Kenapa orang-orang
merasa enggan sendiri?
Lihat saja semua
meja-meja yang tersusun rapi di restoran, kafe, atau bar. Semuanya untuk
minimal dua orang. Mengapa tidak ada restoran yang menyediakan meja untuk
sendirian? Ada yang salah dengan sendiri?
Table for Two. We always
ordered a Table for Two. Mana ada orang yang memesan sebuah meja untuk sendiri.
Bisakah kita duduk
sendiri?
Aku saat ini sedang
duduk sendiri, di sebuah restoran dimsum yang jadi favoritku sejak dulu, menunggu Davin tiba. Davin
menawari untuk menjemputku, namun aku menolaknya dan memilih untuk berangkat
sendiri, sekedar hanya untuk memperjelas bahwa makan malam ini bukanlah kencan.
Pun jika mematuhi hukum
rimba perkencanan yang berlaku di bumi ini, maka seharusnya aku akan sengaja
datang agak terlambat dan membiarkan Davin yang menungguku.
Itu pun tidak kulakukan,
aku datang tepat waktu, sedikit lebih awal malahan, lagi-lagi, demi
menggarisbawahi bahwa ini bukanlah kencan, just
two coworkers, having dinner. That’s it.
Tapi rupanya aku tidak
bisa seratus persen profesional pada makan malam kali ini. Aku mengenakan gaun
terbaikku, halter neck dress warna salmon bertabur sequins. Tak lupa aku
mengusapkan lipstick peach di bibirku, menyelaraskannya dengan gaun.
“Someone looks stunning
tonight…” seseorang mendadak
berbisik di belakang telingaku.
Aku menoleh. “Davin! Lo
ngagetin aja.” aku berdiri lalu melakukan cipika-cipiki singkat pada Davin. Aku
bisa melihat Davin lumayan salting, entah karena pipiku yang menempel di
pipinya, atau simply karena terpesona dengan penampilanku malam ini.
Tapi malam ini rupanya
Davin tidak kalah mempesonanya. Ia mengenakan kemeja biru tua dipadu dengan
blazer kasual dan jeans. Santai, tapi tetap elegan. Entahlah, mungkin efek itu
muncul karena Davin memang aslinya sudah super ganteng.
“Sori ya gue telat…
Macet gila tadi…” ujar Davin sambil duduk di kursinya.
“Lo terlambat 5 menit
lagi… Cabut gue. Sebagai perempuan, gue punya batas sih Dav…” aku terkekeh.
Davin langsung menunjukkan muka bersalah. “Bercanda… gue juga baru dateng kok…”
aku buru-buru menambahkan.
“Syukur deh… Gue akan
sangat merasa bersalah membiarkan wanita cantik menunggu…”
Hear… hear… Just another
flirting line oleh Tuan Muda Davino Prasetya.
Aku terkekeh lagi.
“Gombalan lo... Bener-bener deh.”
Davin hanya tersenyum,
memandangku sejenak, lalu kembali memandang buku menunya.
“So… Pacar lo nggak
marah nih, Tash?” tanya Davin sembari menunggu pesanan kami datang.
“Hahaha… Ngapain marah?
Emang kita ngapain?” aku balik bertanya dengan nada sedikit menggoda. Uh, okay.
Aku mulai tergoda untuk mengikuti alur permainan Davin.
“Menurut lo? Kan lo juga
yang mengajak gue…” Davin kembali balik bertanya. Okay… Strike one, Dav.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
ReplyDeleteYang ini sepertinya seru kalau dibuat panjang. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Terima kasih! Ini memang hanya potongan dari tulisan panjang yang (maunya) jadi novel :)
Delete