Wisnu
Jadi laki-laki itu harus
tegas. Berkali-berkali ibu selalu mengatakan itu kepada saya. Nggak boleh
plin-plan. Iya ya iya, enggak ya enggak. Jangan di tengah-tengah.
Umur saya sudah 29 tahun,
jadi saya sudah mengerti benar definisi dari kalimat itu. Dan betapa dalamnya
makna yang ada dari kalimat sesingkat itu. Pun ibu saya memang cerdas sekali,
kalimat yang kata ibu harus menjadi pedoman saya selama hidup itu memang tokcer
membuat hidup saya menjadi lebih mulus. Baik pendidikan, karir, percintaan.
Eitss…. Tunggu sebentar.
Percintaan?
Percintaan saya tidak
mulus-mulus amat.
Iya sih, saya memang tengah
menjalin asmara dengan Nadia, fashion designer, cantik, menarik, dengan senyum
lesung pipitnya yang mampu menarik hati semua pria yang ada di dunia ini dan
idealismenya untuk membuat baju-baju yang chic dan tetap seksi tanpa perlu
menunjukkan bagian tubuh.
Hubungan kita sudah berjalan
kira-kira dua tahun.
I’m
about to purpose her,
dan rencana saya untuk survey pesta pernikahan dengan nekat sendirian datang ke
pesta pernikahan—biasanya kemana-mana saya selalu mengajak Nadia, tapi
berhubung saya sedang survey acara pesta pernikahan makanya kali itu saya
sendirian—tiba-tiba membuat semuanya malah jadi kacau balau.
Menurut saya sih pestanya
terlalu meriah, jadi saya mencoret model pernikahan seperti itu dari daftar
saya dan memilih untuk keluar sejenak dan merokok.
Dan kamu harus tahu,
keputusan untuk keluar sejenak dan merokok itu merupakan keputusan yang paling
saya sesali sampai saat ini.
Karena entah bagaimana Tuhan
merencanakannya, semesta menakdirkan saya untuk bertemu dengan Dwina.
Perempuan yang wajahnya
sampai saat ini tidak pernah bisa lepas dari kepala saya.
Dammit.
Wajah cewek itu nggak pernah
bisa lepas dari kepala saya. Jadi kamu tahu, ketika akhirnya saya memutuskan
untuk bertemu dengannya lagi, saya berdoa kepada Tuhan, berdoa dengan sungguh-sungguh,
semoga semua ini cuma gara-gara rasa penasaran keparat. Dan semoga saya ilfil
karena dia ternyata punya bulu ketek nggak dicukur, atau gigi berjigong, atau
bahwa ternyata dia adalah wanita lacur yang kerjanya cuma ngabisin duit orang
tua.
Tapi enggak, doa saya enggak
dikabulkan Tuhan. Justru sebaliknya, gigi Dwina malah menghasilkan senyum manis
yang unforgettable, atau fakta bahwa
dia gadis biasa yang super menyenangkan.
Tidak seperti Nadia, Dwina is so usual. Dia seperti gadis kantoran
kebanyakan yang suka mengomel tentang bosnya, dan obsesinya untuk menjadi kurus
tapi nggak pernah bisa mengurangi nafsu makannya.
Saat-saat dimana saya merasa
harus melamar Nadia malah berbalik menjadi saat-saat dimana saya mulai
meragukan cinta saya kepada Nadia.
Ini akan mudah ketika saya
masih berumur 20 tahun, tapi, heey, saya sudah 29 tahun. Mau gimana juga saya
nggak bisa seenak jidat memutuskan.
For
God’s sake. Nadia adalah
gadis tanpa cela idaman setiap laki-laki. Saya enggak punya alasan untuk enggak
mencintainya.
Tapi, Dwina… Dwina juga nggak
pernah bisa lepas dari kepala saya!
Saya sangat takut menghubungi
Dwina lagi. Saya takut perasaan saya malah semakin menjadi dan saya semakin
kebingungan, padahal, seperti kata Ibu, jadi laki-laki itu harus tegas.
3 hari, saya ketakutan dengan
perasaan saya.
3 hari, saya lewati tanpa
menghubungi Dwina, maupun Nadia.
Ponsel saya berkedip. Nadia.
From:
Nadia
Subject:
Hon, sibuk banget ya 3 hari ini? I miss you :(
Saya menjambak rambut saya
sendiri.
I
miss you too… Dwina.
NAH TUH KAN??? Bahkan dalam
hati saja saya bilang saya kangen Dwina.
Saya selingkuh ya? Kalian
jangan ngeliatin saya kayak gitu dong! Nggak tahu apa saya lagi ketakutan gini!
***
Nadia
Living
with Wisnu will be awesome, we're gonna buy a little house, having two kids,
boy and girl, and we're gonna spend our time playing with them both.
