“Bim… He cheated on me…” Tissa tiba-tiba
muncul di depan pintu apartemen Bima dan langsung menghambur ke pelukannya
sambil terisak.
Bima
terlonjak kaget. “Fatur?”
“Ya
siapa lagi?” jawab Tissa tak jelas sambil masih terisak di dada Bima.
“How
come?”
“Kamu
bener, Bim.” Gumam Tissa di antara sela tangisnya. “Long distance relationship
sucks. Bullshit.”
Sambil
memeluk Tissa dan menenangkan gadis ini, Bima kembali teringat bagaimana Tissa
yang dari dulu Bima kenal sebagai cewek yang “easy-going” dan “ramah” sama cowok ini mati-matian mempertahankan hubungannya
dengan Fatur, pria yang ditemuinya saat kuliah di Melbourne.
Bagaimana
Tissa rela harus LDR karena Fatur memilih untuk melanjutkan kerjanya di
Melbourne. Bagaimana Tissa bertahan untuk tidak memperdulikan pria-pria yang
bertaburan mendekatinya sepulangnya ia dari Melbourne. Bagaimana Tissa menangis
karena perhatian Fatur mulai memudar lama kelamaan.
Namun
Tissa tetap bertahan. “Gara-gara ketemu Fatur aku bisa settled down, Bim.” kata Tissa waktu itu. “He changes me into someone I thought I will never be. Dan karena
itulah aku mempertahankannya. Cuma dia satu-satunya laki-laki yang bisa merubah
aku.”
Tissa
masih terisak di dadanya. Menangis tersedu-sedu. Sendu.
“Tissa, kamu terlalu lama menangis di dadaku. Masih tak
bisakah kamu mendengar debar jantungku saat ini?” Bima membatin.
Those heartbeats.
Debar
yang hanya muncul ketika Tissa ada di dekatnya.
2017
“Untuk
Tissa dan Bima… 27 tahun, dan jomblo. And
we’re proud of it!” Tissa dan Bima bersulang dengan kaleng coca cola di
tangan mereka.
“Kita
nggak modal amat. Toast aja pake coca cola. Yang keren dikit sih, Bim. Beer kek
gitu. Wine kek gitu.” Tissa berkata sambil terbahak lalu ia menenggak coca
colanya.
“Ini
jam 8 pagi dan kamu mau minum alkohol, Tiss?”
“Ya
nggak papa. Kan bule.” Jawab Tissa sekenanya.
Bima
terkekeh. Menatap Tissa yang sedang menatap lurus ke depan.
Ke arah
laut.
Ke arah
ombak yang bergulung dengan indahnya.
“Eh…
layang-layang, Bim!” Tissa menunjuk segerombolan anak-anak yang tengah berlari
di pantai sambil bermain layang-layang. “Aaa, mau banget main itu!!”
“Aku
inget banget dulu waktu kecil kamu paling ogah diajak main layang-layang.” Ujar
Bima. “Katanya takut item. Anak kecil umur 5 tahun aja udah takut item. Centil
amat kamu dulu.”
“Bangke!”
Tissa memukul pundak Bima spontan.
“Hahaha.
Iya iya tuan putri… Aku beliin dulu ya layang-layangnya.” Bima berdiri dan
beranjak menuju penjual layang-layang yang banyak mangkal di sekitar pantai.
Tissa
menatap punggung Bima yang tengah berlari.
“Kalau ini cinta, mengapa rasanya bisa semenakutkan
ini?” Tissa membatin perih.
“Tissaaa!
Ayoo sinii!” Bima berteriak dari kejauhan. Layang-layang yang ia pegang
perlahan terbang.
Tissa
berlari sambil menyungging senyum lebar. Berlari menuju Bima. Berlari menuju
debar jantung yang selalu malas ia definisikan maknanya.
Tidakkah kamu merasa hubungan kita seperti
layang-layang ini, Bim? Kita terbang mengikuti angin, menikmati angin. Dan kita
selalu membiarkannya seperti itu. Karena kita takut, ketika kita menariknya
terlalu kencang, kita akan putus. Dan ketika kita melonggarkan talinya, maka
kita jatuh.
Masalahnya… sampai kemana angin akan membawa kita,
Bim?
***
2018
From: Tissa
Fatur ngajak balikan Bim... What should I do?
Pesan
singkat dari Tissa seakan membolak-balik dunia yang sedang dipijak Bima. Tanpa
pikir panjang, Bima langsung memutar balik mobilnya dan menuju apartemen Tissa.
