Tuesday, May 21, 2013

Tentang Toga


Perayaan wisuda selalu menyenangkan.
Menghadiri perayaan wisuda teman apalagi.

Saya sedang dalam kondisi clueless tak berdaya dengan Sang Maha Kuasa Skripsi ketika memutuskan untuk menghadiri wisuda salah satu sahabat dekat saya.
Sahabat sekaligus orang pertama yang saya datangi ketika saya galau masa depan.
Fyi, sahabat saya ini mahasiswa kedokteran. Jadi ketika saya sibuk galau memilih dan menimbang-nimbang saya besok cocok kerja dimana, dia malah ngeluh jalan hidupnya justru sudah dikodratkan. Ya dokter harus jadi dokter. Nggak bisa milih jadi yang lain.
Dasar manusia nggak pernah puas :))

Oke, anyway,
Lulus. Lulus is somehow scary, right?
That point when we have to move on. Move on dari kehidupan lama. Move on dari kehidupan yang sudah terbiasa kita lakukan.
Dan pertanyaan kodian semacam besok mau jadi apa yang dari dulu membayangi ketika kuliah seakan-akan harus diputuskan saat itu juga setelah lulus.
Nggak bisa coba-coba kesana kemari seenak jidat lagi kayak sekarang.
Kalau salah harus ditanggung sendiri. Nggak bisa ditinggalin gitu aja.

Nggak enak.
Ditambah dengan proses skripsi yang super menjemukan. Seakan-akan revisi ini sungguh tiada berujung.
Karena saya sedang berada di tahap eneg banget sama skripsi saya sendiri (sebulan lebih tidak tersentuh, tepuk tangan!) maka yah namanya orang lagi songong, pikiran pun kemana-mana, dari yang mulai mempertanyakan filsafat skripsi... Mengapa skripsi itu ada? Siapakah pencipta skripsi? Apa pentingnya bagi kemaslahatan umat manusia? Bisakah skripsi memperbaiki kualitas peradaban dunia?
Kemudian otak saya meledak.
:))

Tapi, wisuda teman-teman saya hari ini membuat saya bahagia.
Happiness is all around there.
Wajah orang tua yang bahagia. Wajah teman-teman yang heboh super excited. Wajah pacar (buat yang bawa pacar ya) yang bangga.
That happiness is real.
Jadi esensi wisuda? Mungkin berbagi kebahagiaan. Sesimpel itu kok. Nggak usah dipikir macem-macem.

Mungkin memang benar—seperti yang salah seorang teman saya katakan tadi—hanya 12 jam setelah itu yang diwisuda sendiri akan mulai mempertanyakan lagi mau dibawa kemana hidup ini. Atau kalau yang sudah dapat kerja, “Apakah pilihan yang aku ambil ini benar? Gimana kalo salah?”

Seperti euforia habis resepsi pernikahan. And then, here comes the real life. After the honeymoon.
Dan seperti layaknya wejangan pernikahan modern, bukan perkara cepet-cepetan, tapi siap atau nggak siap.
Dan seperti layaknya wejangan pernikahan modern lainnya, tapi kalo kamu nunggu sampai siap, sampai kapanpun kamu nggak bakalan siap.
Jadi, mau lulus kayak gimana? Nampaknya itu hanya diri kita masing-masing yang sanggup mengerti :’)

But maybe, the point is.
We have to finish what we have started.
Entah bagaimana caranya.

Jadi ketimbang repot-repot memikirkan filsafat skripsi, mungkin ada baiknya saya mulai menyentuh skripsi saya lagi.

Lalu move on.
No matter how scary it’s going to be.

Mungkin setelah lulus nanti akan ada pilihan yang salah. Mungkin akan ada mengeluh nggak jelas setelah itu. Tapi, mungkin juga itu memang proses yang harus kita lalui. 


“Revisi itu cuma kita sendiri yang bisa mengakhirinya, Sar. Bukan dosen.” – Dinitya, 2013, mati-matian menyemangati saya yang lagi ngelokro.

Semangat Sarah! ^^

Selamat sarjana Nicodemus Triatmojo, S.Ked! Sabar-sabar ya dengerin aku pas curhat! :’)




No comments:

Post a Comment