Cintaku ini cinta yang diam.
Yang perlahan, malu-malu, mengintip-intip dari kejauhan.
Cintaku tak punya tenaga
untuk bersuara. Ia terlalu sungkan untuk bicara. Alih-alih bersatu dengan riuh,
ia memilih untuk menjauh. Sambil tersenyum penuh harap semoga ia nanti
dapat berlabuh.
Cintaku ini sangat pemalu.
Mudah bersembunyi di balik semburat coretan di kanvas putih. Mudah melebur
dengan uap hangat kue pandan yang diantar tanpa nama. Menyatu dengan puisi yang
ditulis dan dikirimkan setiap Selasa.
Tak mungkin terdengar oleh
dunia, degup jantung bertubi-tubi yang menyerang kala mata ini bertemu. Tak
juga terlihat keringat dingin yang menetes setiap suaranya memanggil seraya
termangu.
Apakah yang cinta ini
harapkan? Sejujurnya aku juga tak begitu risau. Mungkin semua ini hanyalah
khayalan. Mungkin keberadaanku tak lain hanyalah semu.
Coretan di kanvas putih ini
semakin indah seiring dengan cinta yang semakin membuncah. Hei, cinta, apakah
kamu tak letih? Tak juakah kamu sedih?
Cinta ini terlalu besar. Aku
pikir, mungkin cinta ini akan membunuh siapapun yang menerimanya. Jadi lebih baik
dia diam saja, duduk manis dari kejauhan sambil membawa kue pandan. Bukankah
itu sudah menggenapkan?
Kamu, apakah kamu kuasa
merasa?
Untuk cinta yang sebesar ini…
Sediakah kamu?
Atau kamu justru akan
terperangah, lalu berbalik jengah?
Cintaku ini ternyata tak
hanya pemalu, ia juga penakut akut.
Padahal kamu berhak tahu.
Adamu menghidupkan cinta. Bagaimana mungkin kamu dibiarkan tak sadar hadirnya?
Apalah daya, cinta sudah
bahagia selama kanvas putih ini masih bisa tergores wajahmu. Selama asap kue
pandan masih mengepul hangat. Dan puisi masih tersampaikan setiap hari Selasa.
Untuk semua yang sedang dalam sunyi
Cinta terlalu egois untuk dipendam
sendiri
No comments:
Post a Comment