“Kita
udah pacaran lama, apa yang bikin kamu ragu?”
Aku
terdiam. “Ikan Badut.”
Pacarku
melongo, tidak mengerti. “Apa? Ikan Badut?”
***
Aku tidak tahu kesenyapan ini akan berlangsung berapa abad
lagi. Rasanya seperti selamanya. Dan hanya ikan Badut yang saat ini
kupandangilah—yang kau berikan padaku dua tahun yang lalu—yang sanggup
membuatku bertahan dalam kekekalan ini.
"Kamu
tahu nggak, Ikan Badut sangat suka hidup berpasangan. Ikan Badut yang punya
pasangan akan selalu hidup bersama pasangannya, sedangkan yang sendiri akan
hidup berkelompok mencari sesama yang tidak punya pasangan. Jika ikan
jantan dalam pasangan itu mati, maka ikan betina jantan akan mencari ikan
jantan mandul yang tidak mempunyai pasangan, nah saat itulah ikan jantan mandul
itu akan mengembangkan alat reproduksinya sehingga tidak menjadi mandul lagi.
Hal ini juga berlaku sebaliknya.”
"Aku
tertawa mendengar penjelasanmu. "Kamu juga gitu dong kalau aku besok mati,
cari betina-betina yang lain?"
"Kalau
kamu mati, aku mau hidup berkelompok aja sama yang nggak punya pasangan."
"Dasar
gombal."
Kamu cuma tertawa renyah, tawa yang sangat kusukai.
Aku tidak merasa sepi, tidak juga merasa ramai.
Tidak akan pernah sepi karena dadaku selalu mengeluarkan
gemuruh tidak jelas setiap emailmu datang. Setiap kamu meng-upload catatanmu di diary blog pribadi kita
berdua. Setiap suaramu menyapaku walau hanya sekilas.
Namun juga tidak akan pernah ramai karena, seperti saat
ini, aku memandangi ikan Badut pemberianmu dan luruh, lalu menangis karena kamu
tidak sama lagi.
Aku ingin ramai, ingin sepi yang menggetarkan. Ingin
makan cupcakes berhiaskan blueberry lagi bersamamu. Ingin menemanimu memilih
kemeja untuk kondangan di kawinan Mbak Laras, ingin menumpahkan bakso malang
lagi di kaos hijau toscamu, ingin memaksamu potong rambut, dan ngambek waktu kamu
terlambat jemput.
Lalu aku tersadar kalau ternyata semua ini
semu. Dan kamu nggak lebih dari seorang makhluk lelaki berambut cepak dengan
hidung bengkok—yang anehnya justru jadi favoritku—serta tawa renyah yang sangat
ngangenin. Dan itu semua tidak penting lagi karena saat ini kamu bahkan tidak
memiliki satu-satunya aset yang paling esensial : mencintaiku.
Kata orang, cinta itu menerima apa adanya.
Tapi apa yang harus kamu lakukan jika cinta itu tak lagi ada?
Aku berhenti memandangi Ikan Badutmu.
Membuang jauh-jauh alasan kenapa kamu memberiku Ikan Badut untuk
kenang-kenangan sebelum kamu pergi ke Jepang, dan alasan itu tak lain adalah
karena kamu tahu sekali aku sangat suka Finding Nemo—fanatik—dan juga karena
namamu adalah Nimodio Patradinata, sehingga kamu sekaligus juga berharap semoga
ikan Badut ini bisa mengingatkanku padamu.
Dan kamu tahu, kamu berhasil.
Ikan Badut ini sukses membuatku tidak bisa
melupakanmu.
Tapi itu tadi, dan aku sekarang tidak lagi
bodoh seperti tadi.
Tentu saja, setelah aku menemukan fakta
bahwa kamu ternyata mendua. Dengan gadis Jepang asli yang kulitnya semulus
porselen itu. Yang hidung bangirnya mencuat dengan lucunya.
Aku harus mengaku, aku kalah, telak. Tapi
aku tahu, aku mampu hidup tanpamu.
Karena aku jauh-jauh lebih berharga dari
apapun milikmu di seluruh dunia ini.
***
Itu
yang aku katakan kepada diriku sendiri dulu. Namun kenyataannya aku tak bisa
berbuat lebih.
Jadi inilah yang terjadi, aku melanjutkan hidupku, dan
kamu melanjutkan hidupmu. Kita terpisah, terpisah raga, terpisah jiwa. Ini
sudah empat tahun berlalu semenjak kepergianmu. Semenjak perpisahan kita. Aku
berubah menjadi gadis yang lebih kuat, tegar, dan mandiri. Agak mengejutkan
awalnya, ketika aku menyadari betapa aku ternyata bisa berjalan tanpamu dan
merasa baik-baik saja. Aku jatuh cinta lagi, dan berpacaran lagi, dan putus
lagi, dan berpacaran lagi.
