Pernahkah kamu merasa harus berubah? Ingin berubah? Terpaksa berubah? Atau bahkan merasa dirubah?
Saya pernah ingat sebuah kalimat, “Perubahan itu Pasti.” Yang berarti, kita tentu saja harus selalu siap untuk menerima perubahan, apapun bentuknya.
Wacana tentang perubahan sedang sangat hip dalam hidup saya belakangan ini. Ada perubahan yang melelahkan, ada perubahan yang menyenangkan. Tergantung konteksnya, apakah kita harus berubah, ingin berubah, terpaksa berubah, atau malah dirubah?
Perubahan butuh effort, butuh niat, dan butuh iman yang kuat, karena kalau nggak begitu, perubahan hanya akan jadi euforia sesaat yang nggak beberapa lama akan hilang.
Baru-baru ini saya terlibat random talk dengan salah seorang sahabat saya, dan pada intinya kami merasa sangat jengah dan jenuh dengan kehidupan mahasiswa ini, kuliah, organisasi, ngerjain tugas, begadang, lembur, ujian, kegiatan ini itu, intinya bosan. Intinya kami ingin punya sesuatu yang bener-bener beda dari kehidupan mahasiswa dan sama sekali beda dengan tujuan kita jadi mahasiswa.
Lalu mendadak saya mencetuskan statement gila, “Aku pengen bisa balet.” -> udah setres banget.
Pembicaraan mulai berkembang, “Salsa aja yuk. Kan enak sekalian olahraga. Eh, btw di kampusku ada les tango murah loh, dan bla bla bla.”
Saya sudah bilang dari awal, pembicaraan ini sangat random.
Eh olahraga apa ya yang enak| Ikut UKM berkuda yuk | Eh tapi gak enak, tititnya sakit | Iya lagian kudanya dikit | Yaudah yuk fitness | Gak mau, mahal | Eh Squash enak tuh kayaknya | Iya, lucu banget | Tapi squash di jogja dimana (-____-) | Tenis aja deh yoook | Eh iya, belajar tenis yok | (Pembicaraan terus berkembang sampai tingkat kerandoman yang tidak terhingga)
Sampai suatu hari kami akhirnya spontaneously berencana buat tenis.
Dengan semangat berkobar kami bersiap siap, keren abis pokoknya. Udah siap segala macem, lapangan sudah booking, kostum pun sudah sangat mendukung, sepatu kets juga udah siap. Ciamik abis lah. Lagaknya udah kayak mau ikut Wimbledon.
Dan begitu udah mau berangkat...
“Loh, Sarah. Cuma bawa raket satu?”
“Iya lah.... EH LAH RAKETMU MANA?”
“Aku kan gak punya raket. Aku pikir kamu punya raket dua.”
GRRRRRRR *Saya udah bawa cangkul, siap gali kubur sendiri.*
Jadi, voila, acara tenis batal. Dengan alasan yang sangat bodoh : Nggak punya raket.
Sedih.
Perubahan tidak hanya butuh effort, niat, dan iman, tapi juga butuh.... otak yang cerdas. Itulah pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini.
***
Saya jadi ingat sebuah dialog menarik dalam salah satu serial tv favorit saya, Ghost Whisperer. Ceritanya, suaminya Melinda (si tokoh utama) tiba-tiba dihantui oleh arwah cewek yang bahkan nggak dia kenal. A very beautiful lady.
Dia nggak tahu kenapa dia dihantui, apa yang membuat hantu itu terus nempel ke dia. Sampai akhirnya si hantu bilang, kalau dia adalah teman SMA suaminya Melinda yang pengen say thanks, karena gara2 dia, sekarang si hantu jadi bisa cantik kayak sekarang.
Barulah suaminya Melinda itu ingat, ternyata si hantu itu dulu memang adalah temennya yang sangat cupu, pemalu, dan sering diejek gara-gara enggak eksis dan cantik. Dan memang, dialah satu-satunya cowok yang pernah bilang, “Kamu cantik kok, jangan takut.”
Satu statement itu benar-benar membuat perubahan berarti buat si hantu. Dan semenjak saat itu dia jadi PD dan benar-benar merasa cantik, dan akhirnya jadi supermodel sukses.
And then Melinda said, “Kita harus berhati-hati dengan segala hal kecil yang kita lakukan. Mungkin kita nggak inget, mungkin kita bahkan nggak peduli. Tapi hal itu bisa menjadi sebuah turning point, titik balik, untuk kehidupan orang lain”
Mungkin terdengar baik untuk kasus hantu di atas. Tapi bagaimana jadinya jika hal kecil itu justru berimbas buruk? Kita nggak tahu, kita nggak akan pernah tahu.
