Diam yang bising ini mulai membuatku lelah. Aku ingin rebah. Aku pasrah.
Aku tidak suka diam. Tapi dia terus menerus diam tanpa suara. Membuatku bertanya-tanya. Memaksaku untuk tak percaya.
Aku sudah katakan sebelumnya, aku ingin suara. Aku ingin teman bicara. Tahukah kamu rasanya cinta tanpa pertanda? Rasanya seperti sedang cinta sendiri.
Di luar begitu ramai. Ramai yang damai. Ramai dimana aku bicara dan berbalas. Dimana aku tersenyum dan dibalas tawa. Dimana aku memeluk dan dibalas dekap. Lalu mengecup dan dibalas dengan cumbu.
Salahkah aku mencari semua keramaian ini?
Aku berlari kesana dan kemari. Mencari balas hari demi hari. Balas yang tak pernah kudapatkan darimu. Suara yang tak pernah kupercaya ada padamu.
Aku menyerah menunggumu bersuara. Rasanya seperti berusaha berbicara tak tentu arah. Bahkan berbicara pada lautpun maka ia akan menjawab dengan debur ombak. Berbicara padamu, sebait bisikpun kudapat tidak.
Maka jika kau sudah bahagia hanya dengan diammu, padaku terjadi sebaliknya.
Diamku ini menyiksa. Aku tak bisa.
Dan aku pun kembali mencari riuh. Mencara senyum yang dibalas tawa. Mengejar peluk yang dibalas dekap. Mengecup yang dibalas cumbu.
Lalu aku terjatuh dalam riuh. Riuh yang kudapat supaya aku tak lagi mendengar diam. Ramai yang kukejar hanya agar aku bisa mendiamkan diam.
Namun apa daya. Diammu lah yang selalu ada. Diammu yang begitu bising. Bertubi-tubi membuatku terpelanting.
Aku lelah diam.
Haruskah aku dahulu yang bicara?
Dan jika aku bicara... Akankah kita berdua lalu jadi bahagia?
Jika cinta terlalu egois untuk dipendam sendiri, adilkah itu untuk yang bahagia karena adanya sunyi itu sendiri?
No comments:
Post a Comment