Ah… Kamu masih sama seperti
dulu. Kacamata frame tebal dan rahang kotak yang dulu selalu sukses buat
jantungku seakan melompat. Yang tak henti-hentinya buatku dimabuk kepayang.
Aku masih ingat bagaimana
dulu aku bertemu kamu di sebuah sudut kampus. Kamu dengan kemeja garis-garis
yang menyapa dan tersenyum kepadaku. Senyum yang tak akan bisa kulupa. Senyum
yang masih sama seperti dahulu.
Dalam jarak puluhan meter pun aku bisa mengenali sosokmu. Rambut hitam
sebahu itu. Dasar kamu, bahkan setelah sekian tahun pun kamu masih
mempertahankan gaya rambut jadul itu ya?
Ah sudahlah. Memangnya aku peduli.
Lalu kamu menoleh dan menatap mataku.
Oke. Sepertinya aku masih peduli.
Memangnya kamu mau apa?
Tak mau apa-apa. Hanya ingin dengar
suaramu.
Sudah puluhan tahun berlalu. Memangnya kamu tak malu?
Jadi kamu malu? Kalau sedang malu
seperti itu, pipimu memerah. Kamu memang tidak berubah.
Stop. Hentikan. Aku sudah berubah. Kali ini aku tak
akan termakan rayuan gombalmu!
Pipimu semakin memerah.
Pergilah sudah, apa pedulimu?
Tidakkah kamu merasakan itu jua? Atau
hanya aku yang terlalu perasa?
Apalah gunanya rasa, jika itu hanya menjadi asa?
Apa yang salah dengan asa?
Karena kita… sudah terlalu tua untuk berharap,
sayang.
Aku memang tua tapi aku tidak mati. Aku
masih menggilai harapan! Haraplah yang membuatku hidup!
Jangan
berani-beraninya membicarakan harap. Kamulah yang membunuh harap itu dariku 30
tahun lalu.
Kamu pergi, rambut hitam sebahumu bergoyang indah. Rambut hitam yang tak
kehilangan kilau dan lebatnya di usiamu yang ke lima puluh sekian ini.
Lalu aku bisa melihatmu menghampiri suamimu saat ini yang tengah
menggendong anak berusia tiga tahun.
“Daritadi opa liat-liatan aja sama oma itu emangnya ada apa?”
Suara cucuku membuyarkan lamunan panjangku.
Aku tertegun.
Anak kecil memang pandai membaca pikiran.
No comments:
Post a Comment