Lihat betapa mengerikannya kan, kalau perbuatan kita bisa merubah seseorang? Merubahnya seutuhnya?
Habis nonton film itu, saya jadi berpikir, apakah saya pernah merasa dirubah oleh orang lain? Ataukah saya pernah merubah pola pikir orang lain gara-gara perbuatan saya dan saya tidak menyadarinya? Mungkin iya, mungkin tidak. Saya tidak pernah tahu.
Dan saya jadi flashback lagi, satu hal kecil yang benar-benar merubah hidup saya.
Dari kecil saya terbiasa hidup nomaden, tiap tiga tahun sekali saya bakalan pindah kota. Kejadian ini terjadi di kota keempat saya, waktu itu saya baru jadi murid baru di kelas 3 SD.
Being a new student agak berat untuk usia saya waktu itu, saya udah rodo ngerti urip dan bukan anak kecil yang nggak dong apa-apa lagi.
And there he comes. Jangan pernah membayangkan sosok ‘he’ ini adalah sosok cinta pertama saya, yang unyu gitu yaa. Sayang sekali, untuk usia pubertas yang-yangan, saya terlambat banget. Saya pertama kali suka cowok itu jaman SMP. So late. Bahkan saya udah menstruasi tapi tetep belum suka cowok. Jadi ketika teman-teman SD saya udah pada pacaran, saya bahkan suka cowok aja belum dan masih berkutat ngidolain artis. Sampe-sampe saya pernah nolak cowok dengan alasan masih suka sama artis piip bersangkutan itu! Super parah!
(Anggap saja artis *piip* itu adalah Hengky Tornado, tapi bukan Hengky Tornado loh. Ada yang lebih malu-maluin daripada ngefans sama Hengky Tornado -__-)
Dia: Sarah, aku suka sama kamu. Mau gak jadi pacarku?
Saya: (pura-pura gak denger)
Dia: Sarah?? Jawab dong.
Saya: Hah... gimana? Aku masih suka sama Hengky Tornado, hatiku masih buat Hengky Tornado (Saya-benar-benar-memakai-kata-kata-ini-pokoknya-kacau-deh)
Dia: Serius dong sar...
Saya: aku serius... hatiku masih buat Hengky Tornado. Ah, udah deh, udah yaaa.
Dia: ??????
Sekarang saya merasa bersalah campur tengsin sama cowok itu. Mungkin itu adalah pengalaman nembak cewek paling zing krik krik yang pernah dia punya.
Mau saya ceritain artisnya siapa? Saya dulu koleksi kasetnya, pin-upnya, posternya.... Err, ah ngggak usah ah, buka aib sendiri itu namanya -____- bahahahaha. Abaikan.
Balik lagi, and there he comes...
Sebut saja dia Kaktus, seorang bocah cowok yang bener-bener bikin saya depresi waktu itu.
Sebagai murid baru, di usia yang baru tahu kalo hidup itu kejam, saya waktu itu dapet jatah duduk di sebelah Kaktus. Kaktus ini orangnya pinter banget. Langganan ranking satu, wes pokoke sing paling pinter lah.
Tapi, KAKTUS INI NAKAL BANGET! >:(
For the first time in life, saya yang anak baik-baik yang selalu disayang mama papa guru dan teman-teman ini (mahahahaha) mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Kaktus. Kaktus selalu menyembunyikan buku tulis saya, Kaktus nggak pernah bersedia minggir dari tempat duduknya kalau saya masuk terakhir, dan alih-alih keluar untuk menyilakan saya lewat, dia MENYURUH SAYA MASUK LEWAT KOLONG MEJA.
SOMPRET! WANITA MACAM APA YANG BERSEDIA DIRENDAHKAN SEPERTI ITU? HIDUP EMANSIPASI WANITA! HIDUP FEMINISME! *lebay*
Nah, sekarang saya bisa misuh sompret kayak gini ya, tapi dulu??
Saya Cuma bisa diem, bahkan saya males sekolah. Males ketemu Kaktus. Terus saya jadi sering nangis di rumah (di sekolah sih enggak, sok kuat gitu, bahahaha). Nah menurut emak saya, untuk pertama kalinya saya mengalami culture shock dan tertekan berat.
