Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Saya bangga
dengan pekerjaan saya. Saya bekerja di sebuah perusahaan investasi, dan saya adalah seorang business analyst ulung. Saya berpikir dengan cara ekonomi. Di pemahaman saya,
perusahaan akan dimiliki oleh investor yang memiliki lebih dari 50% modal.
Tidak perlu semuanya, yang penting lebih dari 50%.
Bersama
kamu, saya adalah investor yang menang tender. Saya merasa memiliki 70 % modal.
70% rindu.
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Saya tahu,
saya bodoh. Tiap hari mau-maunya saya balas SMS kamu. Cinta, aku kangen. Cinta, kamu dimana? Bisa ketemu nggak? Cinta, aku
cinta kamu! Cinta, cinta, cinta. Makan itu cinta.
Tapi toh
saya memakan habis cinta yang kamu berikan. Habis tak bersisa. Saya lapar
setiap hari, setiap menit, setiap detik. Cinta yang bikin saya mabuk kepayang,
Cinta yang bikin kamu terbang melayang. Cinta yang manis tapi juga egois.
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Saya juga
paham, seratus persen paham, kalau saya mau tidak mau harus diam. Diam melihat
kamu SMS-SMS saya. Diam melihat kamu telpon-telpon saya. Diam melihat kamu
SMS-SMS dia. Diam melihat kamu telpon-telpon dia.
Tapi
anehnya, dalam diam, diam-diam saya menikmati. Walaupun resikonya saya dianggap
tidak punya hati. Atau jangan-jangan saya memang sengaja cari mati?
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Bukannya
saya tidak laku, saya bukan lajang bapuk yang sukanya main-main melulu. Apalagi
main rebut pasangan orang. Tapi cuma kamu selalu bisa bikin saya terbang! Cuma
kamu yang bisa bikin saya merasa menang! Menang dari dia, menang dari orang
yang dulu kamu sayang.
Kamu yang
dulu datang kepada saya dengan rapuh. Wajahmu lusuh. Kata-katamu penuh keluh.
Saya tidak
meminta kamu untuk datang begitu saja. Tapi kerapuhanmu bikin saya luluh, bikin
saya tersentuh. Kemudian saya dengan mudah jatuh. Jatuh cinta kepada kamu.
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Saya tidak
suka dia bikin kamu menangis. Saya inginnya kamu sama saya saja. Senang-senang.
Saya cinta kamu, kamu cinta saya. Dan kita akan hidup bahagia bersama sama sama
sama sama selamanya.
Saya suka
kamu punya ponsel khusus untuk SMS saya. Saya suka account twitter-mu penuh dengan DM saya. Saya suka kamu bohong sama
dia demi saya. Suka! Menurut saya itu pengorbanan, menurut saya itu butuh
keberanian, menurut saya kamu mengambil resiko demi saya. Dan itu sangat seksi.
Belum pernah ada orang yang seberani itu demi seorang saya.
Kemudian
saya perlahan-lahan berpikir ulang, ini semua demi saya atau demi dia?
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Waktu saya
tanya, kenapa kamu tidak bisa melepaskan dia, kamu malah menjawab balik, “Loh,
memang kamu mau saya lepasin dia?”
Anehnya
saya menggeleng. “Kalau kamu lepasin dia, nanti saya bakalan kepengen jadi
pengganti dia buat kamu. Dan saya tahu, saya nggak bakalan bisa jadi sosok itu.
Nanti saya sedih. Lebih baik seperti sekarang saja, tidak punya ekspektasi berlebihan.”
“Kok kamu
bisa mikir gitu, cinta?”
“Saya
seorang business analyst. Yang penting cinta dan rindu kamu lebih banyak buat
saya. Tidak perlu semuanya, jadi yang berat-berat biar buat dia saja. Yang
penting perusahaan—kamu—tetap milik saya.” Saya terkekeh.
