Adakah yang lebih indah dari dua insan yang diam-diam
mencinta?
Diam yang tidak hanya
sekedar diam. Diam yang telah mengendap dan menahun. Terlalu merasuk. Sehingga melebur
menjadi cinta itu sendiri.
Aku telah begitu terbiasa
dengan diam ini. Aku telah terbiasa bahagia dalam kesunyian. Sudah biasa
terlarut hanya dengan melihat dari kejauhan. Mudah tersenyum simpul hanya
dengan sebuah sapaan.
Begitu terus.
Bertahun-tahun. Sampai aku sadar aku sudah terlanjur mudah bahagia.
Lalu kalau kamu bilang aku
egois, sesungguhnya aku tak bisa lagi mengelak.
Aku ingin memiliki kamu sendiri. Ingin kamu terus hidup seperti ini di dalam hati. Dengan alur dan imajiku sendiri yang mampu kutebak.
Aku mengaku. Aku memang egois.
Bengis.
Tanpa ada niat untuk
membuatmu tahu. Tak ingin pun aku menyadarkanmu.
Tak sampai hati aku
memberimu sekedar isyarat. Rupanya bagiku cinta ini terlalu keramat.
Aku menunggu semoga suatu
saat cinta ini habis. Namun sepertinya cinta ini seperti mata air yang terus
mengalir. Jadi maafkan aku jika aku masih harus terpaksa egois. Aku terlalu
pengecut untuk menghadapi akhir.
Aku sudah terlanjur bahagia.
Aku sudah terlanjur mudah
puas.
Jika aku nanti bicara,
apakah aku akan berhenti bahagia?
Jangan pinta aku bicara. Tak
bisakah aku memilikimu seperti ini saja?
Buatku ini lebih cukup. Dalam
fikir dan imajiku, kamu telah mampu membuatku hidup.
Maaf. Karena aku telah
diam-diam bahagia karena hadirmu.
Dan karena itu, aku berharap
semoga kamu juga selalu bahagia, walaupun itu tanpa hadirku.
Jika begini, apakah cinta masih terlalu
egois untuk dipendam sendiri?
Selalu keren tulisannya Sarahhh
ReplyDeleteMakasih ayah Aguung :* Kangen!
Delete