Malam ini adalah malam yang
tidak biasa di kamar kos saya. Sehabis membeli nasi goreng depan kos, saya
kembali dan mendapati halaman depan rumah ibu kos saya penuh dengan bapak-bapak
dan ibu-ibu berpakaian putih-putih.
Oh… rupanya sedang ada
semacam pengajian di halaman depan rumah ibu kos saya.
Saya masuk ke kamar dan
membuka laptop, berniat menonton salah satu episode Friends sebelum pergi
tidur.
“TAPI ITU KAN KEPERCAYAAN
MEREKA!! KENAPA KITA HARUS DIAM SAJA???”
Suara keras melengking dari
sang ustadz pengajian mengagetkan saya.
Ah, sial, feeling saya
benar, this is just another “khotbah
marah”
Khotbah marah dengan volume
keras menggantikan lantunan ayat suci. Marahnya 70%, ngajinya 30%.
Sebelumnya, sebenarnya saya
paling malas jika harus berpendapat, apalagi menulis tentang hal-hal yang
sangkut pautnya dengan agama. Kenapa? Karena rasanya kayak ngomong sama tembok.
Nggak berguna. Dan lagi, menurut saya agama itu personal sekali. Orang nggak
perlu tahu alasan saya, dan saya juga nggak perlu tahu alasan mereka.
Tapi kali ini, saya nggak
tahan nggak menulis. Satu, saya kesal karena saya dipaksa mendengarkan orang
berteriak marah-marah menggunakan microfon. Kedua, orang itu marah-marah dan
berteriak menggunakan sesuatu yang selalu saya anggap sebagai penenang batin.
Oxymoron.
Kesal sekali.
Sudah sering sekali saya
mendengar ustadz yang khotbah dengan menggunakan nada yang tinggi dan keras.
Bahasa-bahasa yang kasar. Kata-kata yang merutuk. Seakan-akan dunia dan akherat
ini ya milik mereka. Yang lain cuma ngontrak. *dipikir-pikir bener juga sih,
saya kan cuma ngekos T_T*
Saya menyebutnya khotbah
marah.
Memangnya tidak sadar ya,
kalau kita menyampaikan sesuatu dengan marah, yang mendengar akan ketularan
marah, dan marah itu jadi epidemi virus yang menyebar kemana-mana?
Pesan yang tersampaikan itu adalah
amarah. Sesuatu yang pondasinya bukan ‘hal ini baik’ tetapi ‘hal itu salah dan
aib’—bisa paham kah perbedaannya?
Puas, sudah jadi masyarakat
yang penuh marah?
Puas, sudah merecokin orang
dengan ancaman dan ketakutan?
Sadar nggak kalau itu
berarti pelan-pelan kamu sudah meneror orang lain secara halus?
Bisakah kita menyampaikan
sesuatu dengan lembut?
Bisakah kita tidak menilai
dan menghakimi?
Bisakah kita tidak menjadi
polisi moral?
Sampai mati ya ini akan jadi
pertanyaan yang nggak akan bisa dijawab.
Dan mungkin saya bisa
menulis berhalaman-halaman hanya tentang hal ini, tapi lalu… apa bedanya saya
dengan si bapak oknum ustadz yang lagi marah-marah di depan?
Maka yang bisa saya lakukan
hanyalah mengambil headset saya,
menyumpalkannya ke telinga dan menyetel lagu-lagunya Corinne Bailey Rae saya
dengan volume tinggi. Berharap suaranya bisa menutup polusi suara dari si oknum
ustadz.
Sampai marah itu tidak lagi
terdengar.
Sampai marah itu tidak bisa
lagi mengganggu hati saya.
Dan yang saya bisa dengar
hanyalah lantunan melodi-melodi indah.
Tenang Sarah… Percayalah
dunia akan baik-baik saja.
No comments:
Post a Comment