Sunday, March 22, 2015

Pause


Saya menulis blog ini dalam keadaan yang sangat linglung.
Bukan apa-apa. Ajaib saja, begitu menyadari bahwa terakhir kali saya menulis di blog adalah di bulan Juni 2014, which is itu adalah 2 tahun yang lalu.
Saya bukannya sama sekali lupa bahwa saya punya blog ini. Tidak hanya sekali saya mencoba menuliskan sesuatu lagi, tapi hasilnya nihil. Paling mentok, saya hanya akan membuka dashboard blog, membaca lagi tulisan-tulisan lama, lalu senyum-senyum sendiri jika mengingat betapa banyaknya energi yang mampu saya keluarkan dulu hanya untuk sekedar menceritakan bahwa saya ketemu ular kobra di tengah jalan.
Ketemu ular kobra, dan saya bisa menjadikan itu jadi satu tulisan.  
Jadi jangan tanya apa yang bisa saya tuliskan waktu saya patah hati. Belasan tulisan di blog ini ada karena saya galau setengah mati habis patah hati. Ah, those old times… :)
Tapi sayangnya, terlalu banyak yang berubah di dua tahun terakhir. Terlalu banyak sampai saya tidak sanggup mengimbangi perubahan itu sendiri. Terlalu banyak, sampai saya hanya sanggup terdiam setiap kali memandangi dashboard blog ini.
Energi yang dahulu meluap itu, seakan lenyap. Kemana? Itu yang sedang saya cari jawabannya. Mungkin perubahan melahap habis semua energi itu, seperti dementor, yang meminta saya untuk terus berjalan dan lupa menekan tombol pause.
Ya, tidak hanya sekali saya menulis tentang waktu dan perubahan di sini. Tapi kali ini, waktu dan perubahan itu seakan menyerang saya. Membuat saya hanya sempat melakukan perubahan itu tanpa sempat menikmatinya, benar-benar merasakannya.
Saya sampai lupa, bagaimana saya suka sekali menulis fiksi. Saya lupa bagaimana saya selalu excited dengan berbagai cerita cheesy romantis. Saya lupa bagaimana blog ini dulu pernah bisa membuat saya merasa hidup.
Dua tahun. Waktu yang cukup lama untuk berjalan terus tanpa berhenti.
Mungkin ini saatnya saya menyempatkan diri untuk sekedar berhenti sejenak. Dan menikmati perubahan itu.
Life itself has no pause button. But at this moment I just realize, it’s okay to give pause.
Jadi di sinilah saya, duduk sendiri di dalam kamar kos, dengan kaos bali kebesaran yang super nyaman, di tengah petir yang menyambar dan derasnya hujan.
It’s okay, Sarah. It’s okay.
Let’s give yourself more time to press the pause button.

Jakarta Selatan,
22 Maret 2015