“Humans were
originally created with 4 arms, 4 legs, and a head with 2 faces. Fearing their
power, Zeus split them into two separate parts. Condemning them to spend their
lives in search of their other halves.”
– Greek Mythology
“Tash… lagi sibuk nggak?”
Aku terdiam memandang Davin yang tiba-tiba saja sudah
muncul di depan meja kerjaku. Makhluk satu ini datang jam berapa sih? Apa dari
tadi dia nungguin aku ya? Geblek. Sempet-sempetnya kegeeran pagi-pagi buta.
“Pertanyaan lo…” aku nyengir, mengerlingkan mataku ke
arah dua tumpuk file kerjaan di mejaku. “Ini jam sembilan pagi, Dav. Lo mau
ngasih gue kerjaan apa? Ini kerjaan gue kurang banyak apa ya….” Aku terbahak.
“Okay. This is
the problem…” Davin menahan kalimatnya, menarik bangku yang ada di meja
sebelah dan menggeretnya sampai ke depan mejaku. Ia lalu duduk, melipat
tangannya di mejaku, dan menatapku dalam-dalam. Damn, dalam jarak sedekat ini
aku bisa membaui parfumnya. Calvin Klein. Bangsat. One of my favourite scent.
“Minggu depan, sepupu jauh gue merit.” Ia perlahan
memulai kalimatnya. “Dan gue nggak tahu harus pergi sama siapa.”
Aku bengong beberapa detik, bingung harus merespon
gimana, kemudian nyengir, “Hahaha… terus? Hubungannya sama gue?”
“Plis. Dateng sama gue. Plis, Tash.”
“Heeeh? Kenapa guee?” aku melotot. Ini orang entah
sableng entah dungu, kenal baru juga dua minggu udah main ajak-ajak aja. “Kayak
nggak ada stok temen laen aja lo...” lanjutku.
“Gue nggak tahu harus ngajak siapa lagi, Tash.”
Aku menelan ludah. Antara mau nolak, tapi nggak enak,
secara ya, dia bos. Tapi kalo mau nge-iyain, bujubuneeng, minta digosipin
sekantor banget kan, nggak ada angin nggak ada ujan, dateng kawinan sama laki
yang notabene adalah atasan. Selain
itu… Gandhi mau bilang apa? Seumur hidup temen cowok partner dateng ke
kawinanku cuma Gandhi.The one and only.
Ah, Gandhi. Ngebayangin mukanya aja mendadak aku
malas.
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa.
“Gue sebagai atasan. Meminta lo buat nemenin gue ke
kawinan. Nggak boleh bilang enggak.”
Hah? Aku mangap mengernyit nggak percaya dengan
statementnya.
“Hari Sabtu. Jam tujuh malem ya, Tasha. Kosongkan
agenda. Will text you later for the
details.” Kemudian ia pergi begitu saja meninggalkanku yang masih bengong.
Davino Prasetya… What
are you doing right now???
***
“Liat wedding
couple itu seneng ya?” Davin tiba-tiba bicara, seakan berusaha memecah
keheningan di antara kami. Aku merasa sangat gagu bercampur kesal karena
diculik secara paksa ke pesta kawinan. Walaupun aku harus mengakui… this wedding is… fantastic. Konsepnya
setengah indoor dan setengah outdoor. Jadi tamu bebas mau menikmati di luar
atau di dalam.
Aku dan Davin saat ini berada di luar. Seakan berusaha
memisahkan diri dengan tamu lainnya.
“Tash? Kok diem aja?”
Aku cuma tersenyum formal. Aku kesaaal sekali sama
cowok ini. Bos juga bukan, main seenaknya ngajak-ngajak anak orang.
“I’m not a party
person.” Ia melanjutkan kalimatnya sambil menenggak cocktail, seakan tidak
peduli dengan aksi bisuku. “Aku nggak suka pesta. Ataupun pergi ke kawinan. But, seeing the couple at the altar. It’s
relieving.”
“Then be one of
those couples.” Aku akhirnya mengeluarkan suara. Pembicaraan tentang
pernikahan membuatku gatal ingin bicara.
“Nggak segampang itu jugaa…” Ia terbahak. “Tahu nggak,
menurut mitologi Yunani, manusia awalnya dilahirkan dengan empat kaki, empat
tangan, dan dua kepala…” Ia merubah ekspresinya jadi serius. “Karena dewa Zeus
takut sama kekuatan manusia, ia memisahkan manusia jadi dua bagian. Dan sampai
sekarang hal itulah yang bikin manusia selalu menghabiskan hidupnya untuk
mencari separuh bagiannya yang lain.”
Aku terpana menatap penjelasan Davin.
“Kok diem? Percaya?”
“Ngg…” aku terdiam sejenak. “Hahaha, yaah, versi baru
dari Hawa tulang rusuk Adam ya…” aku lalu nyengir. “But, that’s a great story.”
“Tapi itu bener kan? I’m 29… And I spent those years, looking for my other half… Ini
pencarian yang melelahkan lho.” Ia mengernyit. “Ya ampun, menye banget ya gue?”
ia kemudian menggaruk kepalanya sambil nyengir.
Aku terdiam. Pencarian… Really?
“Lo beruntung, Tash. You already found you’re half.
Percaya sama gue, lo harus bersyukur.”
Aku terdiam. Dav…
I didn’t search Gandhi, and he didn’t search me either. We just met. Easily.
Tiba-tiba ucapan Davin seakan menamparku. Aku tidak
pernah mencari Gandhi… Kami hanya bertemu begitu saja.
Kalau tidak dicari… Masihkan Gandhi adalah belahan
jiwaku?
*an excerpt of my writing, currently titled “Table for
Two”
No comments:
Post a Comment