Sunday, May 19, 2013

Aku Menangis



“Udah! Kamu nggak usah deketin aku lagi!! Aku kan udah bilang, aku benci banget sama kamu!!!” lengkingku.
Cewek yang ada di depanku tetap bergeming. “Plis, Cha. Aku nggak tau kenapa kamu bisa benci sama aku. Kasih tau aku alasannya Cha…”
“Alah…. Nggak usah sok suci gitu deh! Eneg ngeliatnya!”
Gizza meringsek maju, mencoba mendekatiku. “Aku nggak mau punya musuh…”
PLAAKK!!! Akhirnya aku menamparnya, ini udah kali keenam aku menampar orang ini. Gizza langsung bercucuran air mata. Dua orang teman yang ada di sebelahnya langsung menatapku marah dan sibuk mengelus-elus pipinya.
“Giz, kamu nggak papa kan?” kata salah seorang dari mereka.
“Udah yuk Giz, kita pergi aja, dia itu emang sinting. Udah aku bilang kan, ngomong sama Echa tuh nggak ada gunanya. Lagian kamu kan nggak salah Giz...” Yang lain menyambung.
Gizza hendak mengajakku bicara lagi. Tapi aku sudah pergi meninggalkan dia.
Aku benar-benar membenci Vergizza Natasha.

