Hari ini hari ulang tahunku. Aku
bangun dari tidur panjangku dan berharap sebuah kejutan pagi hari akan
menyambutku.
Tapi nyatanya aku terbangun, dan menyadari
rumahku sesepi hutan Amazon. Mama dan Papa entah berada dimana, dan aku hanya mendapati
secarik memo mungil tertempel di lemari es.
Adek kumat. Mama Papa di rumah sakit. Bikin sarapan sendiri, pulang
sekolah langsung ke RS ya tengok adik.
Aku mendengus pelan. Aku harus
memasak sarapan sendiri di ulang tahunku? Yang ke-17?
Great.
Aku menuju dapur enggan. Adikku,
Rara, memang punya leukimia yang lumayan kronis. Kadang-kadang dia suka pingsan
mendadak dan itu mungkin ya yang membuat perhatian mama dan papaku jadi lebih
untuk adikku.
Tapi, tolong deh, ini kan hari ulang
tahunku yang ke-17??
Setidaknya sisipkan kalimat, happy birthday gitu kek, di memo.
Aku memasak mi instan asal-asalan.
Mengunyah sarapanku dengan sebal dan mencoba melupakan kejadian pagi yang
membuatku badmood berat. Aku
mengambil ponselku, tapi ternyata itu keputusan yang salah karena moodku malah
jadi semakin berantakan.
Hanya ada dua ucapan ulang tahun
yang kuterima:
From: gilangku
<3 o:p="">3>
Happy Birthday
Mona sayaaaang… wish you all the best. Nanti pulang sekolah ketemuan bisa? We need to
talk...
Aku tersenyum dan membalas,
To: gilangku
<3 i=""> 3>
Makasih sayaaang, tentu bisa doong. I hv a very bad
birthday nih...
Lalu aku melihat inbox satunya,
From: Tika
[08928653839]
HAPPY
BIRTHDAAAAY! MAKAN-MAKAAAN! :D
Aku membalasnya malas-malasan. Tika
itu sahabatku, tapi akhir-akhir ini aku sedang sebal dengan dia. Entahlah, dia
selaluuu saja mengkritisi hubunganku dengan Gilang. Yang so far, baik-baik saja. Ini sudah menuju bulan keenam, dan kita
bahkan belum pernah berantem untuk sesuatu yang berarti.
Apa-apaan sih Tika, aku tahu Gilang
ganteng banget, tapi kalo sirik nggak gini caranya dong ya? Iya kan?
***
Ini masih hari ulang tahunku.
Dan aku masih saja mengalami badmood parah. Iya sih, teman-temanku
memberiku ucapan ulang tahun, tapi, that’s
it? Mana kado dan cake lezat berhiaskan lilin berjumlah tujuh belas?
Beberapa orang bilang, ulang tahun
ke-17 adalah ulang tahun paling indah. Kalau di luar negeri, itu waktunya kamu
dapat SIM dan mobil yang dibungkus pita di halaman rumahmu. Aku kayaknya emang
kebanyakan nonton TV deh, dan bukannya aku berharap dapat mobil yang dibungkus
pita, itu sih terlalu ngimpi, tapi seenggaknya kado deh. Isinya apa aja
terserah.
Hello? Masak nggak ada yang sadar??
Aku jadi tidak sabar bertemu Gilang.
Karena kamu tahu enggak, selain teman-temanku yang sangat teramat sangat tidak
peka itu, di tanganku sekarang terdapat selembar kertas ulangan Matematika
bertuliskan angka 45 besar berwarna merah di depannya.
Iya! Jadi setelah dimarahi
habis-habisan sama Bu Asri gara-gara nilai Matematika yang parah ini, aku juga
jadi harus ikut ulangan perbaikan, BESOK. Sempurna! Jadi nanti malam aku harus belajar untuk
remedial.
This is really the”
best” birthday ever.
***
Aku setengah berlari menemui Gilang
di ujung lorong sekolah. Aku kangen sekali dengannya. Dan aku butuh dia, aku
mau menumpahkan kekesalanku. Rasanya aku sampai ingin muntah saking kesalnya
aku dengan hari ini.
