1999
“Ayo
main layang-layang Tiss!” Bima berteriak di depan rumah Tissa.
Tissa
menengok dari balik jendela kamarnya. “Ngga mauu. Nanti item!”
“Kamu
kan udah item, ngapain takut item! Hahaha!”
“Bima
jelek nyebelin!”
“Makanya
yuk ah!”
Butuh
waktu 20 menit bagi Bima meyakinkan Tissa untuk ikut bermain layang-layang
bersamanya. Toh akhirnya Tissa menurut saja mengikuti Bima bermain
layang-layang di lapangan.
Berlari.
Di tengah terik matahari.
Di
antara semak dan rerumputan.
Tertawa.
2004
“Kamu sih Tiss. Udah
tahu juga si Adrian itu playboy kondang SMP kita. Masih aja dipacarin.”
“Kok
kamu malah ngomelin aku siiih?” Tissa berteriak di sela isak tangisnya.
“Kamu
dari dulu itu sama aja, susah percaya sama aku. Makanya, sekali-sekali nurut
kalo dibilangin.”
Alih-alih
mereda, tangisan Tissa malah semakin keras. Bima mulai panik.
Butuh
waktu 20 menit bagi Bima untuk menghibur Tissa sampai akhirnya Tissa tersenyum
dan bisa menghentikan tangisnya.
“Bima,
pokoknya kamu harus janji sama aku, kamu nggak bakalan kemana-mana.”
Bima
tersenyum sambil menyodorkan janji kelingkingnya. “Iya, janji… Nggak bakalan
kemana-mana.”
2008
“Bima
sayang banget ya sama Viera?” tanya Tissa pada suatu senja di sebuah kedai es
krim mungil langganan mereka.
“Kalo
nggak sayang, nggak mungkin bertahan sampe dua tahun, Tiss… Hahaha! Kok
tiba-tiba nanya begituan?”
Tissa
menyuap es krim ke mulutnya. “Kok bisa sih, Bim, tahan sampe dua tahun? Aku aja
tiga bulan udah nyerah deh.”
“Berarti
kamu belum pernah ngerasain yang namanya sayang, Tiss.” Ujar Bima diplomatis.
Tissa
memandang Bima dalam-dalam penuh tanya. Selama ini Tissa yang cantik dan supel
featuring Bima si pendiam selalu menjadi legenda di kalangan teman-temannya.
Selain karena mereka sudah bersahabat dari balita, kenyataan bahwa mereka bisa benar-benar
pure bersahabat selalu menjadi tanya teman-teman mereka.
“Kata
Ninda, aku nggak bisa dapet pacar serius gara-gara ada kamu, lho, Bim.”
Bima
tertawa terbahak. “Sukurin. Salah sendiri kenal aku.”
“Iihh… Mentang-mentang
udah punya Viera!” Tissa mendengus kesal.
“Tiss.”
Bima berkata, menggantung kalimatnya sejenak. “Aku tahu, kamu akan menemukan
cinta versi kamu sendiri. Kamu cuma harus bersabar. Give the time, some time.”
Tissa
memandang Bima tak mengerti.
Yang ia
tahu, ia hanya merasa aneh.
Seperti
ada kupu-kupu terbang di perutnya setiap kali ia melihat Bima.
Kupu-kupu
yang terbang perlahan dari perut, menuju ke jantungnya. Menimbulkan sensasi
aneh yang tak bisa Tissa jelaskan mengapa.
Butterflies, keep flying around…
2010
“Gimana
kabar Fatur, Tiss?” Bima berkata. Saat ini mereka sedang skype-an. Tissa kuliah
di Melbourne, dan Bima di Jakarta.
“Fatur
baik. Hahaha, emang bener kamu Bim. Ternyata aku harus ke luar negeri dulu baru
nemuin cowok yang bisa serius sama aku. Hihihi.”
Bima
memerhatikan ekspresi muka Tissa di layar laptopnya. Binar mata yang berkilau.
Binar mata yang sama ketika Bima mengajaknya bermain layang-layang dahulu.
Seperti
itulah mata Tissa ketika ia sedang sungguh-sungguh mengagumi sesuatu.
Dan
Bima sangat mengerti itu.
“Eh…
Viera gimana? Lancar paak?”
“She’s pretty. As always.” Bima tersenyum.
Tissa
ikut tersenyum memandang Bima. Begitupun Bima.
Bima
merasakan sesuatu yang ia tahu itu aneh. Kupu-kupu di perut, debar jantung tak
menentu setiap koneksi skype mereka tersambung dan wajah ayu Tissa muncul di
layar laptopnya.
Sudah
dua tahun tidak bertemu. Bima sungguh-sungguh rindu.
Rindu
gelak tawa Tissa setiap Bima mengeluarkan lelucon jayus bodoh, yang anehnya
hanya Tissa yang bisa tertawa karenanya.
Rindu
gaya ngomel Tissa ketika Bima jahil padanya.
Bima
sungguh rindu.
To be continued….
No comments:
Post a Comment