Monday, June 1, 2015

Monolog Benci

Aku membenci orang yang kucintai. Benci teramat benci.
Aku heran, bagaimana bisa kita membenci orang yang pernah kita cintai.

Aku membaca lagi semua jejak percakapan antara kita yang pernah kamu tinggalkan. Membaca kata demi kata. Huruf demi huruf. Spasi demi spasi. Dan menyadari betapa besar memang cinta yang pernah aku punya untukmu dahulu. Lalu menyesali semua itu. Menyesali rasa cinta itu. Menyesali adaku untuk kamu.

Namun kita memang pernah sangat saling mencintai. Tak ada satu hari pun di hidupku yang tak kuceritakan padamu. Kita selalu ada untuk satu sama lain.

Sampai kita ada di suatu titik dimana cinta itu perlahan melukai kita. Menyakiti cinta itu sendiri. Semakin kita berusaha mempertahankannya, semakin kita menyakiti satu sama lain.

Dan cinta itu lalu bermetamorfosis jadi benci yang menjadi. Lelah yang membuncah. Marah yang hilang arah.

Sungguh, tak pernah aku menyangka. Bagaimana manusia ternyata bisa membenci orang yang pernah ia cintai dengan sepenuh jiwa. Betapa bengisnya perasaan, betapa tak pedulinya ia dengan kenangan.

Segala imaji ala puteri raja yang kumiliki bersamamu hangus. Mampus. Menghisap semua kebahagiaanku dengan rakus.

“Jadi… Inikah akhirnya?”
Kalimat pendekmu memecah kesunyian panjang dan monolog yang sedari tadi ada di kepalaku.
Aku terhentak, tersengal lalu meraba pipiku yang lembab oleh air mata. Dadaku panas. Sungguh, kebencian ini benar-benar membunuhku.

“Tak ada lagi cinta?” tanyamu sekali lagi.

“Menurutmu?” serangku dalam hati. Tapi aku tak sanggup bersuara. Rupanya aku sudah terlalu marah dan jengah. Tenggorokanku kelu. Ngilu. Rasanya aku ingin menghilang saja.

“Tak ada kah maaf?”

“Pergi.”

“Aku cinta kamu, Cynthia. Aku menyesal. Kamu berhak marah. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu.”

Aku bisa hidup tanpa kamu.

Kamu menangis. Dari situ aku tahu kamu sungguh-sungguh.
Tapi aku sudah terlanjur benci kamu.
Perasaan benci ini menyakitiku, dan sebentar lagi akan menyakitimu. Aku tak bisa.

“Aku nggak mau pergi, Cynthia. Aku sayang sama kamu….”

Aku mengernyit jijik.
Tanpa pikir panjang aku berlari keluar. Jika kamu enggan pergi, aku yang akan pergi dari sini.

“Aku akan menunggu sampai kamu berubah pikiran. Aku bersumpah.”

Langkahku terhenti. Aku menengok ke belakang, melihat bentukmu yang sudah tidak beraturan.
Lalu bayangan kamu bercumbu dengan perempuan itu muncul lagi di kepalaku.

Ya. Aku memang sudah membencimu. Ini adalah batasnya.

Jangan tunggu aku. Aku tak mau kembali.
Aku tak bisa mencintai orang yang kubenci.

Maafkan aku karena membencimu. Maafkan aku karena cinta itu tak lagi muncul.



Sudah waktunya kita berhenti berpura-pura masih saling cinta.

No comments:

Post a Comment