”Gilaaaaaang... Aku bete banget,
masak di hari aku ulang ta....”
Tapi Gilang buru-buru menyetop
kata-kataku. ”Aku mau ngomong, Mon...”
Firasatku langsung enggak enak.
”Ngomong tentang apa Lang?”
Dia terdiam sejenak. Wajahnya
tertekan sekali. ”Ini tentang kita...” Ia bergumam. ”Maafin aku yang enggak
bisa jadi pacar yang baik, aku pasti bakalan jadi brengsek banget, setelah hari
ini...”
”Maksudmu apa sih Lang?”
”Hubungan kita nggak bisa
diteruskan.”
Aku merasa puluhan biji kedondong
menyerbu kerongkonganku.
”Maaf banget Mon, ini bukan salahmu,
ini salahku, aku yang nggak pernah bisa menyayangimu sepenuh hati. Aku yang
merasa berdosa karena harus membohongi kamu selama ini. Aku yang nggak pernah
bisa tega melepaskan kamu yang baik banget, yang sangat perhatian dan
menyayangiku.Maafin aku Mon...”
Aku terdiam lama sekali menatap
manik matanya dalam-dalam. Aku shock. Aku sampai enggak bisa mengeluarkan air
mata.
”Mona?”
”Kenapa harus hari ini Lang?” ujarku
perlahan. ”Kenapa enggak kemarin? Atau besok? Atau lusa? Atau dari dulu-dulu??”
Ia gantian terdiam, mencoba mencari
jawaban. ”Aku pikir hadiah terbaik yang bisa kamu dapatkan hari ini adalah
berpisah dengan aku Mon. Aku cowok yang buruk buat kamu. Kamu nggak pantes
bersamaku, kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku.”
Begitu mendengar kalimat terakhirnya
itu, aku langsung tersadar. Aku nggak pantas shock untuk cowok sebrengsek dan
segombal dia yang mutusin ceweknya dengan alasan separah itu. Oh please deh, hadiah terbaik? Emang aku
segoblok apa?
”Pergi kamu.” ucapku pendek. ”Jangan
pernah ganggu hidupku lagi.”
Ia terdiam, lalu mengeluarkan
sesuatu dari tasnya, sebuah bungkusan kado berwarna hijau muda. ”Terima ya, ini
permintaan maaf.”
Aku menatapnya kosong. ”Makasih.”
Ia berdiri kikuk, lalu akhirnya
berlalu dari pandanganku cepat.
Aku menatap kadonya hampa. Jadi,
disinilah aku, duduk di koridor sekolah sendirian, di hari ulang tahun ke-17.
Betapa kasihannya aku.
Lalu akhirnya aku nggak tahan nggak
menangis. Bukan karena aku habis putus dengan Gilang ya, tapi lebih karena
akumulasi kekecewaan bertubi-tubi yang kudapatkan hari ini. Aku sedih sekali.
Aku sendirian, dan tidak punya siapa-siapa yang mengerti aku.
”Jangan nangis dong, Mon...” sebuah
suara mengagetkanku.
”Tika?” Aku bergumam sambil
sesenggukan. ”Kok kamu masih disini?”
”Aku nggak mungkin meninggalkan
sahabatku sendirian dalam keadaan sedih lah...”
Aku menatap wajah sahabatku ini
lekat-lekat, dan akhirnya aku memeluknya. ”Aku habis putus sama Gilaang Tik...
Huhuhu, aku benci hari ini...”
Akhirnya aku mengeluarkan semua
unek-unekku. Dan ini adalah the best
reason kenapa aku sangat suka bersahabat dengan Tika. Setiap aku
ngomel-ngomel dia hanya diam dan mendengarkan tanpa berkomentar apapun.
”Sudah ngomel-ngomelnya? Jadi, kamu
nggak bisa nyalahin aku ya kalo kamu putus dengan Gilang, aku sudah
bilaaang...”
”Iya-iyaaa... aku yang salaaah.” aku cemberut.
”Kamu nggak sendirian kok, masih ada
aku, kita kan teman selamanya. Ya kan?” Iya tersenyum warmly. ”Mau makan es krim di Icy
Cafe?”
”Oh
My God!” Aku mengetok jidatku. ”Aku lupa! Aku harus ke Rumah Sakit jenguk
adekku! Dia pingsan lagi tadi pagi.”
”Dasar Mona bodoh! Kok bisa lupa
sih? Ayo berangkat sekarang, aku anterin!”
”Aduh, makasih ya Tik... aku jadi
ngrepotin kamu.”
”Udah deh basa-basinya, yuk ah capcuus.”
Aku tersenyum lega. Ini memang hari
ulang tahun terburuk seumur hidupku. Tapi aku bersyukur, aku masih punya
sahabat paling baik sedunia yang pernah ada.
***
Aku masuk ke kamar tempat adikku
terbaring lemah. Wajahnya pucat sekali.
”Kamu kemana aja sih Mona? Jam
segini baru pulang?” Papa bertanya kesal.
Aku hampir saja berteriak, Helllooo, this is my birthday Paa. Do you realize it? Tapi begitu
aku melihat wajah pucat adikku, aku langsung nggak tega. Melihat anak
berumur 7 tahun harus bertahan dengan leukimianya membuatku merasa kerdil.
”Kak Mona...” Rara memanggilku
lemah.
”Apa Ra? Gimana badanmu, udah agak
mendingan?”
”Selamat Ulang Tahun, Kak... maaf
ya, Rara enggak bisa ngasih kado...”
Aku langsung terdiam. Papa langsung
menghentikan aktivitas baca korannya. Mama berhenti menyapu, dan Tika yang ada
di sampingku menatapku tajam.
Mendadak aku menangis lagi. Aku
sungguh merasa bodoh dan egois. Aku kesal dengan apa yang sempat aku rasakan
hari ini. Aku kakak yang jahat.
”Nggak papa Ra... nggak papa, yang
penting kamu cepet sembuh...”
”Kak Mona kok nangis sih? Rara aja
enggak nangis loh, padahal Rara lagi sakit... hihihi.”
Rara tersenyum lucu sekali. Aku
tidak tahan lagi, aku langsung keluar kamar, aku nggak tega melihat wajahnya.
Di luar, mama dan papa langsung
mendatangiku. ”Mona... maafkan papa dan mama karena lupa ulang tahunmu ya...”
Aku menggeleng. ”Enggak ma, pa. Mona
yang minta maaf karena tadi sempat kesal gara-gara mama dan papa lupa ulang
tahun Mona. Harusnya Mona ngerti karena Mama dan Papa pasti pusing sekali
ngurusin Rara...”
Mama berkaca-kaca, ia mengelus
rambutku lembut. ”Kamu nggak keberatan kan kalau doa untuk kamu hari ini mama
berikan untuk adik kamu?”
Aku tersenyum. ”Malah seharusnya
Mona yang semestinya sadar, ulang tahun enggak selalu berarti Mona harus
mendapat kado Ma, akan lebih berarti kalau malah Mona yang memberi hadiah untuk
orang lain. Jadi, kali ini, Mona akan memberi hadiah doa terindah untuk Rara
Ma...”
Mamaku tersenyum hangat, ”Kamu
bertambah dewasa, Mona sayang...”
***
Di luar hujan deras. Aku sendirian
di rumah, berhadapan dengan buku matematika untuk remedial besok.
Aku bersyukur karena aku berpisah
dengan Gilang—saat ini aku sedang mengenakan kadonya yang ternyata sebuah syal baby pink yang lucu banget—dan karena
aku ternyata masih punya sahabat yang mencintaiku.
Tentang usia tujuh belas, aku belajar banyak hari ini.
Bahwa walaupun aku kehilangan segalanya, bukan berarti
aku tidak mendapatkan apapun.
Aku, Anamonna Pradityaputri, usiaku 17 tahun.
Dan aku bangga menjadi 17.
No comments:
Post a Comment