***

Namaku Echa, kelas 2 SMA.
Dulu, aku benar-benar cewek populer. Puluhan cowok memperebutkan aku, temanku nggak kehitung jumalahnya, aku supel, aku cerdas, aku punya keluarga yang sangat hangat, ayahku pengusaha tekstil sukses, dan yang jelas… aku sangat cantik.
Tapi sekarang semuanya sudah berubah.
Dan itu semua gara-gara…
VERGIZZA NATASHA.
Dulu, waktu dia pertama kali memperkenalkan diri sebagai anak baru di kelasku aku menganggapnya biasa. Oke, dia memang cewe indo dengan wajah khas yang cantik, lincah, dan percaya diri. Cuma itu. Nggak lebih. Sikapku juga biasa saja, aku malah yang pertama kali mengajaknya berkenalan.
Lambat laun semuanya berubah. Gizza mulai menarik perhatian teman-temanku. Satu persatu semuanya berpindah ke tangan Gizza. Nggak hanya itu, cowok-cowok juga mulai antre kepingin jadi pacarnya.
Saat itu, firasatku mulai nggak enak. Tapi aku nggak terlalu memusingkannya, toh aku juga masih bisa cari teman lain dan lagipula... aku juga sudah punya cowo yang keren, Agha.
Namun sayangnya ternyata pengaruh Gizza buatku ada session keduanya. Papa sering banget nggak pulang ke rumah. Dan mama curiga papa sering transfer uang ke rekening lain yang nggak jelas punya siapa.
Kekhawatiranku terbukti. Papa selingkuh. Dan papa selingkuh sama mamanya Gizza yang ternyata seorang single parent yang masih muda. Akhirnya papa dan mama memutuskan buat cerai. Gilanya, adikkupun hak asuhnya dimenangkan sama papa. Saat itu, Gizza mati-matian minta maaf ke aku dan bilang kalo sebenernya dia juga nggak setuju mamanya menikah sama papaku. Tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini semua kemauan mamanya. Waktu itu dia minta maaf ke aku, tentu sajaa,  sambil nangis-nangis. Cih.
Saat itulah rasa benciku ke Gizza mulai sedikit demi sedikit menumpuk. Pelan tapi pasti seiring dengan bertambahnya waktu, melihat gayanya yang manja, sifatnya yang sangat sensitif, cara bicaranya yang menye-menye, dan segala usahanya untuk tetap berteman denganku membuatku muak melihat mukanya.
Itulah yang membuat aku selalu ketus pada Gizza. Nggak jarang aku membentaknya, memaki dia dengan kata-kata kotor, pokoknya segalanya, untuk bikin dia menderita. Itu membuat teman-temanku perlahan mulai membenciku, menjauhi aku, menggunjingkan aku. Eh, itu lho… Echa… masak Gizza dilabrak. Gizza kan nggak pernah punya salah apa-apa. Cewek sirik. Kegatelen. Males banget nggak siih? Dan seribu gunjingan lain yang nggak jarang mereka lakukan di depan hidungku.
Aku akhirnya Cuma tinggal di rumah kontrakan kecil berdua mamaku. Hidup kami Cuma bergantung sama warung kecil mama dan sekali-sekali kalo papa sedang berbaik hati memberi kami uang.
Entah karena perceraiannya dengan papa atau bagaimana, sekarang mama jadi sakit-sakitan. Vonis dokter yang terakhir, mama kena paru-paru basah. Akhirnya, karena penyakit mama ini terpaksa akulah yang harus menggantikan mama berjualan di warung. Sekali lagi, rasa benciku ke Gizza makin dan semakin bertambah.
Mungkin karena nggak bisa membagi waktu antara sekolah, jaga warung dan belajar, prestasiku mulai menurun. Aku yang dulu minimal ranking 5 di kelas, sekarang nggak dapet ranking. Sementara Gizza, dengan mudahnya dia dapet ranking 2. Aku semakin membencinya.
Saking bencinya aku sama Gizza, aku berkali-kali berniat membunuhnya. Benar-benar membunuhnya. Dalam artian membunuh yang sebenarnya. Dia nggak Cuma sekali nangis karena aku, nggak Cuma sekali nangis di depan umum karena aku. Nggak Cuma sekali tersedu di depanku. Dasar cewek licik, nangis di depan umum? Buat apa? Buat narik simpati temen-temen aja kan?? Sok baek! Begitu bentakku saat itu.  
Aku bersumpah, aku nggak akan pernah nangis di depan dia. Aku nggak akan kalah.
Walaupun sebenarnya tanpa dia sadari… aku juga menangis! Mungkin malah frekuensinya lebih sering daripada dia. Di belakangnya aku terus menangis. Menangisi segalanya.
Aku nggak sanggup nangis di depan mama. Aku nggak mau curhat sama mama yang sedang sakit. Aku nggak mau bikin mama sedih…
Puncaknya, saat aku sedang kalut-kalutnya dengan sekarung masalah yang menimpaku, aku mendapat kecelakaan. Waktu itu, aku lagi ngebut dengan speed gila-gilaan bersama motor bekasku, satu-satunya hartaku yang berharga, mungkin karena pikiranku lagi melayang-layang, aku menabrak mobil. Mobil Ferrari merah punya Gizza.
Akibatnya, karena luka yang terlalu parah, tak hanya kaki tangan dan punggungku saja yang jadi korban, mukakupun turut serta.
Wajahku hancur total Aku benar-benar ingin bunuh diri! Dan nggak hanya itu, efek keduanya, aku difitnah sengaja melakukan percobaan pembunuhan ke Gizza. Teman-teman semakin menjuhiku. Yang bikin aku semakin gondok, Gizza sehat wal afiat. Kerugian yang dialaminya Cuma satu, mobil Ferarrinya yang mengkilat itu peyok. Aku kecewa, kenapa dia nggak mati aja sekalian??
Satu-satunya orang yang bisa kujadikan tempat adalah Agha, pacarku yang selalu bersamaku selama 3 tahun. Hanya Agha yang bersedia menerimaku apa adanya. Walaupun udah dalam kondisi hancur lebur lahir batin kayak gini. Di dadanyalah aku menangis, aku meraung, memarahi Gizza, mengumpat Gizza. Hanya Agha yang bisa mendinginkan emosiku kalo lagi panas-panasnya.  Dan hanya dia jugalah yang mencegahku untuk... yah... untuk membunuh Gizza. Aku serius.
“Echa… dengerin aku, Echa yang aku kenal itu nggak kayak gini. Kamu harus kuat. Aku percaya kamu bisa…” itulah yang dia katakan kalau aku sedang untuk yang kesekian kali, menangis di dadanya.
“Aku benci, Gha. Aku benci banget sama cewek itu… kenapa kamu selalu mencegahku buat bunuh dia…?”
“Echa…” Agha menyentuh kedua pipiku yang basah oleh air mata. “Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Tolong Cha, jangan bikin aku takut. Kamu kan juga tau, membunuh orang itu dosa…”
Aku menangis lagi dan menelungkupkan wajahku lebih dalam ke dadanya. Aku sendiri heran, masih ada cowok normal yang masih bisa menerima pacarnya memiliki niat menjadi pembunuh. Sudah sepatutnya Gizza berterimakasih padanya, coba Agha nggak ngomong seperti ini, pasti sejak dulu dia sudah mati!

