Halo kamu yang sedang dalam
diam.
Kamu pikir kamu begitu
pintar menyembunyikan diammu. Berpikir aku bak seorang yang tak peka dan tak
pernah sadar hadirmu?
Kamu, yang sedang dalam
diam.
Dalam diampun, aku mampu
merasa kamu. Secercah hangat yang kemudian bertamu. Masuk ke dalam hati. Dan
menguap, seperti asap kue pandan yang kau hantarkan juga dalam sunyi.
Mengapa tak kau tunjukkan
padaku keindahan yang kau punya?
Apakah aku tak boleh tahu?
Bolehkah aku bertanya?
Atau kamu yang sebenarnya
sudah nyaman dengan kita berdua apa adanya?
Kamu takut jika aku tahu
maka aku akan pergi.
Aku takut jika kamu tahu aku
tahu maka kamu yang lalu sanksi.
Dan kue pandan beruap hangat
tak lagi ada. Kanvas putih tak lagi tertuang tinta. Surat tak lagi dikirimkan
setiap hari Selasa.
Kamu adalah indah. Diammu
membuatku gundah.
Apakah aku salah?
Tapi toh diamku dan diammu
bukan tentang menang atau kalah.
Dalam diam, aku tahu kau dan
aku sama-sama menanti. Saling berbicara hanya lewat tatapan. Berusaha menebak-nebak isi hati. Seraya menggengam erat-erat setiap kenangan.
Jadi, sebelum diamku ini
pecah, ijinkanlah aku bertanya sekali lagi.
Jika pun aku harus berhenti
menunggu diammu, apakah kamu yakin kamu tak akan pergi?
Atau jangan-jangan setelah
itu, kita tak akan pernah lagi sama.
Tolong. Beri aku bicara.
Bisikkan padaku sedikit suara.
Sekali lagi, cinta terlalu egois untuk
dipendam sendiri.
No comments:
Post a Comment