. Coba dulu papa dan mama nggak jatuh cinta… pasti nggak bakalan gini khan kejadiannya??
Terus, waktu kecil, aku benar-benar terpesona sama keharmonisan putri Diana dan pangeran Charles, tapi… akhirnya… Huh! Bener-bener sad ending! Sekarang Charles-nya udah kawin lagi sama istri baru, malah gosipnya udah jadi selingkuhannya sebelum putri Diana tewas… how childish dan keterlaluan!!!
Teh Amel jadi uring-uringan gara-gara diputus sama cowoknya, bahkan sampe seminggu depresi nggak mau makan, minum, mandi, kuliah... ihh... kebayang khan mukanya kayak gimana... untung teteh masih mau bernafas.
Sepupuku yang tinggal di Jakarta, Vian namanya, 3 tahun ngejar-ngejar cewek yang (katanya lho...) kembang kampus, supermodel nan sexy, cantiknya menandingi Dian Sastro featuring Tamara Blezinsky, pokoknya perfect, Nadine namanya. Tapi, apa coba hasilnya sekarang? Dia jadi dicap cupu, nggak realistis, bego, 3 tahun nggak pernah ganti-ganti gebetan. Bener juga sih, masak tiap hari Cuma buat seorang cewek yang bahkan nggak pernah deg-degan ngeliat dia...??
Terus... ini dia tragedi yang bikin aku bener-bener nggak mau kenal lagi sama yang namanya cinta...
Waktu itu aku masih kelas 2 SMP, Ochi adalah temen sekelasku, tapi kita belum terlalu deket, belum sobatan kayak sekarang, malah Cuma kenal nama doank (hiperbolis banget deh, ya nggak lah, maksudnya belum pernah ngobrol, geto...), Ochi cewek cakep banget yang super play girl, yang bahkan sampe sekarangpun masih tetep cewek dengan tagline andalannya, pacaran-seminggu-lama-banget-seh.
Ochi naksir berat Nio (Yep! Ketua mading sekarang!), tapi dasar play girl sejati, biar udah pernah ditolak mentah-mentah, dia tetep nggak menyerah, maju terus pantang mundur. Gila khan?
Kebetulan, aku kenal sama Nio, jadi... sebagai teman sekelas yang baik, aku menawarkan diri buat ngebantu Ochi, caranya ya dengan ngebujuk Nio supaya mau deh jadi ceweknya Ochi. Ochi setuju. Aku pun mulai “bekerja”, dan ternyata Nio keliatan tertarik setelah aku promosiin Ochi sama dia!
But... do you know the next...???
Nio bilang kalo sebenernya dia tuh sukanya sama aku, dan yang dia lakukan selama ini tuh cuma karena dia mau ngobrol sama aku...
DHUAAR!!! Aku hampir limbung. Kontan aku maki-maki dia, aku tolak dia dengan cara yang kejam! Saat itu aku bener-bener bingung, bingung gimana coba kalo Ochi tau, maklum, Ochi terkenal dengan lidah pedesnya kalo lagi ngelabrak orang.
Yah, akhirnya Ochi tau, dia sempet hampir nangis, amazing khan... seorang Ochi nangis gara-gara cowok gebetannya ternyata naksir temennya sendiri. Aku pikir dia bakal marah-marah dan nampar aku, tapi ternyata dia cuma nangis, setelah itu pergi ninggalin aku.
Kita sempet perang dingin. Tapi nggak tau apa penyebabnya, setelah Nio lulus, kita jadi serasa lupa sama konflik kita. Dan... taraaa... inilah kita sekarang! Sahabat sejati sampe mati! Sekarang kita malah sering ketawa kalo inget peristiwa itu. Walaupun begitu, Ochi tetaplah seorang gadis pacaran-seminggu-lama-banget-seh, dan aku juga cuek aja, udah capek deh ngingetin dia.
Cinta membuat apa yang seharusnya baik, jadi ruwet.