***

Itu adalah awalnya.
Saat ini, detik ini, pulang sekolah,  aku sedang melihat Agha dan Gizza berduaan di pojok sekolahan. Mereka berdua tertawa. Tertawa sangat lepas. Gizza memukuli Agha dengan tasnya. Sementara Agha Cuma pura-pura kesakitan.
Mereka berdua benar-benar bahagia. Belum pernah aku melihat Agha tertawa selepas ini, sebebas ini.
Matanya nggak bisa berbohong.
Aku melihat cinta di matanya.
Lalu aku melihat Agha pamit pada Gizza sebelum akhirnya ia mencium pipinya.
Agha berlalu sambil membalas lambaian tangan Gizza.
Mereka berdua, sangaaaaat bahagia…
Sangaaaat bahagia……
Dan aku nggak bahagia.
AKU NGGAK BAHAGIA.
Saat ini sudah sore. Sekolah sudah sepi. Matahari sudah mulai tenggelam dan semua guru juga sudah pulang.
Aku melihat sebuah pisau mengkilat di meja kantin tempat aku berdiri sekarang. Pisau besar yang tajam mengkilat. Indah sekali. Aku bahkan bisa berkaca menggunakan pisau itu.
Aku rasa, aku harus melakukannya.
Dengan membawa pisau itu aku menghampiri Gizza yang wajahnya langsung pucat pasi. Sementara aku, aku menyeringai lebar-lebar. Haha!
“Kamu... kamu… mau ngapain Cha?? Pi… pisau itu…” dia menanyaiku gagap. Wajahnya terlihat penuh dengan ketakutan. Oho… aku senang melihatnya.
Lalu tiba-tiba aku merasa pipiku basah. Terus, walaupun tanpa isak. Ya ampun, aku menangis di depannya. Astaga, kenapa ini? Aku benci menangis, tapi air mata ini keluar sendiri. Aku Cuma merasa dadaku sesak, tapi kenapa harus menangis? Di depannya pula! Astaga. Damn. Aku kalah…
“Kenapa kamu lakukan semua ini ke aku, Giz..?” tanyaku dengan suara bergetar sambil memepetnya ke tembok. “Pertama kamu ambil teman-temanku, kepopuleranku, keluargaku, wajahku, hartaku…” suaraku semakin bergetar.
“Cha… tenang Cha..”
“DAN SEKARANG KAMU AMBIL PACARKU!!!!” aku meraung keras mendekatkan pisau ke lehernya.
“Giz… gizza… maksud kamu?”
“HAH? COWO? PURA-PURA NGGAK TAU LAGI… AGHA TUH COWOKKU!!!!” aku meraung bercucuran air mata. “HIDUP KAMU TUH KURANG APA SIH? KENAPA KAMU JUGA MASIH PENGEN NGAMBIL COWOKKU??!!!”
“Echa…” Gizza sekarang sudah menangis. Wajahnya putih pucat pasi seputih tembok.
“KAMU SUDAH AMBIL SEMUA KEBAHAGIAANKU!!! KAMU SAMPAH! KAMU BUSUK!!!”
“Aku nggak bermaksud, Cha…”
“BOHHOOOONNG!!!!!” aku menancapkan pisauku langsung ke perut Gizza. Cepat dan keras. Nggak pake basa-basi. Darah langsung bercipratan kemana-mana.
“Cha… sakit…” dia berkata. “Jangan Cha…”
Upss… ternyata cewek tengil ini masih hidup. Shit! Bagaimana aku bisa salah menancapkan pisau? Kenapa darah malah bercucuran dari kakinya?
“AKU BENCI SAMA KAMUUU!!!!” aku mencabut pisauku lagi dan berusaha menacapkannya di perut Gizza.
Yes! Berhasil! Cewek ini sekarang sekarat. Darah mengalir deras dari perutnya. Aku menang telak!
“So… ss..sorry Cha…” dia mendesah.
Kenapa dia masih hidup?
“AKU NGGAK BAKALAN MAAFIN KAMU!!” raungku. “NGGAK! NGGAK! NGGAK!!” aku menacapkan pisauku lagi berulang-ulang ke perutnya. Membuat darah bercipratan kemana-mana sampai ke mukaku.
Yang aku tahu setelah itu Gizza nggak bersuara lagi. Matanya kosong tanpa cahaya kayak dulu lagi. Dia nggak bakal ketawa lagi. Justru malah sekarang aku masih bisa melihat sisa air mata di kelopak matanya. Haha. Aku berhasil membuatnya mati dengan tangis.
Dia nggak bakal ada di hidupku lagi.
Finally. Aku menang dalam pertarungan ini.
Aku memandangi pisau penuh darah di tanganku sebelum akhirnya menancapakannya sendiri ke dadaku.
Aku menangis….



Jogja, April 2008

No comments:

Post a Comment