Satu
hal yang tak pernah salah tentang cinta adalah, mau bagaimanapun kamu berusaha
melawan, ia tetap tak terkalahkan.
Terlebih
lagi cintaku yang diam ini, yang sudah mengendap dan menahun dalam dada.
Tapi
apa lagi yang bisa kulakukan?
Bahkan
aku tak mampu lagi menyisipkan amin seperti yang biasa kulakukan sebelumnya.
Aku terlalu pengecut. Aku mundur dan menjauh. Kurasa aku ketakutan dengan
cintaku sendiri.
Lalu
kamu bertanya, apakah aku sungguh-sungguh cinta kamu. Sudah jelas itu tentu.
Berani-beraninya kamu menyangsikan cintaku.
Setelah
itu kamu bertanya, mengapa aku diam?
Mengapa
aku tak punya suara?
Karena…
Karena aku menikmati diamku, bodoh.
Kamu
yang menyukai riuh, tak akan bisa paham mengapa aku sudah bahagia dalam diamku
saja. Aku senang bisa mencintaimu, tak juga sedih ia hanya ada dari kejauhan.
Aku
tak ingin lebih. Aku bahkan tak tahu apakah aku siap jika cinta ini berubah
menjadi lebih dari sekadar cinta yang diam.
Apalah
gunanya cinta yang diam, ujarmu. Lalu kau bilang bahwa cintaku ini cinta yang
kelaparan. Maka tak heran lama kelamaan ia tak mau diatur. Ia terus saja
menyerang menghentak ingin keluar dari dada. Memaksa untuk disampaikan, memohon
untuk diberi makan.
Lalu
kamu menatap mataku lekat-lekat.
Jika
kamu sungguh-sungguh cinta aku, maka cintamu itu harus bicara. Karena jika yang
kamu mau hanyalah diam, maka kamu bukan cinta aku, kamu cinta dirimu sendiri.
Jadi…
Coba tanyakan lagi kepada dirimu sendiri. Siapkah kamu untuk cinta yang tak lagi
diam?
Untuk
yang ini, aku tak punya jawabnya.
Apakah
kamu punya?
Pada
akhirnya, cinta selalu mencari teman bicara.
No comments:
Post a Comment