Kamu malah
tertawa. Kata kamu, saya lucu. “Dasar orang ekonomi, rindu saja dihitung.” kata kamu.
Saya ikut
tertawa, kali ini saya menertawakan diri saya sendiri.
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Sampai
kapan mau seperti ini? Sampai kapan mau berbagi rindu dengan yang lainnya?
Sampai kapan?
Hati nurani
saya hampir setiap hari meneriakkan kata-kata itu. Berdengung tidak karuan setiap kali mendapati SMS dia di ponselmu. Pulang jam berapa? Anak-anak kangen kamu.
“Kamu mau
pulang jam berapa? Anak-anak kangen kamu.” Saya mengulang SMS dari dia, menatap
bola matamu lebih dalam lagi. Mencoba mencari kejujuran di sana. Mencoba
menemukan cinta di sana. Kamu boleh tidak cinta dia, boleh juga tidak cinta
saya—walaupun kamu panggil saya cinta—tapi kamu nggak boleh tidak cinta
anak-anakmu.
“Kalau aku
pulang, anak-anak udah tidur, percuma.”
“Pulang
lebih cepat dong, makanya. Biar kamu bisa ketemu anak-anakmu. Kasian mereka.”
“Kan kamu
sendiri tadi yang minta kita ketemuan sekarang. Aku nggak ketemu anak-anak kan
juga biar bisa ketemu kamu, cinta.”
Saya
tiba-tiba berdiri, meninggalkan kamu. Entah mengapa, kali ini hati nurani
rasanya bergejolak tidak karuan. “Aku pulang.”
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Cinta, aku kangen, kamu dimana?
Cinta aku udah ketemu anak-anakku, kemarin aku ajak
mereka jalan-jalan. Kamu senang? Balas SMS-ku dong.
Cinta, kamu bikin aku bingung. Aku butuh kamu.
Cinta, kamu kenapa?
Cinta, aku rindu kamu!
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Berbagi
rindu itu buat saya mengasyikkan. Rasanya luar biasa, seperti menang lotere.
Selama ini, saya merasa menang. Saya adalah pemilik kamu karena saya selalu
mendapat porsi rindu yang jauh lebih besar dari dia. Saya 70%, dia 30%.
Setidaknya
itulah yang saya rasakan sampai SMS dari dia datang. SMS yang mengabarkan
kerinduan anak-anakmu. SMS yang meruntuhkan nurani saya.
Saya tidak
hanya berbagi rindu dengan dia. Saya juga berbagi rindu dengan anak-anak kamu.
Itu berarti hitungannya salah, kalau saya mendapat 70%, dia 30%, lalu
anak-anakmu dapat berapa?
Saya mulai
kalut, saya mulai labil. Karena saya percaya, seseorang tidak boleh tidak mendapatkan
porsi rindu sama sekali. Ada pihak-pihak yang dirugikan. Itu curang, itu tidak
adil. Saya seorang investor yang tidak manusiawi. Saya mengambil keuntungan
terlalu banyak.
Saya
melanggar hak anak-anak kamu. Saya harus mundur.
Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya
aku.
Saya tidak rindu kamu. Saya harus memberi rindu ini
untuk anak-anak kamu. 70% ya, cinta. Saya kasih semua rindu ini buat anak-anak
kamu. 35% buat Annisa, 35% buat Faris. Saya ikhlas. Saya harus legawa. Saya
masih bisa mencuri rindu dari siapapun. Tapi saya tidak ingin mencuri rindu
anak-anakmu.
Jadi, resmi ya, Annisa dan Faris adalah pemilik
modal yang terbesar sekarang.. Hehe..
Tolong bilang ke Annisa dan Faris, dapat salam ya
dari Om Adrian. Bilang ke mereka, kalau mereka punya kamu, seorang ibu yang
luar biasa cantik yang sangat sayang mereka.
Salam,
Adrian
Jogja, 24 Oktober 2012
Untuk semua yang sedang rindu
No comments:
Post a Comment