Ramai. Tidak ada lagi diam
yang membuntuti.
Tak jua ada lagi coretan di
kanvas, kue pandan, dan surat yang menanti.
Diamnya telah pergi.
Meninggalkan ramai dan riuh yang memekakkan.
Diam-diam, aku menggantikan
senyapnya diammu.
Setiap Selasa, aku masih
menantikan suratmu datang. Masih ingin merasakan kue pandanmu lagi.
Dan coretan di kanvas
putihmu yang maha indah.
Yang mungkin kamu tak tahu,
selalu kusimpan rapi-rapi di lemari hati.
Namun toh, kamu sudah
terlanjur pergi.
Kamu yang tak sanggup
menyaksikanku mencari ramai. Kamu yang tak sanggup melihatku bercumbu dengan
riuh.
Maafkan aku karena membuatmu
hanya sanggup terdiam.
Maafkan aku yang pura-pura
tidak tahu kalau kamu selalu menungguku dengan sepotong kue pandan hangat.
Maafkan aku yang lebih
memilih ramai.
Namun jangan tanyakan padaku
mana yang aku lebih inginkan.
Karena aku ingin ramai dan
juga diam. Mengharap diam yang bisa membawa ramai.
Alih-alih bertanya padaku,
bolehkah aku ganti bertanya?
Apakah aku yang kamu
sungguh-sungguh inginkan?
Apakah kamu benar-benar
ingin aku, atau sekedar menyukai imajinasi tentangku?
Jika aku benar-benar datang
padamu, sudah siapkah kamu?
Sesungguhnya, aku tak pernah
benar-benar pernah jatuh cinta.
Namun jika aku memang harus
jatuh padamu, maka aku tahu aku bisa benar-benar jatuh.
Sejatuh-jatuhnya.
Dan kamu tak akan pernah aku
mampu lepaskan.
Dan kemudian aku tak bisa
hidup tanpamu.
Jadi sebelum aku benar-benar
jatuh.
Tolong jawab pertanyaanku.
Cintakah kamu padaku? Atau
kah kamu sekedar mencintai imaji-imaji terindahmu tentang aku?
Mungkin disitulah anehnya cinta.
Baru terasa berarti ketika ia telah
pergi.
Sejujurnya, aku semakin tak mengerti
dengan apa yang kupinta.
Yang kutahu, aku tak merasa ada lagi
energi.
No comments:
Post a Comment