Sunday, May 31, 2015

Tahi Lalat yang Mahal

Saya punya tahi lalat yang ukurannya cukup besar. Ukurannya sekitar 2mm. Terletak di dahi bagian samping.

Saya tak pernah begitu terganggu sih dengan tahi lalat ini. Toh ukurannya masih normal dan tidak menganggu fungsi tubuh saya sama sekali. Jadi saya cuek-cuek saja.

Dulu, waktu saya kecil dan adik saya masih balita, saya sering menggunakan tahi lalat ini sebagai permainan on-off robot-robotan. Jadi, jika adik saya memencet tahi lalat ini, saya akan pura-pura tidur. Jika ia pencet lagi, saya akan bangun sambil menjulurkan lidah.
Permainan yang sungguh bodoh dan nggak penting. Maap.

Sampai semakin saya besar, tahi lalat ini mulai jadi bahan guyonan teman-teman saya. Ngeselin. Abis.

Pernah suatu saat ketika sedang antre menunggu abang nasi goreng memasakkan pesanan saya, tahi lalat ini berulah.
Mamang-mamang sebelah saya yang sedang nunggu pesanan juga “sambil menunjuk kepala saya*: “Mbak… Itu ada nyamuk mbak.”
Saya *reflek menepuk pipi: “Hah?”
Mamang-mamang nyebelin: *ketawa ngikik*
KAN KESEL KAN.
>:(

Ada juga suatu saat dimana teman saya nyeletuk “Sarah, itu tombol di kening buat apa sih?”
Atau
“Sarah kalo makan jangan belepotan dong, itu kismis sampe kemana-mana”

KAN KESEL KAN.

Nah hari ini sewaktu saya berkunjung ke rumah salah satu teman lama orang tua saya di Makassar, saya akhirnya lumayan senyum-senyum gegara keberadaan tahi lalat ini.

Ibu Daeng: “Wah, mbak Sarah ini nanti kalau dibeli harganya mahal…”
Saya *shock denger kata dibeli. Emang saya dijual…* : “Ha? Dibeli Bu?”
Ibu Daeng: “Iya, kalau beso menikah, mau harga dinaikin berapapun pasti dibolehin…”
Saya: ???
Ibu Daeng: “Maharnya…”
Saya: “Oh… Kenapa memangnya Bu?”
Ibu Daeng: “Itu ada tahi lalatnya di dekat kening. Kalau di Bugis, itu artinya ‘naik terus’. Karena letaknya ada di dekat dahi yang artinya menuju ke atas. Nah jika laki-laki ditemani oleh perempuan yang ada tahi lalatnya di situ, nanti pasti dagangannya laris… rejekinya meningkat terus… Jadi perempuan seperti ini pasti banyak yang mau…”

Alhamdulilah yah.
Saya nyengir. Sambil dalam hati mengamini saja.

Buahahahahaha!

Oke, mungkin ini saatnya mencari laki-laki bugis.
Mau kita buka di harga berapa inih? *ketok palu*


Saturday, May 30, 2015

Diam yang Mudah Bahagia



Adakah yang lebih indah dari dua insan yang diam-diam mencinta?


Diam yang tidak hanya sekedar diam. Diam yang telah mengendap dan menahun. Terlalu merasuk. Sehingga melebur menjadi cinta itu sendiri.

Aku telah begitu terbiasa dengan diam ini. Aku telah terbiasa bahagia dalam kesunyian. Sudah biasa terlarut hanya dengan melihat dari kejauhan. Mudah tersenyum simpul hanya dengan sebuah sapaan.

Begitu terus. Bertahun-tahun. Sampai aku sadar aku sudah terlanjur mudah bahagia.

Lalu kalau kamu bilang aku egois, sesungguhnya aku tak bisa lagi mengelak. 
Aku ingin memiliki kamu sendiri. Ingin kamu terus hidup seperti ini di dalam hati. Dengan alur dan imajiku sendiri yang mampu kutebak.
Aku mengaku. Aku memang egois. Bengis.

Tanpa ada niat untuk membuatmu tahu. Tak ingin pun aku menyadarkanmu.
Tak sampai hati aku memberimu sekedar isyarat. Rupanya bagiku cinta ini terlalu keramat.

Aku menunggu semoga suatu saat cinta ini habis. Namun sepertinya cinta ini seperti mata air yang terus mengalir. Jadi maafkan aku jika aku masih harus terpaksa egois. Aku terlalu pengecut untuk menghadapi akhir.

Aku sudah terlanjur bahagia.
Aku sudah terlanjur mudah puas.
Jika aku nanti bicara, apakah aku akan berhenti bahagia?

Jangan pinta aku bicara. Tak bisakah aku memilikimu seperti ini saja?
Buatku ini lebih cukup. Dalam fikir dan imajiku, kamu telah mampu membuatku hidup.

Maaf. Karena aku telah diam-diam bahagia karena hadirmu.
Dan karena itu, aku berharap semoga kamu juga selalu bahagia, walaupun itu tanpa hadirku.



Jika begini, apakah cinta masih terlalu egois untuk dipendam sendiri?


