Saturday, June 1, 2013

Perempuan-Perempuan Sebelum Kamu #2


read the previous story here

Jakarta
Natasha. Ahh… aku tidak akan lupa dengan gadis yang satu ini. She’s amazing. Pintar, modern, dan dinamis. Natasha yang tidak kenal lelah, Natasha yang selalu bersemangat dengan kehidupannya.
Natasha pintar. Sangat pintar. Seperti Jakarta dengan segala kesibukannya. Dengan gedung-gedung tingginya yang menjulang. Lampu-lampu yang menyala gemerlap saat malam. Bersama Nastasha, aku seakan terhipnotis pesona semangatnya. Dia membuatku mabuk kepayang.
Kamu tahu apa saja yang Jakarta punya? Banyak kan, Lit. Dan segalanya selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Ada pantai yang indah di tengah kota, ada gedung-gedung bertingkat, ada beragam museum, taman bermain, dan puluhan mal megah.
Di saat yang sama, Natasha juga sangat mandiri dan keras. Ia selalu bisa diandalkan untuk segala urusan. Tidak peduli bagaimana orang-orang berusaha menjatuhkan dia, Natasha akan selalu bertahan.
Aku selalu sulit memahami Natasha. Maksudku, bagaimana bisa kamu tetap mau menjaga keaslian dan cita rasa dirimu padahal di saat yang sama kamu harus bersinergi dengan zaman? Dia kerap mengatakan padaku bahwa hidup itu memang keras, jangan jadi orang yang lembek, atau dunia akan memakan kamu hidup-hidup. I hate her, but sometimes it makes me stronger. So this is me, having a love-hate relationship with Natasha. Like what we do to Jakarta.
Tidak romantis, bersama Natasha memang tidak romantis, tetapi aku belajar sangat banyak dari beragam hal dan sifat yang ada pada dirinya. Satu sisi, ia begitu kompleks dan tangguh. Seperti Jakarta yang padat, sibuk, dan tidak pernah tidur. Di sisi lain, ia bisa terlihat sangat genuine. Seperti Jakarta dengan Pelabuhan Sunda Kelapa-nya, Kawasan Kota Tua, puluhan museum yang  seakan mencoba mengingatkan setiap orang yang berada di dekatnya untuk tidak meremehkannya.
Jadi, melihat Natasha, seperti melihat Jakarta. Ketika kamu bisa melihat budaya dan modernitas benar-benar membaur dan berada di satu perspektif yang sama. Menoleh ke kiri kamu akan bertemu Kota Tua, menoleh ke kanan kamu melihat mal dan apartemen yang menjulang tinggi. Dan semuanya berjalan bersamaan dan beriringan, hidup dalam sebuah ekosistem yang sama.
Mengenal Natasha membuatku sadar, mensinergikan kedua hal yang hampir bertolak belakang itu bukanlah hal yang mudah. Sulit bahkan, sangat sulit.
“Aku telah melewati begitu banyak hal, jauh lebih banyak daripada mereka, Dav. ”
Begitu yang ia katakan padaku ketika aku menanyakan pada Natasha, mengapa pribadinya bisa begitu kompleks.
Jadi, itulah Natasha. Pintar, modern, kompleks, penuh tantangan. Dia mengajarkanku untuk hidup dengan memberikan apa yang terbaik yang bisa dilakukan. Bahwa hidup tidak selamanya indah. She’s a very tough woman. That’s why I love her that much.

Bukittinggi
Namanya Rinai. Setelah aku bersama keempat perempuan itu, aku bertemu Rinai. Wanita yang sangat… tenang. Tutur katanya lemah lembut, bersama dengannya menyejukkanku. Seperti Bukittinggi, ia mengajakku untuk menikmati kehidupan yang sudah didesain Tuhan dengan indah.
Rinai, seperti namanya menyimpan begitu banyak keindahan dalam apa adanya ia. Bersama Rinai kamu seakan enggan melewatkan sedetikpun hidupmu tanpanya. Aku ikut terbawa nyaman melihatnya hidup. Seperti bagaimana aku tidak ingin tertidur di setiap perjalanan yang aku lakukan di Bukittinggi karena setiap sudut dan pemandangan yang aku lihat disana tidak akan membuatku merasa bosan.
Mengingatkanku akan Ngarai Sianok dimana sejauh mata memandang maka yang terlihat hanyalah tebing-tebing yang tinggi nan hijau dan udara yang sejuk.  Dengan jurang batu besar diselimuti pepohonan yang tumbuh di atasnya yang secara dramatis menjadikan ngarai ini pemandangan yang sangat memikat hati.
Tidak lebih tidak kurang. Membuat kamu seakan dipaksa berhenti sibuk dengan duniamu sendiri, terpana dengan alam liar semesta yang membuat kita malu karena ternyata kita ini tidak ada apa-apanya dibanding sang Pencipta.
“Nikmati hidup kamu, Dav. Tuhan sudah menciptakan banyak sekali hal yang indah di dunia ini. Tidak perlu bersusah-susah. Kamu hanya perlu sejenak melepas jiwamu dari dirimu sendiri. Dan kamu akan melihat banyak. Jauh lebih banyak.”
Bersama Rinai-lah aku memahami sisi keindahan yang lain. Keindahan yang alami dan menyimpan banyak cerita di dalamnya. Di dalam kesejukan dan ketenangannya, ia telah menjadi saksi akan banyak hal. Seperti layaknya Bukittinggi dengan Jam Gadangnya, atau Lubang Jepang yang merupakan saksi bisu saat tentara Jepang bersembunyi dari Sekutu dahulu kala.
Bukittinggi, seperti halnya Alitya, menyimpan banyak kisah, dan ketenangan serta kesejukannya. Membuatku tersadar, no matter what you’ve been through,it doesn’t make you as the strongest person on earth. Jangan sombong, tetaplah merunduk. Karena hal itulah yang akan membuatmu dicintai dengan kekal.