***

“Vitt, kalo gue saranin seh, elo tulis aja apa yang elo pikirin tentang cinta, terserah lo mau tulis cinta itu brengsek, apa gimana...”
“Tapi Chi...”
“Buat gue, cinta itu kekuatan yang mengubah perasaan kita, gue suka cari banyak cowok karena gue suka dicintai! Cuma itu!” dia berkata cepat. “Dan asal lo tau, kalo aja, andai kata gue nggak pernah cinta sama Nio, kita sekarang nggak bakal mungkin bisa sobatan kayak gini...”
Aku tercekat.
“Oke gue balik dulu, malem minggu nih, biasa...” dia meringis.
Aku mengangguk pelan. Saran Ochi boleh juga nih...

***
“Teh, Teh, Teh Amel!!!” aku menggedor pintu teh Amel keras.
“Apaan sih? Ganggu orang aja!” Teteh keluar dengan muka masam. Rambutnya dirol, ada lipstik di bibirnya.
“Ciee... duilee... cakep bener, mo kemana niy??”
“Mo tauukk ajaa...” wajahnya memerah.
“Apaan seeh???” desakku penasaran.
“Hehehe... mo malem mingguan duonng,”
Mulutku menganga. “Emangnya udah punya cowok lagi?”
“Huuu... ketinggalan kereta api lo, ya udah donk, Amel gitu loh... hari gini nggak ada cowok? Emangnya gue elo? Sori deh!”
“Koq nggak takut kayak dulu lagi?” aku bertanya polos.
“Ihh, najis banget deh kata-katanya. Itulah resiko cinta! Daripada ngejomblo teros, boseen!”
“Emang siapa sih tu orang?”
“Ng... Ng...” Teh Amel menggantung kata-katanya. “Lingga.”
Aku langsung ketawa ngakak. “Hwakakaka, gue kirain sapa, ternyata... sahabat sendiri dimakan!!”
“Heh, diem lo kecoak, cinta bisa dateng kapan aja, nggak peduli waktu, nggak peduli tempat, nggak peduli siapapun dia!! Udah lo... pergi sana, hus hus!”
Teh Amel menutup pintu keras. Sebuah ide muncul di kepalaku.

***

“Ma... Vitta boleh nanya nggak?” aku mendekati mama yang sedang sibuk nggoreng ayam.
“Boleh... apa sih?”
“Tapi jangan marah ya...” ujarku takut. “Janji lho...” lanjutku. Mama mengacungkan telunjuknya membentuk “peace”.
“Mmm... ma, waktu mama cerai sama papa, mama pernah nggak nyesel gitu karena pernah cinta sama papa??” aku mengecilkan volume suaraku.
Mama memandangku lekat, tapi setelah itu mama tertawa. Ia mematikan kompornya. “Vita, mama nggak pernah nyesel sama semua ini, kalo mama nggak pernah jatuh cinta sama papa, mama nggak bakalan pernah punya 2 benda yang sangat berarti bagi hidup mama, yang bisa bikin mama tertawa bahagia...”
Aku terdiam. “Apa ma?”
“Teh Amel sama kamu...” mama membelai kedua pipiku lembut.
Aku memeluk mama, reflek, air mata membasahi pipiku. Aku langsung merasa rasa sayangku ke mama bertambah 1000%.

***

“Halo, ini Vian ya?” aku berbicara sendiri di balik telepon.
“Iya, ini siapa?” balas Vian. Di sana rame banget, kayaknya dia lagi ada di mal ato di mana deh, pokoknya di luar.
“Ahh... kampret lo! Lupa sama sepupu sendiri!”
“Ahh... Vita, sori, sori, abis lo nggak pernah nelpon. Tumben nih, ada angin apa? Kangen ya sama cowok keren ini?”
“Hueekk, nggak lah yauw! Gue mo nanya...”
“Cepetan yah, bentar lagi gue harus nganter cewek gue pulang. Gue kasih lo waktu 3 menit, mulai dari sekarang!” Vian menirukan gaya presenter kuis.
“Cewek? Lo udah punya cewek? Siapa?”
“Hehehehe... siapa lagi kalo bukan the most beautiful girl, the perfect princess, NADINE!!”
Mulutku menganga lebar. “Hah, lo... lo... lo jadian sama dia? Boong lo! Nggak percaya! Ngibul!”
“Huh, kalo nggak percaya ya udah, mau ngomong sendiri sama orangnya, silahken...”
Aku bener-bener nggak percaya. “Oke.”
“Halo...” suara cewek yang sangat lembut tiba-tiba terdengar.
“Ng... halo. Lo... lo Nadine, Nadine beneran?”
“Mmm... iya, ini sapa ya? Mau apa?”
“Gue sepupu Vian. Ng...” aku mendadak kehabisan kata-kata saking kagetnya. “Mmm... lo... lo koq tiba-tiba mau jadian sama Vian? Kenapa?”
Nadine terdiam sejenak, keliatannya dia ragu menjawab pertanyaanku. “Ya karena gue sayang aja, dia selalu ada, selalu ada tiap gue butuhin.” Ia menggantung kalimatnya. “Pertamanya gue mau mainin dia doank, tapi... nggak tau kenapa ya, lama-lama gue jadi sayang sama dia...”
Aku menutup teleponku. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba menjalar di hatiku.