That's
heaven.
Setidaknya hal itulah yang
awalnya saya pikirkan. Sederhana, indah, menakjubkan. Namun, siapa sangka
akhirnya ternyata saya berakhir menyedihkan di kamar hotel ini sendirian?
Wisnu
Calling.....
Reject.
Wisnu
Calling....
Reject.
You
received 1 new message.
From:
Wisnu
Hon,
kamu dimana? Jangan bikin aku khawatir gini, kabarin dong hon...
Deleting
message.
From:
Wisnu
NADIA,
BALES SMS AKU!!
Saya mematikan ponsel,
segera, dan memutuskan untuk tidur, dengan mata yang sembab dan sudah pegal
gara-gara kebanyakan menangis. Memeluk guling dengan hati teriris.
Hal terakhir yang saya
inginkan adalah memimpikan Wisnu malam ini, iya, Wisnu, the guy (I thought) will be the center of my life. The only guy I want
to be with at the rest of my life.
Please,
biarkan saya tidur
nyenyak malam ini, jangan datang ke mimpi saya. Please.
Wisnu
From:
Dwina
Subject:
Just asking, free for tonight? Me want Coto Makassar! :)
Jantung saya serasa mau
keluar dari dada. Setelah seminggu perempuan yang bikin saya mabuk kepayang ini
nggak terdengar kabarnya, tiba-tiba ia muncul, dan guess what? Coto Makassar? Kemana kata-kata basa basi nan basi
semacam ‘apa kabar?’ ‘lagi ngapain?’
Coto Makassar. How it can be real? Karena Coto Makassar
adalah makanan favorit saya. Semua warung Coto Makassar di kota ini sudah
pernah saya jabanin, dan saya sampai menciptakan rating ala saya sendiri untuk
Coto Makassar.
Nadia sedang duduk di depan
saya. Cantik, anggun, dan berkharisma seperti biasanya sambil tangannya sibuk
mengusap kertas sketch dengan pensil.
Saya nggak pernah begitu paham apa yang sedang ia kerjakan, setahu saya, ada
tulisan Night Gown disana. Eh… itu artinya gaun malam kan? Entahlah, di kepala
saya sih semua baju wanita itu sama saja. Yang bisa membedakan ya cuma mereka
sedang pakai baju atau tidak, hehe.
Been
busy for a week, for her next runway,
Nadia masih menyempatkan untuk bertemu dengan saya. Kalau tidak atas inisiatif Nadia,
mungkin kami berdua adalah terrible
couple, sibuk dengan kesibukan masing-masing, bekerja sampai rambut rontok,
dengan alasan ini-kan-buat-masa-depan dan malah lupa dengan esensi relationship yang sesungguhnya.
Mendalami perasaan satu sama lain.
Tapi yang saya tahu, Nadia
memang ada di depan saya. Tapi tidak dengan pikirannya. Menghilang entah
kemana. Tenggelam dengan dunianya sendiri: desain, pagelaran, butik, dan lain
sebagainya.
What
are we supposed to do, when something you called ‘quality time’ has no longer
quality?
To:
Dwina
Subject:
Aku tahu satu warung Coto Makassar terenak. It’s like heaven in your mouth. Aku
jemput habis maghrib?
From:
Dwina
Subject:
Can’t wait :))
Saya menatap Nadia yang
berada di depan saya sambil menyeruput jus lemon. “Hon, aku nanti malem mau
pergi makan Coto sama temen aku, cewek. Is
it okay kan?”
Nadia membalas tatapan saya
dengan senyum lesung pipitnya yang khas. “Kenapa enggak? Sejak kapan aku
melarang-larang kamu?”
Saya pernah membaca artikel
tentang batasan selingkuh yang berbeda antara wanita dan pria di sebuah majalah
wanita milik teman kantor saya. Waktu itu saya ngetawain habis-habisan artikel
itu dan teman saya langsung ngomel betapa pria itu nggak sensitif banget
perkara beginian.
Intinya, kalau melihat
kriteria dari majalah itu, maka menurut pria, apa yang saya lakukan ini tidak
termasuk kategori selingkuh. Saya tidak menggoda dia, saya tidak melakukan
hal-hal menjurus, saya bahkan meminta izin pada pacar saya sebelumnya.
Sayangnya, si penulis artikel
mungkin tidak tahu bahwa ada faktor ‘kedalaman-perasaan’ dalam artikelnya. Yang
berarti walaupun kamu nggak ngapa-ngapain-pun kalo kamu punya perasaan yang
dalam kepada orang lain, maka kamu harus mengakui bahwa kamu berselingkuh.
Dan dengan sepenuh hati, I have to admit that I do cheating just
right now.
Yes,
I’m a jerk. A dammit cheater guy.
No comments:
Post a Comment