read the previous story here
Jakarta
Natasha.
Ahh… aku tidak akan lupa dengan gadis yang satu ini. She’s amazing. Pintar, modern, dan dinamis. Natasha yang tidak
kenal lelah, Natasha yang selalu bersemangat dengan kehidupannya.
Natasha
pintar. Sangat pintar. Seperti Jakarta dengan segala kesibukannya. Dengan
gedung-gedung tingginya yang menjulang. Lampu-lampu yang menyala gemerlap saat
malam. Bersama Nastasha, aku seakan terhipnotis pesona semangatnya. Dia
membuatku mabuk kepayang.
Kamu
tahu apa saja yang Jakarta punya? Banyak kan, Lit. Dan segalanya selalu
berkembang seiring berjalannya waktu. Ada pantai yang indah di tengah kota, ada
gedung-gedung bertingkat, ada beragam museum, taman bermain, dan puluhan mal
megah.
Di saat
yang sama, Natasha juga sangat mandiri dan keras. Ia selalu bisa diandalkan
untuk segala urusan. Tidak peduli bagaimana orang-orang berusaha menjatuhkan
dia, Natasha akan selalu bertahan.
Aku
selalu sulit memahami Natasha. Maksudku, bagaimana bisa kamu tetap mau menjaga
keaslian dan cita rasa dirimu padahal di saat yang sama kamu harus bersinergi
dengan zaman? Dia kerap mengatakan padaku bahwa hidup itu memang keras, jangan
jadi orang yang lembek, atau dunia akan memakan kamu hidup-hidup. I hate her, but sometimes it makes me
stronger. So this is me, having a love-hate relationship with Natasha. Like
what we do to Jakarta.
Tidak
romantis, bersama Natasha memang tidak romantis, tetapi aku belajar sangat
banyak dari beragam hal dan sifat yang ada pada dirinya. Satu sisi, ia begitu
kompleks dan tangguh. Seperti Jakarta yang padat, sibuk, dan tidak pernah
tidur. Di sisi lain, ia bisa terlihat sangat genuine. Seperti Jakarta dengan Pelabuhan Sunda Kelapa-nya, Kawasan
Kota Tua, puluhan museum yang seakan
mencoba mengingatkan setiap orang yang berada di dekatnya untuk tidak
meremehkannya.
Jadi,
melihat Natasha, seperti melihat Jakarta. Ketika kamu bisa melihat budaya dan
modernitas benar-benar membaur dan berada di satu perspektif yang sama. Menoleh
ke kiri kamu akan bertemu Kota Tua, menoleh ke kanan kamu melihat mal dan
apartemen yang menjulang tinggi. Dan semuanya berjalan bersamaan dan
beriringan, hidup dalam sebuah ekosistem yang sama.
Mengenal
Natasha membuatku sadar, mensinergikan kedua hal yang hampir bertolak belakang
itu bukanlah hal yang mudah. Sulit bahkan, sangat sulit.
“Aku
telah melewati begitu banyak hal, jauh lebih banyak daripada mereka, Dav. ”
Begitu
yang ia katakan padaku ketika aku menanyakan pada Natasha, mengapa pribadinya
bisa begitu kompleks.
Jadi,
itulah Natasha. Pintar, modern, kompleks, penuh tantangan. Dia mengajarkanku
untuk hidup dengan memberikan apa yang terbaik yang bisa dilakukan. Bahwa hidup
tidak selamanya indah. She’s a very tough
woman. That’s why I love her that
much.
Bukittinggi
Namanya
Rinai. Setelah aku bersama keempat perempuan itu, aku bertemu Rinai. Wanita
yang sangat… tenang. Tutur katanya lemah lembut, bersama dengannya
menyejukkanku. Seperti Bukittinggi, ia mengajakku untuk menikmati kehidupan
yang sudah didesain Tuhan dengan indah.
Rinai,
seperti namanya menyimpan begitu banyak keindahan dalam apa adanya ia. Bersama
Rinai kamu seakan enggan melewatkan sedetikpun hidupmu tanpanya. Aku ikut
terbawa nyaman melihatnya hidup. Seperti bagaimana aku tidak ingin tertidur di
setiap perjalanan yang aku lakukan di Bukittinggi karena setiap sudut dan
pemandangan yang aku lihat disana tidak akan membuatku merasa bosan.
Mengingatkanku
akan Ngarai Sianok dimana
sejauh mata memandang maka yang terlihat hanyalah tebing-tebing yang tinggi nan
hijau dan udara yang sejuk. Dengan jurang
batu besar diselimuti pepohonan yang tumbuh di atasnya yang secara dramatis menjadikan
ngarai ini pemandangan yang sangat memikat hati.
Tidak lebih tidak kurang. Membuat kamu seakan dipaksa
berhenti sibuk dengan duniamu sendiri, terpana dengan alam liar semesta yang
membuat kita malu karena ternyata kita ini tidak ada apa-apanya dibanding sang
Pencipta.
