Aku membenci orang yang kucintai.
Benci teramat benci.
Aku heran, bagaimana bisa
kita membenci orang yang pernah kita cintai.
Aku membaca lagi semua jejak
percakapan antara kita yang pernah kamu tinggalkan. Membaca kata demi kata.
Huruf demi huruf. Spasi demi spasi. Dan menyadari betapa besar memang cinta
yang pernah aku punya untukmu dahulu. Lalu menyesali semua itu. Menyesali rasa
cinta itu. Menyesali adaku untuk kamu.
Namun kita memang pernah
sangat saling mencintai. Tak ada satu hari pun di hidupku yang tak kuceritakan
padamu. Kita selalu ada untuk satu sama lain.
Sampai kita ada di suatu
titik dimana cinta itu perlahan melukai kita. Menyakiti cinta itu sendiri.
Semakin kita berusaha mempertahankannya, semakin kita menyakiti satu sama lain.
Dan cinta itu lalu
bermetamorfosis jadi benci yang menjadi. Lelah yang membuncah. Marah yang
hilang arah.
Sungguh, tak pernah aku
menyangka. Bagaimana manusia ternyata bisa membenci orang yang pernah ia cintai
dengan sepenuh jiwa. Betapa bengisnya perasaan, betapa tak pedulinya ia dengan
kenangan.
Segala imaji ala puteri raja
yang kumiliki bersamamu hangus. Mampus. Menghisap semua kebahagiaanku dengan
rakus.
“Jadi… Inikah akhirnya?”
Kalimat pendekmu memecah
kesunyian panjang dan monolog yang sedari tadi ada di kepalaku.
Aku terhentak, tersengal
lalu meraba pipiku yang lembab oleh air mata. Dadaku panas. Sungguh, kebencian
ini benar-benar membunuhku.
“Tak ada lagi cinta?”
tanyamu sekali lagi.
“Menurutmu?” serangku dalam hati. Tapi aku tak sanggup bersuara. Rupanya aku sudah
terlalu marah dan jengah. Tenggorokanku kelu. Ngilu. Rasanya aku ingin
menghilang saja.
“Tak ada kah maaf?”
“Pergi.”
“Aku cinta kamu, Cynthia.
Aku menyesal. Kamu berhak marah. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu.”
Aku bisa hidup tanpa kamu.
Kamu menangis. Dari situ aku
tahu kamu sungguh-sungguh.
Tapi aku sudah terlanjur
benci kamu.
Perasaan benci ini
menyakitiku, dan sebentar lagi akan menyakitimu. Aku tak bisa.
“Aku nggak mau pergi,
Cynthia. Aku sayang sama kamu….”
Aku mengernyit jijik.
Tanpa pikir panjang aku
berlari keluar. Jika kamu enggan pergi, aku yang akan pergi dari sini.
“Aku akan menunggu sampai kamu
berubah pikiran. Aku bersumpah.”
Langkahku terhenti. Aku
menengok ke belakang, melihat bentukmu yang sudah tidak beraturan.
Lalu bayangan kamu bercumbu
dengan perempuan itu muncul lagi di kepalaku.
Ya. Aku memang sudah
membencimu. Ini adalah batasnya.
Jangan tunggu aku. Aku tak mau kembali.
Aku tak bisa mencintai orang yang kubenci.
Maafkan aku karena
membencimu. Maafkan aku karena cinta itu tak lagi muncul.
Sudah waktunya kita berhenti
berpura-pura masih saling cinta.
No comments:
Post a Comment