Jadi di sinilah saya. Duduk, sendiri, menahan nyeri di perut karena efek samping obat peluruh rahim.
Saya tidak pernah membayangkan, harus ada di posisi ini. Being a miscarriage survivor. Beberapa memberi istilah rainbow mama untuk hal ini. Sudah tiga hari semenjak dokter bilang janin saya nggak berkembang, tapi saya masih saja merasa kosong. Entahlah, sangat aneh rasanya… Bagaimana sesuatu berakhir tanpa penyelesaian? Tanpa penjelasan? I just need a simple closure.
Saya masih ingat jelas detik-detik itu. It’s been 7 weeks, but the baby stopped growing on the 6th week. Detak jantungnya masih ada, tetapi sudah di bawah normal, di situ, saya sudah tahu, saya harus merelakan dia pergi.
Saya tidak begitu nyaman membahas kehidupan pribadi, namun dengan tulisan ini, saya harap bisa berguna untuk perempuan-perempuan di luar sana yang juga mengalami hal yang sama. Karena saya sadar, pengalaman ini, bagi perempuan rasanya sangat… campur aduk. Dan saya tahu, hanya sesama perempuan yang pernah keguguran lah yang mengerti rasanya.
Saya juga mau bilang, bahwa kita nggak sendiri. The physical pain, nggak ada apa-apanya dibanding emotional painnya. Setidaknya, itu yang saya rasakan.
We went home, tapi rumah nggak pernah terasa sekosong itu.
Dan seperti selayaknya perempuan dengan akses teknologi yang bertaburan di sana sini, hal pertama yang saya lakukan setelah itu adalah membaca puluhan artikel-artikel tentang keguguran.
Dua dokter sudah bilang bahwa ini tidak ada hubungannya dengan aktifitas sang Ibu, makanan, ataupun hal-hal yang dilakukan apapun. Dokter juga meyakinkan bahwa saya baik-baik saja, chin up and you can star a new pregnancy plan. This happens to 1 in 5 pregnancies, so you’re just fine.
Yeah, I’m fine.
But I’m not feeling fine.
There is always part of me, yang rasanya ingin menyalahkan diri sendiri. Nggak peduli puluhan artikel bilang bahwa ini bukan gara-gara si Ibu, tapi rasanya ingin sekali nyalahin diri sendiri. Saya pun jadi mencari-cari… WHY? I eat good food, I don’t smoke, I don’t drink alcohol, I consume all medicines and vitamins. Tapi kenapa? Apa yang salah dengan saya?
Sampai sekarang… Sampai Kiara umur 2 tahun pun. Jawaban dari WHY ini nggak ketemu. Dan saya sampai pada titik, mungkin beberapa hal memang nggak perlu ada jawabannya.
Dokter bilang, ini random aja. Kesalahan kromosom yang terjadinya… ya random aja.
Kebayang nggak rasanya? Saya yang terbiasa mencari jawaban, sebab akibat untuk segala hal harus puas dengan jawaban “ya ini random aja” padahal kan ingin sekali ya kita tahu, kenapa bisa kromosomnya salah?
Di suatu malam dimana saya dan suami sama-sama terdiam setelah menerima kabar ini, suami bilang “Mungkin ini cara Tuhan buat ngasih tahu, bahwa dia bisa ngasih dan ngambil hidup ini, begitu saja.”
That’s the closest thing to closure we’ve ever got.
And that’s enough.
17 Juni 2017
*Dipublikasikan hari ini, 8 Mei 2020 dengan penyesuaian secukupnya