Debur ombak. Suara burung camar. Kulit yang lembab
terkena angin pantai.
Dan kamu.
“Gue nggak
percaya cinta, Tris.”
Aku mengerling, mencoba membaca kalimatmu barusan. Angin
berhembus lembut, menggoda kami yang tengah berbaring berdua menatap langit
biru. Dengan awan yang bergoyang perlahan seakan mencoba memayungi kami dari
terik matahari.
Aku selalu suka caramu berbicara. Caramu berbicara
tentang dirimu sendiri. Cara memandang kehidupan. Caramu memandang cinta. Caramu
tertawa. Caramu berlari.
“Kata orang, kita hidup buat cinta. Kalau begitu,
kenapa gara-gara cinta gue malah sakit ati, ya, Tris?” ujarmu sambil mengangkat
lenganmu ke dahi, berlindung dari terik matahari.
“Mungkin itu bukan cinta.” Sahutku pendek.
Jujur, aku tidak pernah memikirkan hidupku seperti
kamu. Yang aku tahu, aku bahagia ketika melihat kamu. Ketika bersama kamu. Dan
bagiku, itu sudah bisa disebut cinta. Itu cukup. Kalo bagimu ini bukan cinta,
ya terserah, bagiku sih iya.
“Kalo lo bilang
cinta itu tidak harus memiliki, Tris, bullshit.
Nonsense.” sahutmu lagi.
Aku menghadapkan tubuhku ke hadapanmu. Aku menatap
wajahmu tajam. “Iya deh, iya. Yang abis diputusin, santai dong, bos. Cewek
masih banyak.”
“Hahaha!” kamu bangkit, duduk, meraih tasmu
meraba-raba sesuatu. “Iya cewek lain masih banyak.” Kamu mengambil kamera
kesayanganmu dan mengalungkannya di leher. Kamu lalu mengarahkan lensanya ke
arahku. “Eh jangan gerak ya, stop, lo
kayak gitu aja, pose lo lagi keren.”
Aku terbahak. “Tau nggak, Nick. Kayaknya lo harus
berhenti memandang cinta dengan cara yang sama dengan cara lo memandang objek
foto. It’s a total different thing,
tauk.”
“Hah? Gue nggak paham.”
“See, buat lo bisa mengambil gambar yang bagus, there’s a lot to think about. Lensa, light, filters, komposisi, timing, and so on and so on. Lo melihat
dari balik lensa lo. You’re not in the
world, you’re in your head.”
“Yup. Dan itulah yang bikin gue suka foto. It’s like a temporary escapism buat gue,
Tris. Ketika dunia yang lo pijak sekarang terasa terlalu penat.”
“Tapi cinta itu bukan kayak hubungan lo dengan kamera
lo, Nick.” Ujarku perlahan. “Kadang, ketika gue ngeliat lo sibuk dengan kamera
lo, satu yang gue tahu pasti, you’re looking,
but you’re not really seeing.”
“Maksud lo?”
“Ya itu. Gue capek ngedengerin lo ngeluh sama
pacar-pacar lo yang gagal, dan akhirnya bilang kalo cinta itu cuma bikin capek,
lo ngeliat itu semua dari lensa lo, you don’t
enjoy it as a whole.” aku masih meracau sambil berbaring menatap langit.
“Lo menunggu kesempatan untuk menekan tombol capture dan menangkap gambar yang lo
pinginin. Lo nunggu dan menunggu dengan seksama. Saking serius dan fokusnya lo
nunggu, sampai akhirnya when you finally
did it, lo nggak menikmati proses penantian itu. Because, you’re already
looking for the next opportunity. And you know what, itu yang melelahkan,
Nick.”
“Lo tumben ngomongnya agak bener.”
“Bangke.”
“Tapi, Tris… Apa salahnya? Gue cuma mau mendapatkan
gambar yang bagus. Foto yang indah. Apa teknik gue yang kurang pinter dalam menangkap gambar?
Atau gue yang kurang peka menangkap lokasi-lokasi bagus?”
Aku memandangnya gemas. “Guess what? None of it is real. It’s all in your head. What you’re not
enjoying is not actually love.” Sahutku. “Let me show you something.” Aku merebut kamera dari tangannya dan
berdiri.
“Liat gue.” Aku mengarahkan kamera ke arah kapal
dengan beberapa nelayan yang tengah membereskan hasil tangkapannya. Aku
menjepret beberapa kali sebelum lalu menunjukan hasilnya ke Nick. “Apa yang barusan
gue foto?”
“Ngg… Perahu.” Ujarnya pendek. “Anyway, blur, Tris. Lo emang bisanya difoto doang ya, nggak bisa
nge-foto. Hahaha!” Nick nyengir kepadaku sambil menahan tawa.
“Sempet-sempetnya ngeledek!” aku berdecak kesal.
“Iya, ini gambar perahu. Terus?”
“Itu kan yang lo liat, Nick. While in fact, sebenarnya ada kisah lebih di balik sekedar perahu
itu Nick. Ada nelayan, ada jaring, ada hasil tangkapan selama di laut, ada
langit, ada awan. Cuma, lo nggak bisa ngeliat itu semua, karena lo melihat dari
balik lensa kamera lo. Lo fokus dengan yang lo pengen capture, ya kapal itu.”
“Oke, get it. Terus,
apa hubungannya ini semua dengan kisah percintaan gue?”
“Try
to see with your eyes, Nick. Nggak usah pake lensa, pengaturan cahaya, filter, shutter, timing, atau tetek
bengek fotografi lain yang sering lo ceritain ke gue deh. Maybe it’s not perfect, but at least it’s real.”
Kamu terdiam sejenak. Memainkan kamera di tanganmu.
Lalu kamu mendongak, menatap lurus ke laut.
“Yeah, mungkin selama ini gue nggak sadar aja ya.
Fokus mencari objek yang sempurna sesuai ekspektasi gue. Dan akhirnya ekspektasi
itu sendiri yang membunuh gue.”
“Nah, lo akhirnya paham.”
“Hahahaha.” Kamu terbahak lagi. “Thanks ya Tris, lo
masih betah ngedengerin curhatan gue. Curhatan ke sekian juta kali kayanya.”
“Mungkin gue satu-satunya perempuan yang mengerti
kelakuan playboy kondang macam lo.”
“Gue nggak playboy
kali. Gue hanya sedang mencari yang terbaik… hahaha!”
Aku menjulurkan lidahku. “Udah ah, gue mau main air,
fotoin yang bagus ya! Hahaha. Upah curhat.”
Aku beranjak setengah berlari menuju laut. Menghela
nafas panjang. Meninggalkan Nick di belakang.
Can
you see me through your eyes, Nick? Not through your lens? aku membatin
dalam hati, dari kejauhan memandangmu yang sedang sibuk dengan kameramu.
“Bentar ya Tris! Ngepasin settingan dulu!” kamu berteriak dari kejauhan.
Kamu tadi bilang kalo cinta yang tidak harus memiliki
itu nonsense. Kamu mungkin benar, jadi, selama ini, aku mungkin memang memiliki
sesuatu yang nonsense. Tapi, aku harus berbuat apa kalo sesuatu yang nonsense
itu nyata? Bagaimana kalau omong kosong itu nyata ada?
Langit cerah. Awan putih berarak. Burung camar
berkicau. Deru ombak.
Jantung yang berdegup kencang. Hati yang menyimpan
rasa.
Dan kamu.
Please berhenti melihat gue dari
balik lensa lo, Nick.
Maybe
you can see that… what I have for you… is real.
No comments:
Post a Comment