Volume tape maksimum, pintu kamar dikunci triple, selain dikunci, digembok juga diganjal dengan meja belajar.
Jendela ditutup rapat. Lampu dimatikan. Suara musik Gun’s and Roses membahana.
Orang normal mungkin akan
buru-buru mematikan musik ini. Bisa tuli lama-lama. Tapi nampaknya Eryc tidak
merasa terganggu dengan suara yang memekakkan telinga ini. Dia butuh distraksi.
Dia butuh ramai. Baginya, sepi itu berbahaya. Sepi akan membuatnya bisa
mendengar suara hatinya sendiri yang saat ini sedang terluka.
Yah,
begitulah keadaan Eryc saat ini.
Frustasi? Iya. Saat
ini hanya ada dia dan Venus, kucingnya, yang termenung diam menatap langit-langit
kamar. Sesekali erangan Venus menyela suara tape Eryc. Sudah dua hari
dia nggak keluar kamar. Sudah dua hari dia nggak makan. Cuma minum.
Eryc
mematikan tape-nya.
Ini
sudah jam sembilan malam. Hening. Venus-pun menggeliat dari tidurnya.
Sakit,
pikir Eryc.
Jadi ini
ya, yang namanya patah hati?
Setiap
pikirannya melayang ke Vitta, gadis yang dalam waktu singkat sanggup merubah
perspektifnya tentang hidup, gadis yang luar biasa berbeda dan lucu, gadis
yang teramat sangat disayanginya itu—hatinya kelu, beku.
Eryc
meringis. Ia menatap Venus lekat-lekat.
Cih,
bahkan kucing kampret ini dikasih nama olehnya.
Kenapa
ia harus memilih Nero? Kenapa bukan dia yang seribu persen mencintainya sepenuh
hati. Kenapa??
Sebenarnya…
Baru kali ini Eryc merasa sekuat ini.
Kuat menahan kecewa, kuat menahan sedih, kuat
menahan ragu, kuat menahan tangis, kuat menahan marah.
Eryc tahu, ia berhasil untuk menjadi kuat.
Tapi saat ini, ia lelah menjadi kuat! Seriously…
Gimana sih cara ngelupain orang yang cepat,
efektif, dan efisien??
Kenapa dia nggak bisa suka sama Ferginna?
Kenapa dia harus suka sama Vitta, orang yang sudah jelas-jelas nggak mencintai
dia, orang yang jelas-jelas mencintai orang lain dan mencampakkan segala usaha
dan pengorbanannya bahkan ketika hanya untuk melihat senyumnya???
SAKIT TAUK.
Eryc merasa mendadak matanya basah. Persetan
dengan pepatah boys dont cry. Eryc
tidak peduli.
Venus terbangun, seperti sadar kalau Eryc
sedang dalam kondisi yang sangat hancur.
Air mata Eryc tambah lancar menetes,
membasahi bulu coklat Venus. Membuat kucing itu sedikit tersentak
Baru kali ini ia merasakan perasaan sesakit
ini. Letih.
Lalu apa yang harus ia lakukan? Menyerah?
Atau tetap bertahan pada komitmennya semula untuk tetap mendapatkan gadis itu?
Sesulit apapun itu? Komitmen jika baru akan berhenti ketika Vitta menikah?
So
bittersweet
This tragedy
Won't ask for absolution
This melody
Inside of me
Still searches for solution
A twist of faith
A change of heart
Cures my infatuation
A broken heart
Provides the spark
For my determination
This tragedy
Won't ask for absolution
This melody
Inside of me
Still searches for solution
A twist of faith
A change of heart
Cures my infatuation
A broken heart
Provides the spark
For my determination
I
never wanted you to be so full of anger (anger)
I never wanted you to be somebody else
I never wanted you to be someone afraid to know themselves
I only wanted you to see things for yourself
I never wanted you to be somebody else
I never wanted you to be someone afraid to know themselves
I only wanted you to see things for yourself
(Gun’s
and Roses – Better)
Pilihan lagu yang salah, Ryc. Salah. Eryc menggumam dalam hati.
***
“Hmm... perpisahan yang manis.” Gumam Vitta.
Blitz kamera ada dimana-mana. Semuanya
berfoto. Semuanya sibuk menyimpan kenangan mereka banyak-banyak. Yang cewek,
terutama yang punya geng SMA, sibuk berkumpul. Mencoba mempergunakan kesempatan
terakhir ini. Beberapa cewek yang pacarnya kelas 3 sibuk mengambil waktu
berdua. Sekedar mempersiapkan diri kalau-kalau sehabis ini mungkin akan lebih
susah untuk mereka ke depannya.
