Thursday, June 18, 2015

Memecah Keheningan



Mengapa kau masih saja diam?
Jawab pertanyaanku. Jangan hanya termangu.


Haruskah semua pertanyaan terjawab?
Mengapa kau pinta aku untuk menjawab sesuatu yang bahkan pertanyaannya pun aku tak paham.


Aku mencintaimu.

Masihkah kau cinta aku jika aku enggan bicara?

Masihkah kau cinta aku jika aku tak bicara padamu?

Aku juga cinta kamu. Tapi, apa gunanya cinta jika kita masih mempertanyakan satu sama lain?
Mengapa kita selalu bertanya?
Dan kenapa tidak ada yang menjawab?

Aku riuh dan kau hening.
Kita berdua menyatu dalam saling.
Menyimpan kalbu dalam pikir.
Saling menunggu siapa yang mati terakhir.

Lalu jika ini cinta, mengapa jadinya menyiksa?
Mengapa tak ada jalan yang terbaca?
Sampai kapan kita berdua terus meraba-raba?
Ah, mungkin aku saja yang terlalu tak peka.

Apa lah lagi yang kita butuhkan selain cinta.
Haruskah aku berubah jadi liliput lalu masuk ke hatimu?

Kamu tahu, mungkin yang kita butuhkan adalah jauh.
Menjauh dari cinta yang sumpah mati tak berdosa.
Menjauh dari rutinitas yang penuh.
Memberi jarak pada kanvas putih, kue pandan hangat, dan surat setiap hari Selasa.

Apa maksudmu?

Aku tahu, kamu tahu maksudku.

Aku sungguh tak paham hatimu.

Kamu terlalu lama menerima cintaku yang menahun.
Aku terlalu lama merasa aku sungguh cinta kamu.
Tak mungkin lagi kita mampu membedakan
Cinta kah ini, atau kita berdua hanya sudah terlanjur terbiasa?

Maksudmu
Kita butuh jarak untuk menjadi dekat?

Iya.
Rasakanlah, bahkan dengan jarak sedekat ini pun aku masih merasa engkau begitu jauh.

Dan aku merasa kamu tak jua mendekat padaku.

Bagaimana?

Ya, kamu benar.

Aku ingin merasakan diriku sendiri tanpamu.
Siapa tahu, ternyata aku sebenarnya adalah riuh

Dan aku adalah diam.

Selamat tinggal.

Aku akan rindu diammu.


Sampai bertemu di kehidupan yang selanjutnya.

No comments:

Post a Comment