Wednesday, June 10, 2015

Tak Ada Lagi Diam

Ramai. Tidak ada lagi diam yang membuntuti.
Tak jua ada lagi coretan di kanvas, kue pandan, dan surat yang menanti.

Diamnya telah pergi. Meninggalkan ramai dan riuh yang memekakkan.



Diam-diam, aku menggantikan senyapnya diammu.
Setiap Selasa, aku masih menantikan suratmu datang. Masih ingin merasakan kue pandanmu lagi.
Dan coretan di kanvas putihmu yang maha indah.
Yang mungkin kamu tak tahu, selalu kusimpan rapi-rapi di lemari hati.

Namun toh, kamu sudah terlanjur pergi.
Kamu yang tak sanggup menyaksikanku mencari ramai. Kamu yang tak sanggup melihatku bercumbu dengan riuh.
Maafkan aku karena membuatmu hanya sanggup terdiam.
Maafkan aku yang pura-pura tidak tahu kalau kamu selalu menungguku dengan sepotong kue pandan hangat.
Maafkan aku yang lebih memilih ramai.

Namun jangan tanyakan padaku mana yang aku lebih inginkan.
Karena aku ingin ramai dan juga diam. Mengharap diam yang bisa membawa ramai.

Alih-alih bertanya padaku, bolehkah aku ganti bertanya?

Apakah aku yang kamu sungguh-sungguh inginkan?
Apakah kamu benar-benar ingin aku, atau sekedar menyukai imajinasi tentangku?
Jika aku benar-benar datang padamu, sudah siapkah kamu?

Sesungguhnya, aku tak pernah benar-benar pernah jatuh cinta.
Namun jika aku memang harus jatuh padamu, maka aku tahu aku bisa benar-benar jatuh.
Sejatuh-jatuhnya.
Dan kamu tak akan pernah aku mampu lepaskan.
Dan kemudian aku tak bisa hidup tanpamu.

Jadi sebelum aku benar-benar jatuh.
Tolong jawab pertanyaanku.

Cintakah kamu padaku? Atau kah kamu sekedar mencintai imaji-imaji terindahmu tentang aku?

Mungkin disitulah anehnya cinta.
Baru terasa berarti ketika ia telah pergi.
Sejujurnya, aku semakin tak mengerti dengan apa yang kupinta.
Yang kutahu, aku tak merasa ada lagi energi.


No comments:

Post a Comment