read the previous story here
To: Zakky
Zakky. Aku ada di Jakarta. Can we just meet?
Aku menghela nafas
dalam. Menekan tombol send dengan tangan sedikit gemetar.
Setiap menit menantikan
balasanmu seperti neraka dunia untukku. Aku tidak tahu kamu akan menjawab,
bahkan berekspektasipun tak berani.
Tak berapa lama,
ponselku kembali berbunyi.
From: Zakky
Hah? Kamu di Jakarta? Ada apa, May?
To: Zakky
Nggak papa, aku mau ngomong sama kamu. Bisakah ketemu?
From: Zakky
Oke. Nanti jam 7, di tempat biasanya ya.
Aku membatin. Tempat
biasanya. Tidakkah kamu tahu betapa tempat itu sangat bersejarah buat aku? Buat
kita.
Tempat biasanya.
Aku ingin kita bisa
bersikap seperti biasanya juga, Zak. Kenapa kamu sudah tidak ingin lagi?
To: Zakky
Oke. Makasih ya masih mau ketemu aku :)
***
“Kamu
ngapain, May jauh-jauh ke Jakarta?”
Kamu
duduk di depanku. Menyesap kopi susu kental. Menatapku penuh tanya. Seakan
kedatanganku kesini benar-benar tanpa alasan.
Seakan kamu
bukanlah siapa-siapa lagi yang tidak perlu kutemui lagi.
Bagaimana
bisa kamu menatapku dengan pandangan seperti itu, Zakky? You will always be somebody to me.
“Aku
masih sayang kamu, Zak.” Ucapku lamat-lamat. Jantungku mencelos.
Kamu
membuang nafasmu.
“May…
Aku sudah bilang. Berhenti sayang sama aku. Ini semua nggak adil buat kamu.”
“Kenapa,
Zak?”
“Aku
tidak bisa menjelaskan, May.” Zakky memainkan sendok di cangkir kopinya. “Kamu
bilang mencintai tidak membutuhkan alasan, lalu mengapa tidak mencintai harus
membutuhkan alasan?”
Aku
bisa merasakan pipiku basah. Sebelum akhirnya basah sekali.
“Kamu
nangis. I’m gonna leave you here.”
Aku
mendongak menatap Zakky yang sudah berdiri hendak meninggalkanku. “Jangan
pergi, Zak…” ucapku terbata. “Tidakkah kamu ingin memperjuangkan ini, sekali
lagi, buat aku, buat kamu, buat kita?”
“Kalau
kamu mau yang terbaik buat aku, kamu harus merelakan aku pergi, May.”
Aku tidak
bisa berkata apa-apa lagi selain menangis dan tersedu. Menatap punggung Zakky
yang perlahan menjauh.
Aku
masih berharap kamu akan menoleh ke belakang.
Namun
ternyata kamu tidak melakukannya.
Jadi,
di sinilah aku, terduduk bodoh di sudut sebuah kafe mungil di Jakarta Selatan. Terisak
perlahan.
Entah
antara kalut berat atau sedikit pusing, aku teringat dengan selembar kartu nama
yang diberikan stranger asing di pesawat kemarin.
Aku
mengambil kartu nama tersebut dari dompetku, membaca sekilas nomer telepon yang
tertera di sana, mengambil ponselku dan menekan nomornya.
Nada sambung
terdengar, namun nampaknya shock berat karena ditinggalkan begitu saja oleh
Zakky membuatku sampai tidak kepikiran untuk berpikir bahwa ini sebenarnya
cukup memalukan.
“Halo?”
suara di ujung sana menyapa.
“Halo?
Eh… ini dengan Davin?”
“Ya?
Ini siapa?”
“Ini
Maya.”
Terdengar
jeda yang cukup lama. “Ya?”
“Bisa
jemput aku di Liberica Coffee Kemang nggak?”
“Hah?”
“Aku
sendirian. Nggak bisa pulang.”
“Hah?”
Yang
aku tahu, setelah itu aku langsung menutup teleponku. Dan dalam sepersekian
detik aku menyadari bahwa yang barusan aku lakukan itu benar-benar nggak tahu
malu!
Beberapa
menit aku berusaha berpikir keras bagaimana aku harus menjelaskan kejadian
barusan ke si stranger bernama Davin itu.
Aku
sudah hendak mengirim SMS permintaan maaf ketika aku sadar bahwa nggak mungkin
banget Davin akan datang ke kafe ini, menjemput perempuan asing yang dengan
seenak dengkul dan jidatnya sendiri minta main jemput seenaknya.
Sudahlah,
paling-paling dia jadi ilfil sama aku. Ngapain juga aku mempermalukan diri dua
kali dengan minta maaf ke dia. Sudahlah, stranger
ini.
Aku
memanggil waiter dan memesan segelas wine. Damn
you, Liberica Coffee karena menyediakan alkohol di kafe ini.
Sudah, sudah cukup kebodohan yang kamu lakukan hari
ini May. Sudah cukup. Lupakan.
Tak
berapa lama, pelayan datang membawa pesanan wine-ku. Aku terpekur memandang
kosong ke arah gelasku. Memandang kenanganku dengan Zakky.
Selama ini, kamu adalah rumahku. Lalu kalau kamu memutuskan
pergi, kemana lagi aku harus pulang?
No comments:
Post a Comment