Penyelesaiannya bisa ditebak, emak saya turun tangan, saya dipindah tempat duduknya, nggak duduk sama Kaktus lagi. Dan taraa, and I live happily ever after. Hidup saya langsung normal, dan saya kembali jadi anak yang disayang mama papa guru dan teman-teman (teteeeeep, huahahaha, silahkan muntah).
Tapi Kaktus benar-benar merubah hidup saya. Sejak saat itu saya tahu, saya nggak boleh mengasihani diri sendiri dengan menangis. Say it, or leave it. Ngapain sih dipikir susah-susah. Saya juga jadi orang yang lebih cuek dan praktis. Dan perkara menjadi murid baru nggak pernah sulit lagi setelah itu.
Saya dan kaktus tidak pernah punya masalah, habis itu saya biasa aja menghadapi kenakalannya. Emang dia nakal sama siapa aja sih. Tapi tetep yaaa, si Kaktus ini selalu jadi ranking satu di kelasnya, sedangkan saya ranking dua. Dan saya sebel banget gara-gara hal ini LOL
Siapakah Kaktus? Berkat kemajuan teknologi bernama Facebook, saya tahu Kaktus sekarang kuliah di Jogja, di UGM juga lagi. Tapi biarlah dia tidak tahu bahwa dia telah merubah hidup seorang gadis kecil lugu lucu imut-imut kayak saya ini. Bahkan saya curiga, kalaupun dia membaca blog ini, dia mungkin nggak bakal sadar kalo Kaktus ini adalah dia -________-
Yoh, jenenge wae cah cilik.
***
Itulah dahsyatnya perubahan. Kadang kita enggak menyadari bahwa kita sedang berubah, merubah, atau malah dirubah oleh seseorang.
Perubahan itu perlu, kadang kita juga harus berani meninggalkan zona nyaman kita dan memutuskan untuk berubah. Memang sih, ada harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan. Tapi apa enaknya sih menjalani hidup yang gitu-gitu aja.
(wait... wait... saya akan memulai sebuah tulisan yang rodo bener. Jika bosan, abaikan :p)
Seperti kalimat “Pertahankan Keistimewaan Jogja”. Menurut saya, menurut saya loh, kalimat itu salah banget. Memangnya Jogja nggak istimewa lagi kalau Sultan nggak jadi Gubernur? Bagi saya, Istimewa-nya Jogja nilainya nggak secetek itu. Toh Sultan tetep bisa jadi Raja, dan Kraton tetap akan ada. Budayanya nggak akan hilang, dan sakralnya Kerajaan justru mungkin akan lebih berkembang kalau Sultan nggak capek-capek ngurusin pemerintahan.
Menurut saya, istimewa adalah ketika Jogja mampu jauh-jauh lebih maju dari sekarang. Tidak hanya stagnan aman damai tenteram, takut keluar rumah, takut kalau diserang macan. Kenapa harus takut diserang macan? Toh kalau memang ada kemungkinan yang di luar adalah macan, pasti ada juga kemungkinan yang di luar sana ternyata Batman yang super power dan baik hati. (Nggak bisa cari analogi yang lebih bagus ya, Sar?)
Yah dan Jogja, menurut saya, sekali lagi menurut saya, sudah terlalu lama berada di dalam rumah. Orang yang terlalu lama berada di dalam rumah, kadang-kadang nggak menyadari bahwa cat luar rumahnya sudah perlu diganti dengan yang baru.
Dan saya nggak bisa membayangkan ada gubernur berusia 98 tahun.
Pendapat saya ini mungkin akan dibantah habis-habisan. Tapi kalau menurut teori Spiral of Silence (macak pinter sikik yoh), maka saya adalah salah satu orang yang tergabung dalam spiral tersebut. Orang-orang ini tidak menyadari kalau jumlah mereka banyak, karena mereka lebih memilih diam, daripada berbicara dan memicu masalah.
Dan memang, kalaupun ini dibantah, saya akan lebih memilih diam.
Toh kata eyang saya, “Ojo wani karo kraton, mengko kualat!”
Iya deh Yang, tapi saya begini bukan karena takut kualat, melainkan karena saya sayang sama eyang, huehehehe.
Dan kepala saya langsung pusing kalo disuruh ngomongin yang berat-berat. Nguing nguiiing... Udahan ah.
***
Jadi begitulah, sebentar lagi 2011. (HAH SEBENTAR LAGI 2011!!!)
Waktu adalah pelari sprint paling jago sedunia. Kayaknya baru kemarin saya menulis blog berjudul Catatan Akhir Tahun, dan sekarang saya sedang menuliskan hal yang sama.