Vitta sendirian. Duduk di kursi paling
belakang. Gelas cocktail Vitta isinya tinggal setengah. Ia menatap buah cherry
yang mengapung-apung di cocktailnya, kemudian menghembuskan nafas berat. Ia
sendiri sekarang. Perfect time buat
kesepian di tengah keramaian.
Lamunannya terhenti oleh Samantha yang
mengajaknya berfoto. Vitta menurut saja. Setelah beberapa klik, ia pun duduk
lagi. Samantha melanjutkan kegiatannya mencari korban untuk berfoto lagi.
Vitta sendiri enggak berminat untuk seperti Samantha—mencoba
menyimpan kenangan manisnya. Karena menurut Vitta, kalau kenangannya yang
paling indah saja sudah tidak bersamanya lagi, apa yang harus disimpan? Dan
kalau ia tidak bisa menyimpan kenangannya yang paling manis, maka ia tidak
membutuhkan kenangan-kenangan lainnya lagi, karena rasanya tidak akan manis lagi.
Terdengar membingungkan. Tapi itulah yang
Vitta rasakan.
Malam ini ia merasa sangat terpukul. Sangat
terpuruk. Empty.
Vitta menelan tegukan terakhir cocktailnya.
Cherrynya ia biarkan. Ia tidak suka Cherry. Kecut.
“Cherrynya nggak dimakan sekalian?”
Nero. Nero di sampingnya. Begitu humble-tampan-menghanyutkan. Vitta
menatapnya kaget untuk beberapa saat.
“Eh...eh, nggak. Nggak suka.” Ia menjawab
gagu. Ada apa ini? Apa yang Nero lakukan di sampingnya sekarang?
“Semenjak kita putus, kita jadi nggak pernah
sms-an lagi, nggak pernah telpon-telponan lagi, dan nggak pernah jalan bareng
lagi ya?”
Terus
kenapa? Kangen? Nyesel kita putus? I will kill my self kalau kamu beneran
ngerasa kayak gitu.
Vitta menertawakan apa yang baru saja
dipikirkannya dalam hati dan sebagai gantinya ia hanya menjawab, “Iya ya...”
“Aku benci keadaan kayak ini, Vitt…”
Vitta mendongak, dadanya berdegup kencang. Ia
masih belum bisa 100% melupakan Nero rupanya. “Aku butuh waktu Ro.”
“Butuh waktu buat apa?”
“Buat melupakan kamu. Buat berhenti mencintai
kamu. Buat sadar dari mimpi panjangku ini. Aku butuh jeda Ro. Jeda sampai aku
bisa melihat mata kamu lagi tanpa merasakan debar yang sangat membuatku
terluka.”
“Aku… aku maaf…”
Nero terlihat sangat canggung dan gagu. Raut
wajahnya menampakkan ekspresi penyesalan yang sangat dalam.
“Nggak perlu minta maaf Ro. Akunya aja yang
sedikit konyol karena susah banget menghilangkan perasaan ini.” Vitta tersenyum
lebar. “Tapi kamu harus tahu Ro, apapun yang terjadi, we will always be friends.
Dan kita akan kembali berteman kok. Mungkin nggak sekarang, but I will make it. Just let me pass this one ya.”
“Dan aku tetap bisa nyobain kastengels buatan
kamu?”
“Sure. Hahaha.”
Nero menghela nafas. “Kamu gadis baik, Vitt.
Kamu akan mendapatkan yang jauh-jauh lebih baik daripada aku. I’m pretty sure about it.”
Vitta hanya tersenyum.
“See
ya, aku menunggu tawaran persahabatanmu lagi.”
“Iya. Pasti.” Vitta mengangguk.
Nero mengelus rambut Vitta lembut, tersenyum,
lalu berjalan menjauh. Bersamaan dengan itu Vitta bisa merasakan dadanya
berdesir perih.
Vitta menatap cherry di gelas kosong cocktailnya. Ia
memakannya bulat-bulat, berharap rasa kecut di buah itu bisa menutupi rasa
perih yang mendera dadanya.
Tidak berapa lama kemudian kembang api tanda pesta
perpisahan selesai meletus dan mengukirkan rona indah di langit malam yang
cerah.
Vitta memandangnya
tersenyum, ia mengusap air matanya perlahan.
Ia tahu, hidupnya tetap
harus berjalan.
***
No comments:
Post a Comment