Thursday, June 6, 2013

The One Who Stalks #2


Read the previous story here

Aku buru-buru menutup laptopku secepat kilat. Jantungku berdegup kencang sekali sampai rasanya seperti mau lompat ke luar dan jatuh ke lantai. Paduan antara super kaget karena ketauan sedang kepo dan perasaan yang tidak bisa tergambarkan karena melihat wujud Wisnu lagi dalam bentuk nyata membuatku tidak bisa berpikir jernih.
ANJRIT, KENAPA HARUS SEKARANG?? Aku membatin panik.
“Dwina… sedang apa di sini?” Wisnu bertanya padaku sambil tersenyum kasual. Ia juga sendirian datang ke sini. Sepertinya ia baru saja pulang kantor. Padahal ini malam minggu. Ia datang masih dengan kemeja dan dasi.
Kemeja yang dulu aku belikan untuk hari ulang tahunnya.
Ulang tahunnya yang ke-25.
“Eh… hai Wisnu.” Aku menyapa canggung. “Aku.. Ng… ng… lagi nyelesein kerjaan, Wis. Bosen di rumah.” Aku nyengir sambil berharap semoga wajahku sekarang lagi nggak kucel-kucel amat.
“Oh…” gumam Wisnu. “Hmm… Yaudah, aku pesen dulu ya. Met nyelesein kerjaan.” ia berkata sambil menunjuk counter pemesanan di ujung depan.
“Eh… iya.” aku menjawab canggung.
Wisnu tersenyum kikuk lalu beranjak menuju counter pemesanan. Aku menatap punggungnya yang menjauh. Damn.
Dia masih memiliki punggung favoritku. Senyum favoritku. Dan kacamata frame tebal favoritku.
Apakah itu artinya dia juga masih memiliki perasaanku?
Lamat-lamat aku mendengar lagu-nya Andien yang judulnya Moving On sedang diputar. Dan lirik cheesy-tapi-nyentil-nya itu dalam sepersekian detik langsung membuatku serasa ditohok dari depan.

Mungkin pernah ku menangis
Mungkin diriku pernah tersakiti
(namun diriku kini kembali)
Coba nikmati indahnya dunia
Tiada lagi bayangan dirimu
Yang selalu mencoba menahank
u…

Aku rasanya ingin melabrak operator kafe ini karena menyetel lagu ini di saat-saat seperti ini.
Nikmati indahnya dunia nenek lo, Ndien.
Aku yakin Andien belum pernah merasakan sulitnya moving on.
Dari kejauhan aku melihat Wisnu selesai memesan kopinya. Tak lama, ia berbalik sambil menggenggam segelas kopi. Aku langsung buru-buru sibuk berkonsentrasi dengan laptopku lagi.
Namun ekor mataku bisa melihat bahwa saat ini Wisnu sedang berjalan menuju ke arahku.
Aku bisa merasakan dadaku berdesir perlahan.
“Dwina?”
“Ya?” aku mendongak pura-pura baru menyadari keberadaannya di dekatku.
“Masih lama di sini?”
Aku menatap mata Wisnu. Menatap kacamata frame tebalnya. “Eh… belum tahu…”
Wisnu terlihat grogi. “Eh, kalau begitu, boleh duduk sini nggak?”
Aku bengong, namun aku buru-buru merubah ekspresiku. “Eh… boleh. Boleh dong. Silakan.” Aku tersenyum normatif. Padahal di dalam hatiku rasanya kacau balau kayak ada angin puting beliung di dalamnya.
Wisnu duduk di kursi di depanku. Sementara aku gagu banget harus memulai pembicaraan apa. Aku sibuk mengetik ngaco di laptopku. Padahal pekerjaan yang saat ini aku kerjakan adalah desain poster. Ngetik sebelah mananya coba. Kalau ada orang yang mengecek layar laptopku saat ini, yang terlihat adalah jendela Corel Draw X4 yang amburadul penuh tulisan-tulisan tak jelas.
Kadang-kadang, lucu rasanya ya? Ketika dua orang yang dulunya pernah sangat dekat dan saling menyayangi, mendadak berubah menjadi stranger untuk satu sama lain.
Untuk memulai pembicaraan pun canggung. Seperti waktu awal bertemu. Padahal saat pacaran dulu, tidak ada satu pun detail di hidupku yang tidak kuceritakan padanya. Lagi sedih, cerita, lagi senang, cerita, mau makan, cerita, mau mandi, sampe mau pup aja aku pasti cerita ke dia.
Kadang kalau dipikir, ini benar-benar ironis.
Lalu tiga tahun kemarin kita ngapain aja, Wis? Bagaimana bisa kita berubah jadi seperti ini?
“Dwina…” Wisnu memecah keheningan. Aku mendongak. “Tadi, aku lihat kamu buka profil Facebook aku… hehe. Lagi kepo ya?” Wisnu nyengir.
Sableng gendeng emang Wisnuryawan Patradinata ini! Sekalinya ngomong kenapa harus nanya itu? Apa kabar kek. Lagi sibuk apa kek. Lagi ngerjain apa kek. Yang biasa aja kayak gitu kan bisa… Damn! Aku merasa wajahku memanas dan memerah.
“Eh.. eh..” aku langsung salting dan panik. “Ehh.. emm.. itu…”
Wisnu terbahak. “Hahaha! Kamu nggak usah salting gitu deh.” Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan mengutak atik sesuatu.
“Nih.” Ia menunjukkan layar ponselnya. “Liat history twitterku. Aku juga selalu kepoin kamu.” Ujarnya santai.
Aku bengong.
Wisnu ini, tiba-tiba datang, tiba-tiba mergokin aku lagi kepoin dia, tiba-tiba minta duduk sambil minum kopi di sebelahku, dan tiba-tiba membuka aib busuk kita berdua. Orang gila.
“Menurut kamu, kenapa ya kita masih suka kepo satu sama lain?” ia melipat tangannya di meja, dan mencondongkan badannya mendekat ke arahku. Membuatku bisa membaui parfumnya, dan melihat dengan detail lekuk-lekuk wajahnya.
Ya Tuhan. Kuatkanlah aku Tuhan. Mengapa Kau beri aku cobaan se-temptating ini?


to be continued…

1 comment:

  1. saraaah. aku geli sendiri baca cerita yang ini. hahaha radarada pengalaman kali ye tukang kepo hahahaha :D

    ReplyDelete