Damn Tissa!
Siapkah aku kehilanganmu lagi?
***
“Kamu
mau balikan sama Fatur, Tiss?” Bima langsung mencecar Tissa dengan pertanyaan
sesampainya ia di apartemen Tissa. Ia bahkan tidak duduk terlebih dahulu.
Tissa
terkejut dengan kedatangan Bima yang mendadak. “Eh…”
Bima
terduduk di sofa. Nafasnya tersengal karena berlari dari parkiran mobil.
Tissa terdiam
menatap Bima yang panik. Tidak perlu ditanya terlebih dahulu, sebenarnya Tissa
sudah tahu dan maklum akan respon berlebihan Bima ini.
Toh,
selama ini mereka sebenarnya sudah sama-sama tahu. Hanya saja saat ini mereka
memilih untuk pura-pura tidak tahu.
“Is it okay for you,
Bim?” akhirnya Tissa memecah keheningan.
Bima
memandang Tissa lemah. Ia melonggarkan dasinya. Sungguh ia panik, ini terlalu
tiba-tiba.
“No, Tiss. It is not.” akhirnya Bima menjawab perlahan. Pertahanannya
runtuh.
Tissa
menghela nafas dalam. “Bima, what
happened to us?”
“Aku
nggak tahu, Tiss. Sampai kapan kita mau seperti ini? Menahan perih ketika salah
satu pergi, hanya untuk memastikan apakah nanti ia akan kembali atau tidak?”
“Aku
selalu sayang sama kamu, Bim. Aku tahu kamu itu.”
“Dan
aku juga selalu sayang sama kamu ,Tissa. Semenjak kamu ngambek sama aku waktu
kamu nggak mau main layang-layang sama aku.”
Tissa
terdiam, ia menggigit bibirnya. Akhirnya saat-saat yang paling ia takutkan
datang.
“Can we make it, Tiss? Aku nggak sanggup lihat kamu balikan sama Fatur. Aku
nggak sanggup kehilangan kamu… lagi.”
Tissa
menggenggam tangan Bima erat. “Bima, aku sudah mengalami berkali-kali kisah
cinta yang gagal. Dan menangisi semuanya. Aku payah dalam cinta, Bim. Kamu tahu
itu.” Tissa menjawab, ia menahan isaknya. “I
don’t wanna ruin this with you. This is too scary. Because I love you too much.”
“Aku
juga takut, Tiss. Tapi aku lebih takut lagi kalau harus kehilangan kamu sekali
lagi.”
“Mungkin
pertanyaannya harus kamu ganti, Bim. Siapkah kamu bersama aku setelah ini?
Karena, you know what, kita bersama
setelah ini akan lebih menakutkan daripada kita kehilangan satu sama lain.”
Bima
memandang Tissa. Mereka berpandangan lama. Lama sekali. Seakan-akan mata mereka
bisa berbicara.
“Let’s take the risk, Tiss.” akhirnya Bima menjawab. “Ayo kendalikan layang-layang
kita, berdua.”
“Bagaimana
jika putus? Bagaimana jika ia jatuh?”
“Setelah
yang kita lalui bertahun-tahun ini, aku percaya kita selalu bisa menyambungnya
dengan benang lagi, dan memperbaikinya jika memang harus jatuh.”
“Kok
mendadak kamu bijak? Hahaha.” Tissa terbahak.
“Hahaha.
Yang aku tahu, aku nggak mau kamu pergi lagi, Tiss. There’s no guarantee in every love story. So… let’s take the risk. High
risk, high return, dan bersama kamu, aku tahu kamu adalah resiko yang layak
diperjuangkan.”
Tissa
tersenyum. “I love you.”
“I love you too, Tissa.”
Bagi
Bima dan Tissa, butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari bahwa mereka memang
harus bersama. Butuh waktu bertahun-tahun untuk sadar bahwa sampai kapanpun
mereka menunggu, tetap tidak akan ada yang tahu pasti apakah mereka nantinya
akan berjodoh atau tidak.
Layang-layang
memang bisa putus jika ditarik terlalu kencang. Bisa juga jatuh jika benangnya
terlalu longgar. Namun mereka tidak bisa bergantung selamanya pada angin. Toh,
layang-layang mereka tidak akan terbang indah jika mereka hanya mengikuti
angin. Kadang butuh ditarik, kadang butuh dilepas sejenak.
Jadi…
siapakah layang-layangmu?
No comments:
Post a Comment