***

“Nih!” aku memberikan selembar kertas kepada Nio.
“Cepet banget, gila ya lo ya...”
“Lain kali jangan suruh gue ngerjain sesuatu tentang cinta! Oke!?”
Nio mengamati hasil kerjaku sekilas. “Ini bagus banget lagi, lo emang aset klub mading yang berharga...!”
Aku menjulurkan lidah, bersiap meninggalkan ruang mading.
“Eh... eh tunggu! Gue belom selesei ngomong...” tiba-tiba Nio mencegahku pergi.
“Apaan lagi?”
“Ng... ini khan hari senen, filmnya lagi bagus lho, mau nggak nonton?” dia berkata pelan banget. “Mau ya?”
Aku diam sejenak. Tapi kemudian aku berkata, “Kenapa nggak?”
Aku dan Nio tersenyum, mungkin ini ya yang namanya cinta... zat yang menghangatkan setiap partikel tubuh...

Cinta adalah sesuatu yang luar biasa cuek, nggak peduli tempat, waktu, dan status
Cinta membuat kita mengerti arti hidup
Cinta membuat kita bersyukur atas segalanya
Cinta adalah ketika kamu mau menderita untuk dia
Cinta adalah ketika dia nggak mau kita menderita
Cinta adalah kekuatan maha romantis ciptaan Tuhan yang juga maha Romantis
Cinta jugalah kekuatan maha jahat yang bisa membutakan jiwa
Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang bisa mengubah musuh menjadi teman
Cinta adalah virus yang sangat mematikan... menyerang siapa saja... tanpa ada satupun gejala.
Makanya, kalau kamu udah terserang virus ini... berhati-hatilah!!

Dimuat di Majalah Cerita Kita tahun 2005 (Kalo nggak salah ya~)

