Saturday, May 30, 2015

Diam yang Mudah Bahagia



Adakah yang lebih indah dari dua insan yang diam-diam mencinta?


Diam yang tidak hanya sekedar diam. Diam yang telah mengendap dan menahun. Terlalu merasuk. Sehingga melebur menjadi cinta itu sendiri.

Aku telah begitu terbiasa dengan diam ini. Aku telah terbiasa bahagia dalam kesunyian. Sudah biasa terlarut hanya dengan melihat dari kejauhan. Mudah tersenyum simpul hanya dengan sebuah sapaan.

Begitu terus. Bertahun-tahun. Sampai aku sadar aku sudah terlanjur mudah bahagia.

Lalu kalau kamu bilang aku egois, sesungguhnya aku tak bisa lagi mengelak. 
Aku ingin memiliki kamu sendiri. Ingin kamu terus hidup seperti ini di dalam hati. Dengan alur dan imajiku sendiri yang mampu kutebak.
Aku mengaku. Aku memang egois. Bengis.

Tanpa ada niat untuk membuatmu tahu. Tak ingin pun aku menyadarkanmu.
Tak sampai hati aku memberimu sekedar isyarat. Rupanya bagiku cinta ini terlalu keramat.

Aku menunggu semoga suatu saat cinta ini habis. Namun sepertinya cinta ini seperti mata air yang terus mengalir. Jadi maafkan aku jika aku masih harus terpaksa egois. Aku terlalu pengecut untuk menghadapi akhir.

Aku sudah terlanjur bahagia.
Aku sudah terlanjur mudah puas.
Jika aku nanti bicara, apakah aku akan berhenti bahagia?

Jangan pinta aku bicara. Tak bisakah aku memilikimu seperti ini saja?
Buatku ini lebih cukup. Dalam fikir dan imajiku, kamu telah mampu membuatku hidup.

Maaf. Karena aku telah diam-diam bahagia karena hadirmu.
Dan karena itu, aku berharap semoga kamu juga selalu bahagia, walaupun itu tanpa hadirku.



Jika begini, apakah cinta masih terlalu egois untuk dipendam sendiri?


2 comments: