Senja
yang indah. Senja yang senyap. Senja yang mengantarku ke tempat-tempat yang
mengingatkanku akan kamu.
Aku
melewati barber shop mungil di sebuah pojokan jalan tempat kita biasa kerap
menghabiskan waktu bersama. Aku ingat bagaimana kamu kemarin mengeluh karena
potongan rambutmu jadi aneh banget, dengan poni lempar ke samping yang
membuatmu jadi tampak seperti artis korea…. Jadi-jadian.
Tak
berapa lama, aku tersenyum sejenak, menatap sebuah kafe kopi, tidak jauh dari
barber shop yang tadi. Kafe kopi yang juga mungil dan tidak banyak orang yang
tahu. Biasanya kamu akan memesan segelas green tea ice—karena kamu tidak suka
kopi.
“Kenapa
kamu nggak suka kopi sih? Kopi enak banget begini.” Aku bertanya heran sambil
menyesap kopi hitam pekatku. Sebagai seorang fangirl kopi, aku merasa terusik
dengan pilihan hidup pacar kesayanganku ini.
“Pahit,
Em.” kamu menjawab pendek. “Lagian, kenapa aku harus suka sama minuman yang
bikin orang jadi susah tidur? Atau jadi semangat? Atau jadi susah kerja kalo
nggak ada kopi? Menderita banget sih hidup ini kalo harus diatur sama segelas
minuman.”
Bangsat.
Aku mencubit lengannya keras. Dia terbahak.
Aku
berjalan beberapa blok lagi dan sampai di sebuah petak taman, terduduk di
sebuah bangku kayu tua yang catnya sudah mengelupas disana-sini. Senja di kota
ini tidak begitu ramai, tidak banyak juga yang akan datang ke taman ini.
Ingatanku
kembali terbang ke saat kita pertama bertemu dulu. Di bangku kayu reot ini.
Kamu dengan kamera yang menggantung di lehermu. Aku dengan wajah lepek
berkeringat dan handuk yang menggantung. Terengah-engah.
“Mbak,
stop mbak, jangan gerak.” kamu tiba-tiba berteriak saat aku tengah nungging
melakukan peregangan senam. Seperti yang aku bilang, taman ini sepi, kamu bebas
mau beratraksi aneh, senam sendirian sekalipun. Dan keberadaanmu yang tiba-tiba
dan nggak tahu malu menyuruhku diam pas lagi nungging ini sedikit di luar
kebiasaan.
Tapi
kamu ganteng. Dan itulah awal mula kita bertemu. Aku bertemu kamu pertama kali
dalam keadaan nungging. Dasar sinting.
Nungging
hanyalah awal. Sebelum akhirnya aku merasa luar biasa bersyukur karena
dipertemukan denganmu. Laki-laki luar biasa indah yang membuat rutinitasku
menjadi hidup. Ketika rutinitas tak lagi hanya sekedar rutinitas, karena selalu
ada kamu di setiap selanya.
Untuk
pertama kalinya, aku menemukan tujuan pulang.
Tidak
banyak cinta yang bisa membuat seseorang merasa hidup. Mungkin, karena cintaku
dan cintamu memang selayaknya organisme yang bersimbiosis mutualisme. Tidak
bisa hidup jika tidak ada antara satu sama lain. Tidak akan berguna jika tidak
ada untuk satu sama lain.
Aku tumbuh
bersama cintamu. Dan kamupun begitu. Selalu ada kamu dalam setiap keputusan—baik
yang besar maupun yang kecil—yang kuambil. Seperti kepingan puzzle yang selalu
berusaha membentuk satu gambaran besar yang utuh. Kamu hanya harus berusaha
agar gambar tersebut utuh. Meskipun itu butuh waktu.
Aku
tiba-tiba merasa pipiku basah. Lalu basah sekali.
Jika
aku telah memiliki cinta yang seperti ini, bagaimana bisa aku melupakannya?
Bagaimana bisa aku mengikuti kata-kata orang lain, “Ikhlas, Emma. Hidupmu akan
tetap berjalan dengan ataupun tanpa dia.”
Hidupku
memang berjalan seperti biasa. Aku makan, mandi, bekerja, tidur. Tapi pernahkah
kamu hidup tanpa sedikitpun merasa hidup?
Pernahkah
kamu tertawa tapi tak tertawa? Menangis tapi tak menangis?
Kamu
ingat kan, bagaimana kita adalah organisme dengan simbiosis mutualisme? Kamu
butuh aku untuk hidup, dan akupun begitu.
Lalu
mengapa kamu pergi?
Bisakah
kamu sendiri tanpa aku?
Baik-baikkah
kamu disana?
I miss your touch, Pantja. I miss how you make me
alive. Bagaimana kamu bisa mati dan membuat
satu organisme hidup lainnya merasa mati?
Aku
menatap pusaramu lekat-lekat. Air mataku tak juga kuasa berhenti. Apakah aku
menangis? Entah, aku sudah tidak bisa membedakannya lagi.
Ini
sudah lima tahun, Pantja.
Dan
kamu, ikut membawa jiwaku mati bersamamu.
Orang
bilang kenangan tidak akan pernah mati. Aku mungkin yang selama ini bodoh
karena tidak bisa hidup hanya dengan kenanganmu. Aku mungkin yang selama ini terlalu
manja karena menginginkan jiwamu.
Tunggu aku, aku akan menyusul, entah kapan. Tapi aku
akan berjanji, kelak akan menemanimu lagi. Kelak aku akan mati, untuk hidup.
I'd
never lived
Before your love
I'd never felt
Before your touch
I'd never needed anyone
To make me feel alive
But then again,
I wasn't really livin'
Before your love
I'd never felt
Before your touch
I'd never needed anyone
To make me feel alive
But then again,
I wasn't really livin'
I'd
never lived... before your love
(Kelly Clarkson – Before Your Love)
No comments:
Post a Comment