Sunday, June 9, 2013

Garden



“Sayang, serius amat. Mikirin nasib bangsa dan negara ya?” aku tidak tahan dicuekin selama hampir sejam aja. Percuma deh si Gandhi ini bela-belain datang ke apartemenku kalo akhir-akhirnya fisiknya ada di depanku tapi pikirannya tetap di pekerjaannya.
Gandhi terbahak. “Aduh… maaf sayang…” Ia nyengir. “Sori… proyek ini bener-bener menguras tenaga dan pikiran aku.”
“Emang lagi ada proyek apa sih? Sini aku aja yang gambarin. Cuma corat coret gini doang aku juga bisa dari kecil udah diajarin gambar sama mama.” Aku gemas mendengar jawaban Gandhi.
Gandhi terbahak. “Kamu itu lho… ngegemesin banget.” Ia berdiri dan memindah posisi duduknya menjadi di sebelahku. Ia menarikku menuju dadanya dan menunjukkan sketsa yang sedang digambarnya sedari tadi.
“Ini proyek taman kota buat pemerintah kota Makassar.” Ucap Gandhi perlahan. “Aku seneeeng banget dikasih kepercayaan buat mendesain rancangannya.”
“Karena?”
“Karena ini taman. Bukan bangunan dari semen dan batu seperti yang biasanya aku bikin.”
“Emang kenapa kalo taman?” tanyaku polos.
“Gini lho sayang…” ia menggantung kalimatnya sambil mengelus rambutku. “Kamu tahu nggak fungsi taman itu buat apa?”
“Buat jogging.” Ucapku polos dan ngasal.
“Hiih. Nggak cuma itu…” Gandhi mencubit hidungku gemas. “Taman punya tiga fungsi. Yang pertama, untuk melihat dan dilihat. Artinya, taman adalah tempat yang pas untuk manusia karena manusia memerlukan orang lain sebagai pembanding dan pendamping. Maksudnya lagi, manusia itu suka diperhatikan dan memperhatikan orang lain…”
“Kedua, sebagai tempat apresiasi bakat dan hobi. Di taman, setiap orang, mau apapun hobi dan kegemarannya, bisa melakukannya di taman…”
“Dan yang ketiga… ini yang paling unik. Untuk mengenang masa lalu.”
Aku spontan ngakak terbahak. “Gandhi kalo mau ngegombal yang bagusan dikit dong aaah!”
Gandhi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Aku beneran, ini teorinya Albert J. Rutledge, aku baca di buku tau sayang!” ia memasang ekspresi kesal yang anehnya justru sangat kusukai.
“Iya deh bapak dosen Dirgandhi… lanjutin lanjutin…”
“Nah, kenapa mengenang masa lalu? Taman itu bagus banget untuk manusia yang menyukai melamun di tengah keindahan alam dan untuk mengenang masa-masa indah.”
Aku nggak tahan untuk nggak melanjutkan tawaku. “You should double checked who really Albert is… Karena kayaknya dia arsitek galau kenamaan pada masanya, hahahaha!” aku meledek Gandhi sambil menatapnya jahil.
“Kamu gitu deh. Aku nggak lagi bercanda tauk, Tash. Ini beneran. Aku suka banget sama filosofi di balik arsitektur taman.” Gandhi protes. “Makanya aku bener-bener pengen serius di project kali ini…”
Aku tersenyum melihat perubahan ekspresi di wajahnya. “Iya, sayang… Aku ngerti kalau  kamu benar-benar pengen total di proyek tamanmu ini. Aku seneng, dan sebagai perempuan  aku bangga punya pacar yang sangat cinta sama pekerjaannya…” aku bangkit mengangkat kepalaku dari dadanya kemudian merubah posisi dudukku menghadap Gandhi.
“Tapi… for God’s sake, honey… I’ve been sitting here for about one hour, cuma ngeliatin kamu sibuk dengan kertas, pensil, penghapus, dan rapido kesayangan kamu itu. Aku manusia biasa, Gandhi, bukan patung, aku juga bisa laper!” aku menepuk perutku memberi tanda bahwa aku sudah gak tahan bengong nungguin dia selese kerja. Keburu busung lapar beneran ini sih kalo ditungguin.
“Aku juga laper, Tash.” Ia nyengir.
“Nah.”
“Maafin ya sayang… Yaudah deh aku berhenti nyeketch bentar. Makan yuk.”
“Dasar. Harus diginiin dulu ya baru ngeh.” Aku mencubit perutnya gemas. “Mau makan dimana?”
“Mau makan kamu dulu boleh?”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya.
Yang aku tahu dalam sepersekian detik Gandhi menyerang bibirku dengan ciuman lembut bertubi-tubi di bibirku. Lembut, dalam, dan hangat.
“Dasar bandel.” Aku mencubit pipinya setelah “quick ceremony” kita selesai. “Udah kenyang?”
Gandhi nyengir. “Udah nggak sewot lagi?”
Aku menepok lengannya keras. “Udah ah, aku mau ganti baju. You decide ya kita mau makan dimana abis ini.” aku berdiri beranjak menuju kamarku.
“… And don’t you ever touch your sketch again while I’m changing my clothes!” aku memarahi Gandhi yang sudah memegang kertas sketsanya lagi. Dasar Tasha. Punya pacar kok ya freak banget sama sketsa. Apa aku harus berubah jadi sketsa ya biar dia sentuh-sentuh aku terus dan nggak cuma kalo lagi ada maunya doang?
“Hehehe…” Gandhi mengeluarkan cengiran polos andalannya.
Tara… And that’s my nerdy boyfriend, saudara-saudara.
The nerd I love so much. Wholeheartedly.

*another excerpt of my  writing, currently titled "Table for Two"