Mengapa
kau masih saja diam?
Jawab
pertanyaanku. Jangan hanya termangu.
Haruskah semua pertanyaan terjawab?
Mengapa kau pinta aku untuk menjawab sesuatu yang
bahkan pertanyaannya pun aku tak paham.
Aku
mencintaimu.
Masihkah kau cinta aku jika aku enggan bicara?
Masihkah
kau cinta aku jika aku tak bicara padamu?
Aku juga cinta kamu. Tapi, apa gunanya cinta jika
kita masih mempertanyakan satu sama lain?
Mengapa kita selalu bertanya?
Dan kenapa tidak ada yang menjawab?
Aku
riuh dan kau hening.
Kita
berdua menyatu dalam saling.
Menyimpan
kalbu dalam pikir.
Saling
menunggu siapa yang mati terakhir.
Lalu jika ini cinta, mengapa jadinya menyiksa?
Mengapa tak ada jalan yang terbaca?
Sampai kapan kita berdua terus meraba-raba?
Ah, mungkin aku saja yang terlalu tak peka.
Apa
lah lagi yang kita butuhkan selain cinta.
Haruskah
aku berubah jadi liliput lalu masuk ke hatimu?
Kamu tahu, mungkin yang kita butuhkan adalah jauh.
Menjauh dari cinta yang sumpah mati tak berdosa.
Menjauh dari rutinitas yang penuh.
Memberi jarak pada kanvas putih, kue pandan hangat,
dan surat setiap hari Selasa.
Apa
maksudmu?
Aku tahu, kamu tahu maksudku.
Aku
sungguh tak paham hatimu.
Kamu terlalu lama menerima cintaku yang menahun.
Aku terlalu lama merasa aku sungguh cinta kamu.
Tak mungkin lagi kita mampu membedakan
Cinta kah ini, atau kita berdua hanya sudah terlanjur
terbiasa?
Maksudmu
Kita
butuh jarak untuk menjadi dekat?
Iya.
Rasakanlah, bahkan dengan jarak sedekat ini pun aku
masih merasa engkau begitu jauh.
Dan
aku merasa kamu tak jua mendekat padaku.
Bagaimana?
Ya,
kamu benar.
Aku ingin merasakan diriku sendiri tanpamu.
Siapa tahu, ternyata aku sebenarnya adalah riuh
Dan
aku adalah diam.
Selamat tinggal.
Aku
akan rindu diammu.
Sampai bertemu di kehidupan yang selanjutnya.
No comments:
Post a Comment