Monday, December 31, 2012

What Do You Expect?

Ijinkan saya terlebih dahulu minta maaf kepada Tuan Muda kotakpermenkaret yang lebih dari setengah tahun enggak diupdate. Iya, saya durhaka.

Jadi—dengan memaksa tangan untuk mengetik blog—saya memutuskan untuk membuat sebuah tulisan penutup tahun. Seperti apa yang saya lakukan tahun 2010 lalu. Saya punya hutang untuk mencatat pelajaran apa yang sudah saya dapat tahun ini. *jreng*


Sebuah pembahasan menarik baru –baru ini saya jumpai di Twitter. Simpel. Tapi ngena. Tentang ekspektasi. Sebelumnya saya dan seorang sahabat saya juga sedang hot-hotnya ngomongin topik yang satu ini. Intinya, as we grow up… akhirnya kita sadar kalau yang akhirnya bisa membuat kita kecewa ya adalah ekspektasi yang kita buat sendiri. Not the failure, but the expectation who does.
Ekspektasi membuat kita sadar atau tidak sadar jadi memiliki semacam ‘standar’ atas suatu hal. Dan hidup adalah tentang kenyataan. Jika standar itu nggak tercapai, kecewa adalah pasti.
Jadi apa solusinya? Menurunkan ekspektasi? Atau lebih ekstrem lagi… tidak usah berekspektasi sama sekali? Awalnya saya berpikir, kalau begitu… bikin saja ekspektasi yang rendah. And then we will be the happiest human alive.

No. Ekspektasi setiap orang berbeda-beda. Terkadang kalau saya melihat orang tunawisma di pinggir jalan yang lagi ketawa-ketawa, saya suka heran sendiri, kok bisa ya mereka tetep ketawa-ketawa. Sementara saya yang punya rumah enak, makan terpenuhi, tidur hangat di kasur yang empuk saja terkadang masih suka ngomel-ngomel. Kalau saya jadi mereka mungkin saya sudah suicide kali ya.

Tentu saja, karena ekspektasi saya dan mereka akan hidup jelas-jelas berbeda. Mereka sudah bisa punya uang untuk makan hari ini saja sudah bahagia. Tentu saja beda dengan saya. Saya tidak mungkin punya ekspektasi seperti mereka. Satu, tidak sesuai porsinya. Dua, tidak mungkin. Tiga, tidak bisa.

Mengapa tidak bisa? Karena sayangnya, ekspektasi adalah sebuah konsep yang tidak sengaja dibuat. Terbentuk begitu saja. Tidak bisa diskenariokan. Kalau menurut saya, itulah yang membedakannya dengan hope/ wish/ want. Kita tidak bisa membohongi diri sendiri tentang ekspektasi yang kita miliki. Ekspektasi terbentuk karena berbagai macam hal. Masa lalu, lingkungan, dan tentu saja sejauh apa kita memberi harga pada diri sendiri. Dan somehow… it lets us down.

So when someone said, “Aku nggak mau berekspektasi macam-macam.” I think that’s a total bullshit. Because, deep down inside, kita sebenarnya sudah memiliki ekspektasi itu. Sadar ataupun tidak sadar, we’ve already had one. In some cases, kita bahkan tidak menyadari sebenarnya ekspektasi kita apa. Sadar begitu sudah kecewa, atau ketika masih tidak bahagia ketika yang-kita-pikir ekspektasi itu jadi kenyataan. Aduh belibet bener idup ini yak.
So, here it is. Expectation kills. Brace yourself.

Tapi, siapa yang bisa menyalahkan ekspektasi? Toh ekspektasi adalah konsep yang membentuk kita. Ekspektasi adalah ideal-self kita. Kadang menguatkan, kadang juga melemahkan. Seperti adegan long lasting-nya 500 Days of Summer. Expectation - Reality.



“So what's happiness? When reality meets expectations. Ekspektasi orang (dari segi jenis & kadar) beda-beda ya jadi makna bahagia beda-beda” – Ika Natassa.


Iya. Makna bahagia itu beda-beda. Dan ekspektasi adalah peta kemana kita akan bergerak menuju bahagia yang beda-beda itu. Kadang kita tersesat, kadang arah yang ditunjukkan si ekspektasi itu ternyata udah nggak ada. Atau udah diisi orang. Sedih deh. Tapi kita akan punya cara untuk beli peta baru. Ya tapi itu. Lewatin sedihnya dulu. Masak enggak mau sedih. Masak hidup mau seneng terus. Mamam tuh sedih… Mamaamm…

Oke serius lagi.

We cannot control or choose the expectations. Jadi kesimpulannya, memang satu. Berhati-hati saja dengan ekspektasi kita. Which means, berhati-hatilah dengan diri kita sendiri. Actually, we are our biggest enemy. 
Satu lagi, berhati-hati juga dengan kebiasaan. Semakin kesini saya semakin notice, habit somehow adalah bumerang. Terkadang seseorang melakukan sesuatu bukan karena segitunya diniatin, tapi karena kebiasaan aja. Sebuah respon reflek.
 Pun itu yang bikin saya sadar dan terkadang menepok jidat sendiri kalau suka marah-marah karena hal kecil. Atau karena ikut kesal pas orang bisa tiba-tiba meributkan sebuah hal di Twitter. Dia ngetwit sambil ngopi-ngopi cantik, sini ribut. Rugi banget yak? :))
*ya habis gimana, asik sih… —nggak konsisten :p
Anyway, tidakkah kita semua memiliki semacam love-hate relationship with twitter?  Kemudahan mendapatkan informasi yang dibarengi dengan kemudahan untuk memaki. Hmm… 

Jadi kalo ada orang yang nyebelin, itu bukan karena dia segitunya pengen nyakitin kali, Geer. Bisa aja karena itu emang kebiasaan dia. Dan semua tahu, kebiasaan bukan sesuatu yang bisa diubah dengan sekali makian. That’s why, habit is dangerous. Saya sendiri sering banget punya masalah dengan yang namanya kebiasaan.

“We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit.” — Aristotle

Jadi kalo ngegosip ya santai aja. Gosip ya gosip aja. Kebiasaan nih. *ketauaan hobi ngegosip*


Oke Sarah. Two things that you have to be careful at: Expectation and Habit!


Hmm.. Kalau begitu tahun 2013 mau ngapain, Sar?

*diem di depan laptop lama banget*

Yak. Saya mau ganti layout blog aja deh. Kesian. Udah jarang diupdate, templatenya ‘remaja’ (baca: ala… sudahlah) banget gini. Cupcake dan permen pink pink. Ya gimana. Gaptek. Ini aja dulu ngelayoutnya pake baca buku dulu. Padahal layout yang tinggal copy-paste doang :(

Hehehe. Semoga dengan mengubah layout blog menjadi less-teenage, hidup juga ikut-ikutan less-teenage.  Alias grow up. *ini doa lho. Bukan ekspektasi. Eh… ekspektasi deng. Tadi boong. LOL* -- ini btw istilah less-teenage emang ada ya? Bikin-bikin! ;p

Ayo ganti layout blog! :)


Jadi, guys… di tahun 2013 ini… what do you expect?


“In the end, it’s not the years in your life that count. It’s the life in your years.” — Anonymous


Selamat Tahun Baru! :)


December 31th, 2012