Perayaan
wisuda selalu menyenangkan.
Menghadiri
perayaan wisuda teman apalagi.
Saya
sedang dalam kondisi clueless tak berdaya dengan Sang Maha Kuasa Skripsi ketika memutuskan untuk menghadiri wisuda salah satu sahabat dekat saya.
Sahabat
sekaligus orang pertama yang saya datangi ketika saya galau masa depan.
Fyi,
sahabat saya ini mahasiswa kedokteran. Jadi ketika saya sibuk galau memilih dan
menimbang-nimbang saya besok cocok kerja dimana, dia malah ngeluh jalan hidupnya
justru sudah dikodratkan. Ya dokter harus jadi dokter. Nggak bisa milih jadi
yang lain.
Dasar
manusia nggak pernah puas :))
Oke, anyway,
Lulus.
Lulus is somehow scary, right?
That point when we have to move on. Move on dari kehidupan
lama. Move on dari kehidupan yang
sudah terbiasa kita lakukan.
Dan
pertanyaan kodian semacam besok mau jadi apa yang dari dulu membayangi ketika kuliah seakan-akan harus diputuskan saat
itu juga setelah lulus.
Nggak
bisa coba-coba kesana kemari seenak jidat lagi kayak sekarang.
Kalau
salah harus ditanggung sendiri. Nggak bisa ditinggalin gitu aja.
Nggak
enak.
Ditambah
dengan proses skripsi yang super menjemukan. Seakan-akan revisi ini sungguh
tiada berujung.
Karena
saya sedang berada di tahap eneg banget sama skripsi saya sendiri (sebulan lebih
tidak tersentuh, tepuk tangan!) maka yah namanya orang lagi songong, pikiran
pun kemana-mana, dari yang mulai mempertanyakan filsafat skripsi... Mengapa
skripsi itu ada? Siapakah pencipta skripsi? Apa pentingnya bagi kemaslahatan
umat manusia? Bisakah skripsi memperbaiki kualitas peradaban dunia?
Kemudian
otak saya meledak.
:))
Tapi,
wisuda teman-teman saya hari ini membuat saya bahagia.
Happiness is all around there.
Wajah
orang tua yang bahagia. Wajah teman-teman yang heboh super excited. Wajah pacar (buat yang bawa pacar ya) yang bangga.
That happiness is real.
Jadi
esensi wisuda? Mungkin berbagi kebahagiaan. Sesimpel itu kok. Nggak usah
dipikir macem-macem.
Mungkin
memang benar—seperti yang salah seorang teman saya katakan tadi—hanya 12 jam
setelah itu yang diwisuda sendiri akan mulai mempertanyakan lagi mau dibawa
kemana hidup ini. Atau kalau yang sudah dapat kerja, “Apakah pilihan yang aku
ambil ini benar? Gimana kalo salah?”
Seperti
euforia habis resepsi pernikahan. And
then, here comes the real life. After the honeymoon.
Dan
seperti layaknya wejangan pernikahan modern, bukan perkara cepet-cepetan, tapi siap atau nggak siap.
Dan
seperti layaknya wejangan pernikahan modern lainnya, tapi kalo kamu nunggu sampai siap, sampai kapanpun kamu nggak bakalan
siap.
Jadi,
mau lulus kayak gimana? Nampaknya itu hanya diri kita masing-masing yang
sanggup mengerti :’)
But maybe, the point is.
We have to finish what we have started.
Entah
bagaimana caranya.
Jadi
ketimbang repot-repot memikirkan filsafat skripsi, mungkin ada baiknya saya
mulai menyentuh skripsi saya lagi.
Lalu
move on.
No matter how scary it’s going to be.
Mungkin setelah lulus nanti akan ada pilihan yang salah. Mungkin akan ada mengeluh nggak jelas setelah itu. Tapi, mungkin juga itu memang proses yang harus kita lalui.
“Revisi
itu cuma kita sendiri yang bisa mengakhirinya, Sar. Bukan dosen.” – Dinitya,
2013, mati-matian menyemangati saya yang lagi ngelokro.
Semangat Sarah!
^^
Selamat
sarjana Nicodemus Triatmojo, S.Ked! Sabar-sabar ya dengerin aku pas curhat! :’)
No comments:
Post a Comment