Namun segalanya berjalan sangat normal. Dan
aku harus mengakui fakta bahwa kamu tidak
pernah bisa lepas dari memori otakku. Bagian dari dirimu, kadang besar, kadang
sangat kecil, selalu mengiringi langkahku. Itu tidak menggangguku, sampai aku
sadar... kamu selalu ada. Dalam berbagai bentuk.
Dan kamu?
Kontak yang kita lakukan hanya ketika ada momen tertentu,
seperti ulang tahunmu, atau ulang tahunku. Sekedar menanyakan kabar setelah
itu, dan sudah.
Dan tentang gadis jepang berkulit semulus porselen itu?
Oh tentu saja cerita itu telah berakhir. You
were 22 years old. Kamu masih
sangat fluktuatif dan gadis cantik tentu tidak mungkin tidak menarik hatimu. Aku tahu
itu, aku menyadari itu. Namun seiring dengan bertambahnya umurmu, kamu sadar,
kamu tidak membutuhkan kecantikan dan kebanggaan lagi. Kamu membutuhkan
kenyamanan.
Aku sering mendengar beberapa gadis silih berganti
menghampiri hidupmu. Semua cantik dan semua menarik. Namun aku yakin--atau
mencoba meyakinkan diri sendiri, entahlah aku sampai tidak tahu bedanya--bahwa it’s just a lust. Not a love.
Sebut
aku gila, sebut aku sinting. Tapi otakku bukan komputer yang memorinya bisa di-restart ulang. Kenangan yang tersimpan di otak
nggak akan pernah bisa hilang, bagaimanapun kamu mencoba. Ditambah, kenangan
ini bukan kenangan main-main, kenangan ini berkonspirasi dengan perasaanku,
sehingga membuatku rasanya ingin terjun bebas.
Tahu tidak apa yang membuat semua ini semakin pelik?
Karena aku tak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak
maju, juga tidak mundur. Karena maju pun tak akan berguna, dan mundur pun hanya
membuat hidupku semakin kacau. Sebenarnya aku sangat mau maju, namun, apalah guna memperjuangkan sesuatu sendirian? Iya,
aku sangat tahu cinta itu harus diperjuangkan,
namun diperjuangkan oleh kedua belah pihak, dan bukannya sendirian.
Sebagian dari hati kecilku memang ingin sekali melupakan Nimo, tapi sebagian lainnya memberontak. Bahkan ingin
melupakanpun tidak. Ya benar sekali, mana mungkin bisa lupa jika ingin lupa
saja tidak? Ah sudahlah, toh hati ini milikku, hatiku bebas, aku suka
perasaan yang bebas.
***
Tapi begitulah cinta bekerja. Ada harga yang
harus dibayar untuk sebuah cinta yang membebaskan. Dan meskipun cinta itu tetap
mengendap, aku tetap merasa bahagia. Karena ya, dia
bebas. Bebas untuk terus mencintai atau berhenti mencintai.
Time for
holding hands together...
Time for
rainbow coloured water...
Time for
make live that we’ve been dreaming of...
As time
goes drifting by.... The willow bends... and so do I...
(Jamie Cullum- A Time for Love)
Kisah
ini tidak akan pernah berakhir. Ikan Badut ini akan tetap hidup dan tetap ada.
Dan aku akan terus menerus berpacaran, putus lagi, berpacaran, putus lagi.
Menunggu Ikan Badut di aquariumku mati yang anehnya justru tidak mati-mati.
Ikan
Badut suka berpasangan. Ia akan terus mencari pasangan baru jika pasangan lamanya
mati. Entah aku yang gila atau sudah kehilangan akal, aku bertekad aku
harus menyelesaikan semua ini.
Aku
meraih aquarium Ikan Badutku, berguling kesana kemari, mencoba mencari tahu,
bagaimana cara membunuh nyawa Ikan Badut ini.
Aku
tidak pernah tahu kabarmu, ada yang bilang, kamu telah bertunangan, ada yang
bilang, kamu sudah menikah, ada yang bilang juga kamu masih sibuk pacaran
dengan si A dan si B. Ah, terserah. Aku tidak peduli, yang aku tahu, aku masih
belum bisa melepaskanmu dari kehidupanku.
Sampai
sebuah notification di Facebook menyadarkanku dari lamunan
panjangku.
Nimodio
Patradinata just sent you a
message:
“Halo,
Ikan Badutku, apa kabar? Aku lagi balik nih, catch up later? Let me
know ya. Nomer kamu ganti ya? nomer hapeku masih yang dulu :)”
Rasanya
aku ingin mati saja.
Aku menatap cincin dari pacarku yang ia berikan malam lalu. Aku
tersenyum, menaruhnya di bawah bantal, sebelum akhirnya beranjak menuju
komputerku, dan membalas pesanmu.
Untuk semua yang sedang move
on
move on!! :|
ReplyDelete