Read the previous story here
Aku
buru-buru menutup laptopku secepat kilat. Jantungku berdegup kencang sekali
sampai rasanya seperti mau lompat ke luar dan jatuh ke lantai. Paduan antara
super kaget karena ketauan sedang kepo dan perasaan yang tidak bisa
tergambarkan karena melihat wujud Wisnu lagi dalam bentuk nyata membuatku tidak
bisa berpikir jernih.
ANJRIT, KENAPA HARUS SEKARANG?? Aku membatin panik.
“Dwina…
sedang apa di sini?” Wisnu bertanya padaku sambil tersenyum kasual. Ia juga
sendirian datang ke sini. Sepertinya ia baru saja pulang kantor. Padahal ini
malam minggu. Ia datang masih dengan kemeja dan dasi.
Kemeja
yang dulu aku belikan untuk hari ulang tahunnya.
Ulang
tahunnya yang ke-25.
“Eh…
hai Wisnu.” Aku menyapa canggung. “Aku.. Ng… ng… lagi nyelesein kerjaan, Wis.
Bosen di rumah.” Aku nyengir sambil berharap semoga wajahku sekarang lagi nggak
kucel-kucel amat.
“Oh…”
gumam Wisnu. “Hmm… Yaudah, aku pesen dulu ya. Met nyelesein kerjaan.” ia
berkata sambil menunjuk counter pemesanan
di ujung depan.
“Eh…
iya.” aku menjawab canggung.
Wisnu
tersenyum kikuk lalu beranjak menuju counter pemesanan. Aku menatap punggungnya
yang menjauh. Damn.
Dia
masih memiliki punggung favoritku. Senyum favoritku. Dan kacamata frame tebal
favoritku.
Apakah
itu artinya dia juga masih memiliki perasaanku?
Lamat-lamat
aku mendengar lagu-nya Andien yang judulnya Moving On sedang diputar. Dan lirik cheesy-tapi-nyentil-nya itu dalam sepersekian detik langsung membuatku serasa ditohok dari depan.
…Mungkin pernah ku menangis
Mungkin diriku pernah tersakiti
(namun diriku kini kembali)
Coba nikmati indahnya dunia
Tiada lagi bayangan dirimu
Yang selalu mencoba menahanku…
Mungkin diriku pernah tersakiti
(namun diriku kini kembali)
Coba nikmati indahnya dunia
Tiada lagi bayangan dirimu
Yang selalu mencoba menahanku…
Aku rasanya
ingin melabrak operator kafe ini karena menyetel lagu ini di saat-saat seperti
ini.
Nikmati indahnya dunia nenek lo, Ndien.
Aku
yakin Andien belum pernah merasakan sulitnya moving on.
Dari kejauhan
aku melihat Wisnu selesai memesan kopinya. Tak lama, ia berbalik sambil
menggenggam segelas kopi. Aku langsung buru-buru sibuk berkonsentrasi dengan
laptopku lagi.
Namun
ekor mataku bisa melihat bahwa saat ini Wisnu sedang berjalan menuju ke arahku.
Aku
bisa merasakan dadaku berdesir perlahan.
“Dwina?”
“Ya?”
aku mendongak pura-pura baru menyadari keberadaannya di dekatku.
“Masih
lama di sini?”
Aku
menatap mata Wisnu. Menatap kacamata
frame tebalnya. “Eh… belum tahu…”
Wisnu
terlihat grogi. “Eh, kalau begitu, boleh duduk sini nggak?”
Aku
bengong, namun aku buru-buru merubah ekspresiku. “Eh… boleh. Boleh dong.
Silakan.” Aku tersenyum normatif. Padahal di dalam hatiku rasanya kacau balau
kayak ada angin puting beliung di dalamnya.
Wisnu
duduk di kursi di depanku. Sementara aku gagu banget harus memulai pembicaraan
apa. Aku sibuk mengetik ngaco di
laptopku. Padahal pekerjaan yang saat ini aku kerjakan adalah desain poster. Ngetik
sebelah mananya coba. Kalau ada orang yang mengecek layar laptopku saat ini,
yang terlihat adalah jendela Corel Draw X4 yang amburadul penuh tulisan-tulisan
tak jelas.
Kadang-kadang,
lucu rasanya ya? Ketika dua orang yang dulunya pernah sangat dekat dan saling
menyayangi, mendadak berubah menjadi stranger
untuk satu sama lain.
Untuk
memulai pembicaraan pun canggung. Seperti waktu awal bertemu. Padahal saat
pacaran dulu, tidak ada satu pun detail di hidupku yang tidak kuceritakan
padanya. Lagi sedih, cerita, lagi senang, cerita, mau makan, cerita, mau mandi,
sampe mau pup aja aku pasti cerita ke dia.
Kadang
kalau dipikir, ini benar-benar ironis.
Lalu tiga tahun kemarin kita ngapain aja, Wis? Bagaimana
bisa kita berubah jadi seperti ini?
“Dwina…”
Wisnu memecah keheningan. Aku mendongak. “Tadi, aku lihat kamu buka profil
Facebook aku… hehe. Lagi kepo ya?” Wisnu nyengir.
Sableng
gendeng emang Wisnuryawan Patradinata ini! Sekalinya ngomong kenapa harus nanya
itu? Apa kabar kek. Lagi sibuk apa kek. Lagi ngerjain apa kek. Yang biasa aja
kayak gitu kan bisa… Damn! Aku merasa
wajahku memanas dan memerah.
“Eh..
eh..” aku langsung salting dan panik. “Ehh.. emm.. itu…”
Wisnu
terbahak. “Hahaha! Kamu nggak usah salting gitu deh.” Ia lalu mengeluarkan
ponselnya dan mengutak atik sesuatu.
“Nih.” Ia
menunjukkan layar ponselnya. “Liat
history twitterku. Aku juga selalu kepoin kamu.” Ujarnya santai.
Aku
bengong.
Wisnu
ini, tiba-tiba datang, tiba-tiba mergokin aku lagi kepoin dia, tiba-tiba minta
duduk sambil minum kopi di sebelahku, dan tiba-tiba membuka aib busuk kita
berdua. Orang gila.
“Menurut
kamu, kenapa ya kita masih suka kepo satu sama lain?” ia melipat tangannya di
meja, dan mencondongkan badannya mendekat ke arahku. Membuatku bisa membaui
parfumnya, dan melihat dengan detail lekuk-lekuk wajahnya.
Ya
Tuhan. Kuatkanlah aku Tuhan. Mengapa Kau beri aku cobaan se-temptating ini?
to be continued…
saraaah. aku geli sendiri baca cerita yang ini. hahaha radarada pengalaman kali ye tukang kepo hahahaha :D
ReplyDelete