Wednesday, May 2, 2012

Menunggu Batara Mendarat

Untuk Batara.
Yang sedang terbang.

Memangnya gampang, melewati setiap sudut kota setiap hari dan merasakan jiwamu di setiap sudutnya?

Aku masih ingat. Bagaimana aku pertama jatuh cinta padamu. Aku kelas 1 SD, kamu kelas 5 SD.
Aku bingung, sendiri di taman itu. Anak baru. Tanpa teman.
Sampai mataku tertuju pada sebuah ayunan besi. Ayunan yang bisa diduduki empat orang tapi dan akhirnya hanya kududuki sendiri, karena aku belum kenal siapapun. Juga tidak berminat mengenal siapapun.

Lalu kamu datang, tiba-tiba saja tanpa ba-bi-bu memasuki ayunanku, ayunan yang sudah kukuasai, dan berkata, “Aku jadi pilotnya ya!”
Aku hendak menangis, sebelum kamu dengan sekuat tenaga mengayun-ayun ayunan berat itu dengan kekuatanmu. “Aku pilotnya, kamu pramugarinya! Mau kemana kita?”
“Ke Jogja!”
“Loh, memang ada apa di Jogja?”
“Aku mau ketemu mamahku.”
“Okee. Kita berangkat ke Jogja, ngeeeeeng. Pesawat siap lepas landas ke Jogja, penumpang harap memasang sabuk pengaman. Ngueeeeeng.”
Dan itu pertama kalinya aku tertawa terbahak. Pertama kalinya di kota asing ini.

Batara, aku harap kamu mengingatnya juga.

Kamu, Batara, selalu ingin menjadi pilot. Kamu, Batara, rajin sekali belajar.
Katamu, kamu ingin menyentuh langit seperti namamu, Batara Jumantara, yang berarti Dewa Langit. Kamu ingin terbang diantara angin. Ingin menembus awan nan mempesona. Bahkan kamu ingin menyentuh bulan.
Tidakkah kamu sadar bahwa kamu adalah langitku? Kamu adalah anginku, awanku, dan bulanku?

Gara-gara kamu, untuk pertama kalinya di kelas 3 SD, aku mandi pagi lebih lama, pakai parfum wangi agar kamu sadar keberadaanku. Gara-gara kamu, aku suka Manchester United. Gara-gara kamu, aku ikut-ikut suka David Beckham. Bayangkan, ketika teman-temanku sibuk menggemari Amigos aku malah repot menelan info tentang David Beckham. Hanya supaya bisa mengerti semua kegemaranmu!

Gara-gara kamu aku rela ikut klub basket ketika SMP. Dan tahu nggak, aku bahkan sama sekali nggak paham olahraga yang satu itu. Aku cuma tahu, aku senang membawa pulang handuk yang basah oleh keringatmu dan botol minum warna merah marun yang selalu kamu teguk habis isinya sambil berkata, “You are cool! Bisa apa aku tanpa kamu?”
Dan sepanjang hari berikutnya aku akan senyum-senyum saja dengan kebahagiaan yang fully charged oleh kamu. Padahal kakiku serasa mau copot karena harus pemanasan keliling lapangan 100 kali.

Tapi kamu, Batara. Tetap ingin jadi pilot.
We hugged, we kissed, we shared stories.
Dan kamu, Batara, tidak pernah berhenti ingin jadi pilot.

Aku sangat senang, Batara. Kamu akhirnya benar-benar menjadi pilot.
Kamu terbang, bebas, kamu menembus awan, kamu menyentuh langit.
Sampai suatu saat kamu terbang, dan tak mendarat.
Sampai suatu saat kamu tak lagi pulang kepadaku.

Orang-orang berkata aku harus merelakanmu pergi, menuju langit.
Aku tidak percaya.
Karena hanya aku tempatmu akan mendarat.
Karena cuma aku seseorang yang menunggu kamu mendarat. Mendarat di bandara, mendarat lagi di hati, dan kembali padaku.

Cepatlah mendarat, Batara.
Aku tengah menatap pusaramu yang hening. Menatap setiap peluk, cium, dan cerita yang kamu berikan kepadaku. Cepatlah mendarat, Batara. Aku rindu.

2 Mei 2012,
(masih) menunggu kamu mendarat.

No comments:

Post a Comment