Friday, May 29, 2015

Maaf dari Bapak Taksi



Saya menulis postingan kali ini di dalam taksi. Menggunakan hanya telepon genggam. Menuju bandara.

Pesawat saya masih jam setengah 10 sebenarnya. Tapi saya memutuskan bahwa sudah harus berangkat dari kantor pukul 5. Hanya untuk kemungkinan terburuk  bahwa saya akan menghabiskan lebih dari 3 jam untuk sampai ke bandara. 

Saya akan ke Makassar. Waktu tempuh Jakarta - Makassar 2 jam 15 menit. Dan saya harus menghabiskan waktu 3 jam lebih hanya untuk sampai ke bandara. 

Jika dipikir, ini memang sungguh-sungguh gila dan tak masuk di akal. Tapi toh saya tetap saja menjalaninya. 

Long weekend lalu, saya tak begitu busuk melamun di taksi. Ada bapak taksi yang cerewet dan hobi cerita. Bapak taksi ini sudah menikah tiga kali dan masih belum bisa move on dari isteri pertamanya. Dia pun mengaku bahwa isteri pertamanya itu mirip Reza Artamevia. Tak lupa ia bercerita bagaimana drama antara ia dan mertuanya.

Ini yang saya suka dari taksi Jakarta. Selalu ada cerita dari bapak taksinya :D

Tapi naga-naganya kali ini bapak taksi saya pendiam. Tak bercerita apapun. Menyalakan radiopun tidak. Huft.

Jadi disinilah saya. Di jalan tol menuju bandara. Berharap bisa sampai sana tepat waktu. Dalam hening. Di antara gemerlap lampu gedung di Jakarta dan suara klakson mobil yang bersahut-sahutan.

Dengan kegilaan seperti ini, kadang-kadang saya heran kenapa saya masih saja bisa menikmati kota ini. Entah karena saya ini orang yang pandai mengambil hikmah *LOL* atau simply ya karena saya nrimo aja gitu. Alias pasrah.

Taksi pun terus melaju. Menembus kemacetan yang terkadang jika kondisimu tidak sedang tenang, rasanya kemacetan ini seperti dementor, menghisap habis jiwamu.

Apakah setelah membaca tulisan ini kamu berharap sebuah konklusi hikmah dan moral of the story? 

Tidak. Saya terlalu bosan mengambil hikmah. Hikmah sih pasti ada kalau dicari-cari.

Nampaknya memang saya harus menikmati henti ini. Dalam hening.
Rasanya seperti sedang meditasi. Dalam kemacetan.
Freak.
Mungkin saya memang sudah gila.

Sesampainya di bandara, si bapak taksi akhirnya mengeluarkan suara: "Maaf ya mbak... Tadi di jalan macet banget... Saya nggak nyangka macetnya kayak tadi..."

Saya tertegun.
Saya bahkan nggak berniat ngomel sama bapak taksinya.
Sekian kali naik taksi. Baru ini saya mendapat supir taksi yang meminta maaf pada saya. Padahal dia enggak salah.

Satu lagi cerita tentang maaf.
Kali ini maaf datang bahkan tanpa kamu sangka-sangka. Maaf yang datang tanpa kamu tahu kenapa. Maaf yang datang untuk memberitamu bahwa semua akan baik-baik saja.

Thursday, May 28, 2015

Diam-Diam Mendengar Cinta yang Diam



Halo kamu yang sedang dalam diam.

Kamu pikir kamu begitu pintar menyembunyikan diammu. Berpikir aku bak seorang yang tak peka dan tak pernah sadar hadirmu?

Kamu, yang sedang dalam diam.

Dalam diampun, aku mampu merasa kamu. Secercah hangat yang kemudian bertamu. Masuk ke dalam hati. Dan menguap, seperti asap kue pandan yang kau hantarkan juga dalam sunyi.

Mengapa tak kau tunjukkan padaku keindahan yang kau punya?
Apakah aku tak boleh tahu? Bolehkah aku bertanya?
Atau kamu yang sebenarnya sudah nyaman dengan kita berdua apa adanya?

Kamu takut jika aku tahu maka aku akan pergi.
Aku takut jika kamu tahu aku tahu maka kamu yang lalu sanksi.

Dan kue pandan beruap hangat tak lagi ada. Kanvas putih tak lagi tertuang tinta. Surat tak lagi dikirimkan setiap hari Selasa.

Kamu adalah indah. Diammu membuatku gundah.
Apakah aku salah?
Tapi toh diamku dan diammu bukan tentang menang atau kalah.

Dalam diam, aku tahu kau dan aku sama-sama menanti. Saling berbicara hanya lewat tatapan. Berusaha menebak-nebak isi hati. Seraya menggengam erat-erat setiap kenangan.

Jadi, sebelum diamku ini pecah, ijinkanlah aku bertanya sekali lagi.
Jika pun aku harus berhenti menunggu diammu, apakah kamu yakin kamu tak akan pergi?

Atau jangan-jangan setelah itu, kita tak akan pernah lagi sama.