Saya kembali mendengarkan lirik lagu Next Year, Baby punya Jamie Cullum—salah satu lagu favorit saya.
“Next year, things are gonna change, gonna drink less beer, and start all over again, gonna pull up my socks, gonna clean my shower, not gonna live by the clock....” dan lalala dan lalala...
Selalu ada yang berubah setiap tahun. Perubahan yang menyenangkan, perubahan yang menyakitkan, perubahan yang tidak jelas mengapa, perubahan yang disengaja, tidak disengaja, terpaksa, segala macam perubahan.
Tahun ini saya menyadari bahwa adik saya sudah besar. Bagaimana? Ada kalanya ketika kamu sholat maghrib dan imamnya adalah adikmu yang berusia 11 tahun, kamu akhirnya menyadari kalau dia benar-benar sudah besar. Ketika kamu membayangkan kamu akan mengantarkan dan menjemput dia ke sekolah lalu dia mentah-mentah menolak dan lebih memilih naik sepeda.
Perubahan juga ketika kamu menyempatkan untuk menghabiskan malam minggu dengan bocah kelas 6 SD itu, mengantarkannya beli alat tulis buat try out, dan makan i fu mie lalu menyadari bahwa adikmu sudah bisa diajak bercanda ala manusia—jadi maksudmu kemarin-kemarin ini adikmu bukan manusia? Hah bener juga sih, dia adalah tuyul paling menyebalkan sejagat raya.
Yah, dan adik saya sudah berubah, dari seekor tuyul menyebalkan menjadi seorang cowok. A tuyul who turns into a boy. Someday, i will see him turns into a man. :’) Ketika kamu melihat adik kamu berubah, maka kamu jadi melihat diri sendiri. Ya, tentu saja saya juga berubah. A kuntilanak who turns into a woman, maybe. (opo sih?)
Perubahan adalah niat untuk belajar tenis (?)
Perubahan adalah meluangkan waktu lebih untuk melakukan hal yang disukai, berada di dapur misalnya :D
Perubahan adalah memiliki mimpi untuk punya resto Pasta dan Potato. Hahahah, dua-duanya adalah makanan kesukaan saya soalnya :p
Perubahan adalah berat badan kamu bertambah 6 kilogram dalam sebulan! HOREEEEEEEEEEE!!! (Ini adalah perubahan yang paling saya cintai dan saya sayangi dan saya banggakan dan saya pamer-pamerkan ke semua makhluk hidup di muka bumi ini yang saya temui. Aku bangga, aku bahagia. Akhirnya berat badanku kepala 5 juga. Iya, makasih atas dukungan kalian teman-teman. Aku akan mempertahankannya sebaik mungkin.)
Perubahan adalah mencoba lebih banyak bercermin dan menginstropeksi diri alih-alih menyalahkan orang lain.
Perubahan adalah mencoba mengakui kesalahan kita dan berdamai dengan diri sendiri.
Perubahan adalah untuk membuat sesuatu yang kita coba tidak kita rubah untuk menjadi lebih baik.
Beberapa hal harus kita kubur dalam-dalam. Kalau saya, saya sangat ingin mengubur dalam-dalam Cheese Cake pertama saya. Hasilnya bantet. Rasanya bagai teriris sembilu. Benar kata orang, kue yang gagal lebih pahit dari asmara yang gagal. Mau dikubur kok eman-eman, nggawene angel, larang meneh, mau dimakan kok nggerus, mau dikasiin kok nggak patut lha elek je. Hah. Elegi hidup ini.
Saya nggak mau bikin cheese cake lagi. Mending bikin makanan lain aja deh. *ngambek*
Tapi mengubur bukan berarti melupakan kan? Ini seperti mengubur tahi. Tahi yang dikubur suatu saat akan menyuburkan tanah, dan dari tanah yang subur akan muncul bunga yang indah serta buah yang segar. Suatu saat, kita akan berterimakasih pada tahi tersebut :)
Yuk, berkebun. Saatnya keluar rumah, mengambil cangkul, mengubur tahi, dan bertemu Batman. Bukankah hidup memang seharusnya semenyenangkan itu? :D
“A whole new world, don’t you dare close your eyes. A hundred thousand things to see. Hold your breath, it gets better, I’m like a shooting stars, I’ve come so far, I can’t go back to where I used to be...” – A Whole New World, OST Aladdin
20 Desember 2010
Menutup tahun, memasukkan susunan puzzle yang sudah rapi tertata ke dalam kotak pandora. Membiarkannya beristirahat sejenak.