Aku
bengong menatap Wisnu. Jadi selama ini dia selalu kepoin aku? How come? Bukankah dia yang dulu merasa
bahwa hubungan kita sudah nggak bisa diteruskan lagi?
“Wisnu…”
aku menghela nafasku dalam, bingung. “Maksud kamu apa?”
“Aku
nggak tahu apakah aku harus menganggap ini semua pertanda, tapi aku, kamu, kita
ketemu disini, nggak sengaja…” Wisnu malah meracau.
“Intinya.
I still can’t get you over my mind,
Na.” lanjut Wisnu, ia mengurut keningnya sambil mengernyitkan dahi. Mukanya
terlihat penat. “Selama ini, aku bertahan untuk nggak menghubungi kamu, Na.
Karena aku tahu, we can’t be together. We’re
better this way.”
Aku menahan
nafasku, tidak percaya dengan kalimat yang barusan kudengar. Damn, ini begitu mendadak, aku kan tadi
pergi ke kafe ini cuma mau menyelesaikan pekerjaanku. Bukan untuk terlibat
dalam pembicaraan complicated semacam
ini, pembicaraan yang memaksaku untuk kembali membuka luka masa lalu yang
selama ini kukubur setengah mati.
“Wisnu…
Kamu kenapa?”
“Aku
kedengeran kayak orang gila ya? Tiba-tiba nggak pake basa basi dulu ngomong
kayak gini ke kamu?”
Aku
tersenyum. “Then… We both are crazy.”
Tukasku. “Aku tidak pernah melewatkan satu haripun tanpa membuka profil Facebookmu, Nu. Sebelum berangkat ke
kantor, ketika di taxi dalam perjalanan menuju kantor, sepulang kantor, sebelum
tidur. Aku tidak tahu kenapa.”
“What happened to us?”
“Aku
selalu berpikir, bahwa deep down inside,
sejujurnya aku masih sayang sama kamu. Bahwa aku belum bisa move on.”
Wisnu
terhenyak.
“Do I?” aku
malah balik bertanya pada Wisnu. Menatap manik matanya dalam-dalam. Mencoba
mencari jawaban disana.
“Aargh.”
Wisnu menyenderkan tubuhnya ke sofa. “I’m
such a mess.” Ia berkata lirih. “Maaf ya, Na. Ganggu kamu kerja. Hanya saja…
Melihat kamu dalam bentuk nyata saat ini membuatku… Ah entahlah.”
Aku
terdiam.
“Mungkin
aku harus pergi…” ia sudah bersiap akan berdiri sebelum aku menariknya.
“Nggak
Nu. Kamu nggak bisa begitu aja pergi setelah kamu membuka lagi pintu yang
selama ini nggak pernah kubuka lagi. At
least jawab pertanyaan aku.”
“Apa
yang harus dijawab Na? Tentang mengapa kita masih saja selalu penasaran tentang
kehidupan satu sama lain? Tentang apakah kamu masih sayang aku? Tentang apakah
aku masih sayang kamu? Tentang apakah kita seharusnya kembali bersama?”
Aku
terdiam lagi. Sejujurnya aku juga tidak begitu paham dengan apa yang aku
rasakan saat ini. Dengan jawaban yang dari dulu selalu aku cari. Bagaimana aku
bisa menemukan jawaban jika aku sendiri tidak tahu hal apa yang kutanyakan?
“Maaf
ya, Na. Tiba-tiba datang dan membuka hal-hal nggak mutu seperti ini.” Wisnu
memegang kedua tanganku erat. “Tapi aku, kamu, sadar, bahwa kita menjadi lebih
baik ketika kita tidak bersama.” ujarnya.
“Yang
barusan terjadi saat ini, adalah ego kita, Na. Mungkin, kita sama-sama belum
bisa mengikhlaskan satu sama lain untuk bahagia dengan cara kita
sendiri-sendiri.”
Aku
sudah hendak menangis ketika Wisnu mendadak mengambil laptop di mejaku dan
membuka tab Facebook.
Dan ia
mem-block profile-nya dari profile-ku. “Done.” Ujarnya pendek.
Ia lalu
mengambil ponselnya dan mem-block profile
twitterku dari twitternya, ia lalu menunjukkan layarnya padaku. “Aku sudah block kamu, aku nggak bisa lihat
profilmu. Kamu juga nggak bisa lihat profilku.” Lanjutnya. “Lakukan hal yang
sama ya, Na.”
Aku
terhenyak beberapa saat. Kebingungan dengan respon aneh Wisnu.
Sebelum
akhirnya dalam beberapa menit, aku mulai menyadari bahwa, benar kata Biyan,
sahabatku, hal terbaik yang bisa kami berdua lakukan adalah dengan menjauh satu
sama lain, baik nyata maupun maya.
Detoksifikasi
itu harus tuntas.
Dan
selama ini aku tidak melakukan itu dengan tuntas. No wonder hidupku selalu kacau balau dibuatnya.
“Makasih
ya, Nu. Melakukan ini buat aku. Ternyata kita nggak cuma butuh waktu buat
melupakan satu sama lain, kita juga butuh menjauh dari sosial media.” Aku berkata,
sambil mulai merasakan mataku berair. This
is too painful.
Wisnu
tersenyum. Ia kemudian pamit pergi. “Take
care, Na. Kalaupun kita suatu saat nggak sengaja ketemu lagi. Setidaknya
kita benar-benar akan bertemu sebagai seorang kawan yang sudah lama nggak
ketemu.” Lanjutnya. “Social media
membuat kita membuat bayangan-bayangan dan asumsi sendiri akan satu sama lain. And that’s not good.”
Aku
mengangguk.
Wisnu
pergi. Bersama dengan semua akun-akun maya yang membuatku tak bisa lepas
darinya.
Iya,
kami berdua sama-sama denial. Ketika
biasanya kami diam-diam seakan bertemu lewat dunia maya, maka pertemuan di
dunia nyata terasa sangat menyesakkan. Seperti yang barusan terjadi.
Kadang,
lebih baik jika kita tidak usah tahu apa-apa.
Bukankah
itu membuat hidup menjadi lebih tenang?
Aku
menyesap mocca-latte-ku perlahan.
Jadi… masihkah kamu stalking si dia?
*Untuk semua yang hobi kepo :p
huaaaa... kok pas bgd ceritanyaaa
ReplyDeleteHai Sarah, gara2 foto profil terbarumu nongol di home fb ku, (iya, itu lho foto yg ada selempang cumlaudenya), aku jd kepoin kamu trus nyasar ke sini. Dan 'lucky me' baca cerita ini, PAS UDAH BAGIAN TERAKHIR lagi. Salah banget deh soalnya aku juga memutuskan untuk unfriend dan unfollow demi moving on. hahaha... anw, keep writing, Sar. I enjoyed your writing. Hihihi
ReplyDelete