“Sayang, serius amat. Mikirin nasib bangsa dan negara
ya?” aku tidak tahan dicuekin selama hampir sejam aja. Percuma deh si Gandhi
ini bela-belain datang ke apartemenku kalo akhir-akhirnya fisiknya ada di
depanku tapi pikirannya tetap di pekerjaannya.
Gandhi terbahak. “Aduh… maaf sayang…” Ia nyengir.
“Sori… proyek ini bener-bener menguras tenaga dan pikiran aku.”
“Emang lagi ada proyek apa sih? Sini aku aja yang
gambarin. Cuma corat coret gini doang aku juga bisa dari kecil udah diajarin
gambar sama mama.” Aku gemas mendengar jawaban Gandhi.
Gandhi terbahak. “Kamu itu lho… ngegemesin banget.” Ia
berdiri dan memindah posisi duduknya menjadi di sebelahku. Ia menarikku menuju
dadanya dan menunjukkan sketsa yang sedang digambarnya sedari tadi.
“Ini proyek taman kota buat pemerintah kota Makassar.”
Ucap Gandhi perlahan. “Aku seneeeng banget dikasih kepercayaan buat mendesain
rancangannya.”
“Karena?”
“Karena ini taman. Bukan bangunan dari semen dan batu
seperti yang biasanya aku bikin.”
“Emang kenapa kalo taman?” tanyaku polos.
“Gini lho sayang…” ia menggantung kalimatnya sambil
mengelus rambutku. “Kamu tahu nggak fungsi taman itu buat apa?”
“Buat jogging.” Ucapku polos dan ngasal.
“Hiih. Nggak cuma itu…” Gandhi mencubit hidungku gemas.
“Taman punya tiga fungsi. Yang pertama, untuk melihat dan dilihat. Artinya,
taman adalah tempat yang pas untuk manusia karena manusia memerlukan orang lain
sebagai pembanding dan pendamping. Maksudnya lagi, manusia itu suka
diperhatikan dan memperhatikan orang lain…”
“Kedua, sebagai tempat apresiasi bakat dan hobi. Di
taman, setiap orang, mau apapun hobi dan kegemarannya, bisa melakukannya di
taman…”
“Dan yang ketiga… ini yang paling unik. Untuk
mengenang masa lalu.”
Aku spontan ngakak terbahak. “Gandhi kalo mau
ngegombal yang bagusan dikit dong aaah!”
Gandhi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku beneran, ini teorinya Albert J. Rutledge, aku baca di buku tau sayang!” ia
memasang ekspresi kesal yang anehnya justru sangat kusukai.
“Iya deh bapak dosen Dirgandhi… lanjutin lanjutin…”
“Nah, kenapa mengenang masa lalu? Taman itu bagus
banget untuk manusia yang menyukai melamun di tengah keindahan alam dan untuk
mengenang masa-masa indah.”
Aku nggak tahan untuk nggak melanjutkan tawaku. “You should double checked who really Albert
is… Karena kayaknya dia arsitek galau kenamaan pada masanya, hahahaha!” aku
meledek Gandhi sambil menatapnya jahil.
“Kamu gitu deh. Aku nggak lagi bercanda tauk, Tash.
Ini beneran. Aku suka banget sama filosofi di balik arsitektur taman.” Gandhi
protes. “Makanya aku bener-bener pengen serius di project kali ini…”
Aku tersenyum melihat perubahan ekspresi di wajahnya.
“Iya, sayang… Aku ngerti kalau kamu
benar-benar pengen total di proyek tamanmu ini. Aku seneng, dan sebagai
perempuan aku bangga punya pacar yang
sangat cinta sama pekerjaannya…” aku bangkit mengangkat kepalaku dari dadanya
kemudian merubah posisi dudukku menghadap Gandhi.
“Tapi… for God’s
sake, honey… I’ve been sitting here for about one hour, cuma ngeliatin kamu
sibuk dengan kertas, pensil, penghapus, dan rapido kesayangan kamu itu. Aku
manusia biasa, Gandhi, bukan patung, aku juga bisa laper!” aku menepuk perutku
memberi tanda bahwa aku sudah gak tahan bengong nungguin dia selese kerja.
Keburu busung lapar beneran ini sih kalo ditungguin.
“Aku juga laper, Tash.” Ia nyengir.
“Nah.”
“Maafin ya sayang… Yaudah deh aku berhenti nyeketch
bentar. Makan yuk.”
“Dasar. Harus diginiin dulu ya baru ngeh.” Aku
mencubit perutnya gemas. “Mau makan dimana?”
“Mau makan kamu dulu boleh?”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya.
Yang aku tahu dalam sepersekian detik Gandhi menyerang
bibirku dengan ciuman lembut bertubi-tubi di bibirku. Lembut, dalam, dan
hangat.
“Dasar bandel.” Aku mencubit pipinya setelah “quick ceremony” kita selesai. “Udah
kenyang?”
Gandhi nyengir. “Udah nggak sewot lagi?”
Aku menepok lengannya keras. “Udah ah, aku mau ganti
baju. You decide ya kita mau makan dimana abis ini.” aku berdiri beranjak
menuju kamarku.
“… And don’t
you ever touch your sketch again while I’m changing my clothes!” aku memarahi
Gandhi yang sudah memegang kertas sketsanya lagi. Dasar Tasha. Punya pacar kok ya freak banget sama sketsa. Apa aku harus
berubah jadi sketsa ya biar dia sentuh-sentuh aku terus dan nggak cuma kalo
lagi ada maunya doang?
“Hehehe…” Gandhi mengeluarkan cengiran polos
andalannya.
Tara… And that’s
my nerdy boyfriend, saudara-saudara.
The nerd I
love so much. Wholeheartedly.
*another excerpt of my writing, currently titled "Table for Two"
No comments:
Post a Comment