“Nikmati
hidup kamu, Dav. Tuhan sudah menciptakan banyak sekali hal yang indah di dunia
ini. Tidak perlu bersusah-susah. Kamu hanya perlu sejenak melepas jiwamu dari
dirimu sendiri. Dan kamu akan melihat banyak. Jauh lebih banyak.”
Bersama
Rinai-lah aku memahami sisi keindahan yang lain. Keindahan yang alami dan
menyimpan banyak cerita di dalamnya. Di dalam kesejukan dan ketenangannya, ia
telah menjadi saksi akan banyak hal. Seperti layaknya Bukittinggi dengan Jam
Gadangnya, atau Lubang Jepang yang merupakan saksi bisu saat tentara Jepang
bersembunyi dari Sekutu dahulu kala.
Bukittinggi,
seperti halnya Alitya, menyimpan banyak kisah, dan ketenangan serta
kesejukannya. Membuatku tersadar, no
matter what you’ve been through,it doesn’t make you as the strongest person on
earth. Jangan sombong, tetaplah merunduk. Karena hal itulah yang akan
membuatmu dicintai dengan kekal.
Alitya
Aku
terdiam, menatap manik mata Davin yang mengenggam tanganku erat saat ini.
“Dav…”
aku akhirnya mengeluarkan uneg-uneg yang sudah kutahan dari dulu. “So, why do you love me?” aku berkata,
mencoba menahan kegelisahanku sendiri. “Aku nggak cantik seperti Raja Ampat,
nggak menyenangkan kayak Bali, nggak rendah hati seperti Jogja, pintar seperti
Jakarta, dan menenangkan seperti Bukittinggi…”
Davin
terdiam memandangku.
“Kamu
bahkan nggak punya tempat favorit ketika bersamaku. Nggak seperti ketika
bersama gadis-gadis itu…”
Aku
tahu sangat bodoh untuk merasa insecure
saat ini. Padahal yang memaksa Davin untuk menceritakan semua hal ini toh juga
aku.
“Kamu
adalah mereka semua, Lit.” Davin berucap pendek. “Kamu cantik, menyenangkan,
rendah hati, pintar, dan menenangkan. You’re
my perfect complete package everyone wants to have.” Lanjutnya. “And I’m so lucky to having you now.”
Aku
mencubit perutnya gemas. “Gombal!”
Davin
terbahak. Tawa yang sangat kusukai.
“So, will you marry me, Alitya?”
Alitya
tersenyum padaku. Cantik. Sangat cantik. “Yes,
Davin. Off course, yes!” Ia kemudian memelukku. Erat.
Davin
Kalian
percaya kelima perempuan yang kuceritakan tadi?
Hehe,
itu sih terserah kalian. Tapi, sejujurnya, cuma Alitya satu-satunya perempuan
yang pernah aku cintai. Aku harus menceritakan kisah ini karena sekali lagi,
cuma ini satu-satunya cara yang bisa menjelaskan bagaimana aku mencintainya
saat ini.
Dari
dulu, aku tidak pernah paham cinta. Girls
come and go, tapi tetap saja aku merasa kosong. Bukankah cinta seharusnya
membuat hidupmu jadi lebih bermakna?
Aku
lalu memutuskan pergi jalan-jalan. Menjelajah. Dengan kedok travelling. Padahal sebenarnya aku sedang kalut dan sedang
berusaha mencari makna cinta. Cinta yang kata orang membuatmu menjadi manusia
seutuhnya.
Di
kelima tempat inilah aku menemukan cinta. Di kelima tempat inilah aku merasa
hidupku bermakna. Di kelima tempat inilah aku akhirnya bisa mengerti esensi
cinta yang sesungguhnya. Mengerti bahwasanya bahagia itu multi dimensi. Dan aku
bersyukur bisa memandang hal itu dari berbagai perspektif.
Oh, jadi, inilah rasanya jatuh cinta.
Sejak
saat itu, aku tahu aku harus menemukan perempuan yang bisa membuatku merasa
seperti berada di tempat-tempat ini. Dan hadirlah Alitya di hidupku.
Alitya,
adalah cinta. Alitya adalah kesempurnaan. Kesempurnaan yang sederhana. Alitya
membuat aku percaya bahwa cinta ternyata hanyalah sejauh tempat kita berdiri.
So… have you ever been in love?
Kalau
belum, look around. Don’t just sit down
home. Berkelilinglah, temukanlah cinta versimu sendiri. Seperti yang aku
rasakan saat ini, kamu akan tahu, bahwa cinta terletak sangat dekat, di
negerimu sendiri, di hatimu sendiri.
Alitya
adalah rumah.
Jadi, Alitya membuatmu merasa seperti dimana, Dav?
Indonesia.
Sesederhana
itu.
No comments:
Post a Comment