Tolong. Beri aku bicara.

Bisikkan padaku sedikit suara.



Sekali lagi, cinta terlalu egois untuk dipendam sendiri.

Wednesday, May 27, 2015

Hal-Hal Tentang Kapan

Kapan lulus? Kapan kerja? Kapan kawin? Kapan hamil? Kapan anak kedua? Kapan anaknya kawin? Kapan anaknya nanyain kapan?

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa semua pertanyaan tentang kapan itu benar-benar melelahkan untuk didengar apalagi dijawab. Sudah berapa banyak kampanye #AntiKapan didengung-dengungkan (bahkan sampai ada orang yang bikin kaosnya), toh nyatanya pertanyaan Kapan itu selalu saja menghampiri. Entah kenapa pertanyaan tentang kapan selalu ada di sekeliling kita.

Kapan. Seakan-akan hidup ini kompetisi bukan? Seakan-akan kita pun tahu jawabnya. Kalau kita selalu tahu jawaban dari kapan, lalu buat apa kita hidup? Dimana seninya? *ahsek*

Ah, nggak ah,  saya tidak akan menulis wisdom­ dan ceramah tentang bagaimana kita harus berempati terhadap hal-hal seperti ini kok. Saya yakin sudah banyak blog dan kampanye yang mengangkat isu menyebalkan ini :))

Saya justru sedang ingin refleksi diri, karena saya juga kadang-kadang… entah kenapa… menanyakan Kapan. Padahal sumpah mati saya sampai jengah dengan pertanyaan semacam ini.

Disitulah saya kemudian jadi mikir, kenapa ya saya menanyakan hal ini?
Apa yang ada di kepala saya?
Apakah saya benar-benar ingin tahu?

Tidak. Saya tidak benar-benar serius. Sesungguhnya, saya hanya sedang basa-basi. Karena nggak tahu lagi topik apa yang harus saya lontarkan dari mulut saya.

Karena jika saya benar-benar peduli… Saya nggak akan menanyakan hal-hal seperti ini.

Disitulah saya sampai pada titik dimana… Ketika orang-orang mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan itu, mungkin sebenarnya mereka sedang kehabisan topik saja, nggak usah dipikir serius.

Like, really, hal-hal tentang kapan ini sebenarnya nggak usah dibawa ke hati. Orang cuma buat basa-basi. Ya kalau di luar negeri basa-basinya dengan ngomongin cuaca, kalau di Indonesia nanyain kapan kawin.

Intinya, nggak usah geer-geer amat kalau orang peduli sama hidup lo. Itu cuma basa-basi. 5 menit kemudian lupa. Ice breaker semata. Gitu aja kok repot.

Jadi, kapan?
*ngomong sama langit-langit*


*ditulis sembari bobok-bobok imut sambil menahan nyeri haid

Tuesday, May 26, 2015

Cinta yang Diam


Cintaku ini cinta yang diam. Yang perlahan, malu-malu, mengintip-intip dari kejauhan.

Cintaku tak punya tenaga untuk bersuara. Ia terlalu sungkan untuk bicara. Alih-alih bersatu dengan riuh, ia memilih untuk menjauh. Sambil tersenyum penuh harap semoga ia nanti dapat berlabuh.

Cintaku ini sangat pemalu. Mudah bersembunyi di balik semburat coretan di kanvas putih. Mudah melebur dengan uap hangat kue pandan yang diantar tanpa nama. Menyatu dengan puisi yang ditulis dan dikirimkan setiap Selasa.

Tak mungkin terdengar oleh dunia, degup jantung bertubi-tubi yang menyerang kala mata ini bertemu. Tak juga terlihat keringat dingin yang menetes setiap suaranya memanggil seraya termangu.

Apakah yang cinta ini harapkan? Sejujurnya aku juga tak begitu risau. Mungkin semua ini hanyalah khayalan. Mungkin keberadaanku tak lain hanyalah semu.

Coretan di kanvas putih ini semakin indah seiring dengan cinta yang semakin membuncah. Hei, cinta, apakah kamu tak letih? Tak juakah kamu sedih?

Cinta ini terlalu besar. Aku pikir, mungkin cinta ini akan membunuh siapapun yang menerimanya. Jadi lebih baik dia diam saja, duduk manis dari kejauhan sambil membawa kue pandan. Bukankah itu sudah menggenapkan?

Kamu, apakah kamu kuasa merasa?
Untuk cinta yang sebesar ini… Sediakah kamu?
Atau kamu justru akan terperangah, lalu berbalik jengah?

Cintaku ini ternyata tak hanya pemalu, ia juga penakut akut.
Padahal kamu berhak tahu. Adamu menghidupkan cinta. Bagaimana mungkin kamu dibiarkan tak sadar hadirnya?

Apalah daya, cinta sudah bahagia selama kanvas putih ini masih bisa tergores wajahmu. Selama asap kue pandan masih mengepul hangat. Dan puisi masih tersampaikan setiap hari Selasa.



Untuk semua yang sedang dalam sunyi
Cinta terlalu egois untuk dipendam sendiri