Alitya
Aku terdiam, menatap manik mata Davin yang mengenggam tanganku erat saat ini.
“Dav…” aku akhirnya mengeluarkan uneg-uneg yang sudah kutahan dari dulu. “So, why do you love me?” aku berkata, mencoba menahan kegelisahanku sendiri. “Aku nggak cantik seperti Raja Ampat, nggak menyenangkan kayak Bali, nggak rendah hati seperti Jogja, pintar seperti Jakarta, dan menenangkan seperti Bukittinggi…”
Davin terdiam memandangku.
“Kamu bahkan nggak punya tempat favorit ketika bersamaku. Nggak seperti ketika bersama gadis-gadis itu…”
Aku tahu sangat bodoh untuk merasa insecure saat ini. Padahal yang memaksa Davin untuk menceritakan semua hal ini toh juga aku.
“Kamu adalah mereka semua, Lit.” Davin berucap pendek. “Kamu cantik, menyenangkan, rendah hati, pintar, dan menenangkan. You’re my perfect complete package everyone wants to have.” Lanjutnya. “And I’m so lucky to having you now.”
Aku mencubit perutnya gemas. “Gombal!”
Davin terbahak. Tawa yang sangat kusukai.
“So, will you marry me, Alitya?”
Alitya tersenyum padaku. Cantik. Sangat cantik. “Yes, Davin. Off course, yes!” Ia kemudian memelukku. Erat.


Davin
Kalian percaya kelima perempuan yang kuceritakan tadi?
Hehe, itu sih terserah kalian. Tapi, sejujurnya, cuma Alitya satu-satunya perempuan yang pernah aku cintai. Aku harus menceritakan kisah ini karena sekali lagi, cuma ini satu-satunya cara yang bisa menjelaskan bagaimana aku mencintainya saat ini.
Dari dulu, aku tidak pernah paham cinta. Girls come and go, tapi tetap saja aku merasa kosong. Bukankah cinta seharusnya membuat hidupmu jadi lebih bermakna?
Aku lalu memutuskan pergi jalan-jalan. Menjelajah. Dengan kedok travelling. Padahal sebenarnya aku sedang kalut dan sedang berusaha mencari makna cinta. Cinta yang kata orang membuatmu menjadi manusia seutuhnya.
Di kelima tempat inilah aku menemukan cinta. Di kelima tempat inilah aku merasa hidupku bermakna. Di kelima tempat inilah aku akhirnya bisa mengerti esensi cinta yang sesungguhnya. Mengerti bahwasanya bahagia itu multi dimensi. Dan aku bersyukur bisa memandang hal itu dari berbagai perspektif.
Oh, jadi, inilah rasanya jatuh cinta.
Sejak saat itu, aku tahu aku harus menemukan perempuan yang bisa membuatku merasa seperti berada di tempat-tempat ini. Dan hadirlah Alitya di hidupku.
Alitya, adalah cinta. Alitya adalah kesempurnaan. Kesempurnaan yang sederhana. Alitya membuat aku percaya bahwa cinta ternyata hanyalah sejauh tempat kita berdiri.
So… have you ever been in love?
Kalau belum, look around. Don’t just sit down home. Berkelilinglah, temukanlah cinta versimu sendiri. Seperti yang aku rasakan saat ini, kamu akan tahu, bahwa cinta terletak sangat dekat, di negerimu sendiri, di hatimu sendiri.
Alitya adalah rumah.
Jadi, Alitya membuatmu merasa seperti dimana, Dav?
Indonesia.
Sesederhana itu.


No comments:

Post a Comment