Tuesday, June 11, 2013

The One Who Stalks #3


Read the previous story "The One Who Stalks #1" here and "The One Who Stalks #2" here"

Aku bengong menatap Wisnu. Jadi selama ini dia selalu kepoin aku? How come? Bukankah dia yang dulu merasa bahwa hubungan kita sudah nggak bisa diteruskan lagi?
“Wisnu…” aku menghela nafasku dalam, bingung. “Maksud kamu apa?”
“Aku nggak tahu apakah aku harus menganggap ini semua pertanda, tapi aku, kamu, kita ketemu disini, nggak sengaja…” Wisnu malah meracau.
“Intinya. I still can’t get you over my mind, Na.” lanjut Wisnu, ia mengurut keningnya sambil mengernyitkan dahi. Mukanya terlihat penat. “Selama ini, aku bertahan untuk nggak menghubungi kamu, Na. Karena aku tahu, we can’t be together. We’re better this way.”
Aku menahan nafasku, tidak percaya dengan kalimat yang barusan kudengar. Damn, ini begitu mendadak, aku kan tadi pergi ke kafe ini cuma mau menyelesaikan pekerjaanku. Bukan untuk terlibat dalam pembicaraan complicated semacam ini, pembicaraan yang memaksaku untuk kembali membuka luka masa lalu yang selama ini kukubur setengah mati.
“Wisnu… Kamu kenapa?”
“Aku kedengeran kayak orang gila ya? Tiba-tiba nggak pake basa basi dulu ngomong kayak gini ke kamu?”
Aku tersenyum. “Then… We both are crazy.” Tukasku. “Aku tidak pernah melewatkan satu haripun tanpa membuka profil Facebookmu, Nu. Sebelum berangkat ke kantor, ketika di taxi dalam perjalanan menuju kantor, sepulang kantor, sebelum tidur. Aku tidak tahu kenapa.”
“What happened to us?”
“Aku selalu berpikir, bahwa deep down inside, sejujurnya aku masih sayang sama kamu. Bahwa aku belum bisa move on.”
Wisnu terhenyak.
“Do I?” aku malah balik bertanya pada Wisnu. Menatap manik matanya dalam-dalam. Mencoba mencari jawaban disana.
“Aargh.” Wisnu menyenderkan tubuhnya ke sofa. “I’m such a mess.” Ia berkata lirih. “Maaf ya, Na. Ganggu kamu kerja. Hanya saja… Melihat kamu dalam bentuk nyata saat ini membuatku… Ah entahlah.”
Aku terdiam.
“Mungkin aku harus pergi…” ia sudah bersiap akan berdiri sebelum aku menariknya.
“Nggak Nu. Kamu nggak bisa begitu aja pergi setelah kamu membuka lagi pintu yang selama ini nggak pernah kubuka lagi. At least jawab pertanyaan aku.”
“Apa yang harus dijawab Na? Tentang mengapa kita masih saja selalu penasaran tentang kehidupan satu sama lain? Tentang apakah kamu masih sayang aku? Tentang apakah aku masih sayang kamu? Tentang apakah kita seharusnya kembali bersama?”
Aku terdiam lagi. Sejujurnya aku juga tidak begitu paham dengan apa yang aku rasakan saat ini. Dengan jawaban yang dari dulu selalu aku cari. Bagaimana aku bisa menemukan jawaban jika aku sendiri tidak tahu hal apa yang kutanyakan?
“Maaf ya, Na. Tiba-tiba datang dan membuka hal-hal nggak mutu seperti ini.” Wisnu memegang kedua tanganku erat. “Tapi aku, kamu, sadar, bahwa kita menjadi lebih baik ketika kita tidak bersama.” ujarnya.
“Yang barusan terjadi saat ini, adalah ego kita, Na. Mungkin, kita sama-sama belum bisa mengikhlaskan satu sama lain untuk bahagia dengan cara kita sendiri-sendiri.”
Aku sudah hendak menangis ketika Wisnu mendadak mengambil laptop di mejaku dan membuka tab Facebook.
Dan ia mem-block profile-nya dari profile-ku. “Done.” Ujarnya pendek.
Ia lalu mengambil ponselnya dan mem-block profile twitterku dari twitternya, ia lalu menunjukkan layarnya padaku. “Aku sudah block kamu, aku nggak bisa lihat profilmu. Kamu juga nggak bisa lihat profilku.” Lanjutnya. “Lakukan hal yang sama ya, Na.”
Aku terhenyak beberapa saat. Kebingungan dengan respon aneh Wisnu.
Sebelum akhirnya dalam beberapa menit, aku mulai menyadari bahwa, benar kata Biyan, sahabatku, hal terbaik yang bisa kami berdua lakukan adalah dengan menjauh satu sama lain, baik nyata maupun maya.
Detoksifikasi itu harus tuntas.
Dan selama ini aku tidak melakukan itu dengan tuntas. No wonder hidupku selalu kacau balau dibuatnya.
“Makasih ya, Nu. Melakukan ini buat aku. Ternyata kita nggak cuma butuh waktu buat melupakan satu sama lain, kita juga butuh menjauh dari sosial media.” Aku berkata, sambil mulai merasakan mataku berair. This is too painful.
Wisnu tersenyum. Ia kemudian pamit pergi. “Take care, Na. Kalaupun kita suatu saat nggak sengaja ketemu lagi. Setidaknya kita benar-benar akan bertemu sebagai seorang kawan yang sudah lama nggak ketemu.” Lanjutnya. “Social media membuat kita membuat bayangan-bayangan dan asumsi sendiri akan satu sama lain. And that’s not good.”
Aku mengangguk.
Wisnu pergi. Bersama dengan semua akun-akun maya yang membuatku tak bisa lepas darinya.
Iya, kami berdua sama-sama denial. Ketika biasanya kami diam-diam seakan bertemu lewat dunia maya, maka pertemuan di dunia nyata terasa sangat menyesakkan. Seperti yang barusan terjadi.
Kadang, lebih baik jika kita tidak usah tahu apa-apa.
Bukankah itu membuat hidup menjadi lebih tenang?
Aku menyesap mocca-latte-ku perlahan.

Jadi… masihkah kamu stalking si dia?

*Untuk semua yang hobi kepo :p

2 comments:

  1. huaaaa... kok pas bgd ceritanyaaa

    ReplyDelete
  2. Hai Sarah, gara2 foto profil terbarumu nongol di home fb ku, (iya, itu lho foto yg ada selempang cumlaudenya), aku jd kepoin kamu trus nyasar ke sini. Dan 'lucky me' baca cerita ini, PAS UDAH BAGIAN TERAKHIR lagi. Salah banget deh soalnya aku juga memutuskan untuk unfriend dan unfollow demi moving on. hahaha... anw, keep writing, Sar. I enjoyed your writing. Hihihi

    ReplyDelete